Kamis, Juli 26, 2007

review-sbm

BOOK REVIEW
Judul : Decentralization and School-based Management
Penulis : Daniel J. Brown
Penerbit : London, New York dan Philadelphia, The Falmer Press
Cetakan I : 1990
Tebal : x + 284 halaman, termasuk Bibliografi dan Indeks
EFEKTIFITAS SISTEM DESENTRALISASI PENDIDIKAN DAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Pengantar
Akhir-akhir ini banyak wacana baru muncul dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia, misalnya community based education, community support dan school based management. Terma yang terakhir, yakni Manajemen Berbasis Sekolah (untuk selanjutnya disingkat MBS) sudah menjadi wacana publik seiring dengan mulai digelindingkannya semangat otonomi dan desentralisasi. Pada dasarnya MBS muncul sebagai konsekuensi dari diberlakukannya sistem desentralisasi yang memberikan keleluasaan lebih besar kepada daerah dan pihak sekolah untuk berkreasi dan mengelola potensinya sesuai dengan ‘keinginannya’ sendiri. Hanya saja, sebagian besar pelaku dan pemerhati pendidikan masih merasa khawatir akan keberhasilan konsep MBS mengingat dalam kenyataannya istilah tersebut belum sepenuhnya dipahami dan ‘diterima’ oleh para stakeholder pendidikan. Selain itu, belum adanya rasa percaya diri tersebut antara lain juga disebabkan oleh belum tersedianya hasil kajian yang memadai dalam hal efektifitas model MBS di dunia pendidikan Indonesia. Karenanya, salah satu upaya untuk mengurangi kekhawatiran di kalangan praktisi pendidikan tentang konsep MBS adalah dengan melakukan penelusuran dan pengenalan literatur yang terkait konsep tersebut untuk dijadikan sebagai panduan awal, khususnya tentang efektifitas konsep tersebut.
Buku yang ditulis oleh Brown ini merupakan salah satu ‘jawaban’ konkret dari kekhawatiran praktisi pendidikan akan efektifitas sistem MBS. Sebab, karya ini muncul dari hasil penelitian lapangan tentang praktek MBS dalam hubungannya dengan sistem desentralisasi yang ada di lembaga-lembaga pendidikan Kanada. Kajian ini bermula dari banyaknya perdebatan tentang mekanisme pemberlakuan sistem MBS, mulai dari aspek perencanaan, pembiayaan, dan komite pengawas (p. 8). Berdasarkan kegelisahan tersebut, buku ini berupaya memberikan sebuah diskusi yang terfokus pada desentralisasi dan MBS. Paling tidak ada empat hal yang membuat karya ini menarik dikaji. Pertama, buku ini memberikan kerangka dasar tentang munculnya ide desentralisasi secara teoritik. Kedua, ia didasarkan pada hasil penelitian lapangan (field research) tentang MBS yang dilaksanakan di Edmonton Vancouver, Cleveland dan British Columbia. Ketiga, buku ini tidak melakukan pemihakan dan ‘mengambil posisi’ tentang desentralisasi sebagai alat untuk membawa perubahan, namun ia berupaya membuat analisis berimbang tentang bagaimana MBS bekerja dan pengaruh yang ditimbulkan. Terakhir, ia berusaha mengeksplorasi implikasi teoritis dan praktis dari desentralisasi dan MBS.
Untuk membahas problem desentralisasi dan MBS karya ini dibagi ke dalam 15 Bab yang dikelompokkan menjadi 5 Bagian. Bagian pertama berisi pengantar yang hanya terdiri dari satu Bab (p. 3-24). Pada bagian ini pengarang mengungkapkan problem yang dibahas dan dasar pemikirannya. Bagian kedua, yang memfokuskan tentang kajian literatur, berisi lima Bab (p. 25-110). Berbagai kajian konseptual tentang organisasi, desentralisasi politik dalam pendidikan, desentralisasi organisasi pendidikan dan beberapa problem yang muncul dikaji pada bagian ini. Metode yang digunakan dalam penelitian disajikan dalam bagian berikutnya, yakni Bagian III (p. 111-128). Sementara itu, hasil penelitian dijabarkan dalam lima Bab, yakni mencakup kajian tentang struktur, fleksibilitas, akuntabilitas, produktifitas, dan perubahan manajemen berbasis sekolah (p. 129-220). Akhirnya, kesimpulan dari penelitian ini dituangkan dalam Bagian V, yakni berkaitan dengan refleksi atas struktur dan outcome desentralisasi serta pemikiran umum tentang desentralisasi (p. 221-266).
Desentralisasi: Dasar Teoritis
Pembicaraan tentang konsep desentralisasi tidak dapat dilepaskan dari struktur organisasi yang akan dibangun, sebab dari struktur ini akan tergambar pembagian tugas dan wewenang dalam sebuah organisasi. Menurut Henry Mintzberg dalam karyanya The Structuring of Organization, yang dimaksud dengan struktur adalah semua/keseluruhan cara dimana sebuah organisasi membagi kerjanya ke dalam tugas-tugas yang jelas dan kemudian ada koordinasi di antara elemen. Ia menawarkan lima tipe dalam organisasi. Pertama, organisasi dengan struktur sederhana. Dalam tipe ini otoritas pembuatan keputusan terkonsentrasi pada puncak organisasi. Model ini sangat cocok bagi organisasi dimana satu orang membuat banyak keputusan penting. Biasanya pemimpin organisasi semacam ini sangat kharismatik. Kedua, struktur adokrasi, sebuah istilah yang digunakan oleh Mintzberg untuk menggambarkan struktur yang bertujuan untuk mengadakan inovasi dan mengatasi problem secara langsung bagi klien atas dasar proyek. Yang menjadi bagian pokok dari struktur ini adalah staf pendukung bersama-sama dengan pelaku inti. Koordinasi dapat dicapai melalui penyesuaian bersama (akomodasi antar orang) dan struktur organisasi seringkali merubah bentuk. Organisasi semacam ini cenderung berusia muda dan membuat aturan birokrasi selama usia organisasi tersebut. Struktur yang cair (fluid) tersebut memberikan banyak ambiguitas organisasi, yang pada gilirannya mungkin dapat menjelaskan mengapa ia sangat bersifat politis (p. 26, 223). Mintzberg menganggap model organisasi ini bersifat Darwinian, fluid, sangat kompetitif, dan ruthless. Bagi beberapa sekolah alternatif adokrasi dianggap sebagai eksperimen untuk memberantas bentuk aturan yang mengelilingi sekolah negeri. Struktur tersebut menyarankan sekolah untuk lebih inovatif, tapi beresiko pada mahalnya ambiguitas, politisasi dan inefisiensi.
Jenis ketiga yang ditawarkan Mintzberg adalah birokrasi mesin (machine bureaucracy). Birokrasi mesin bukan berarti birokrasi yang membuat mesin. Contoh dalam tipe ini adalah organisasi kantor pos, bank, penjara dan perusahaan produksi masa. Lebih tepatnya, ia dikoordinasi oleh standarisasi proses kerja, mempunyai staf teknis sebagai bagian pokok dan tersentral, kecuali untuk beberapa otoritas yang diberikan pada staf teknisnya. Di antara ciri birokrasi mesin adalah lingkungan yang sederhana dan stabil, cenderung berukuran besar dan produsen produk-produk standar, dan biasanya didirikan seperti halnya kantor-kantor pemerintah (p. 27). Namun demikian, tipe semacam ini cenderung mengabaikan human relation dan kurang ada inovasi.
Birokrasi professional merupakan tipe keempat dari struktur organisasi. Model struktur organisasi ini bergantung pada standarisasi keterampilan orang-orang profesional. Bagian pokok dari struktur ini adalah pelaku inti dan modelnya sangat terdesentral. Contoh yang termasuk kategori ini adalah organisasi universitas, rumah sakit umum, lembaga akuntan publik dan lembaga kerja sosial. Menurut tipe ini koordinasi dicapai melalui ketrampilan umum dan pengetahuan yang diperoleh oleh kaum profesional dari luar organisasi. Menurut Mintzberg, kaum profesional tidak perlu diawasi secara langsung serta tidak perlu persyaratan yang mengkoordinir usaha mereka. Ia menyebut tipe ini sebagai ‘struktur sangat demokratis.’ (p. 28)
Tipe terakhir yang ditawarkan Mintzberg adalah divisionalized form. Organisasi yang distrukturkan oleh divisi ini mempunyai unit garis tengah sebagai ciri paling jelas. Jenis organisasi ini menentukan unit-unitnya atas dasar pangsa pasar sebagai wujud bidang-bidang yang sesuai dengan kewenangannya, yang merupakan sejumlah entitas quasi otonom dipadu bersama dengan sebuah struktur administratif pusat. Kepala sekolah mengkoordinir divisi dengan menggunakan standarisasi output. Kebanyakan perusahaan besar diorganisir dengan tipe organisasi ini. Dalam administrasi model ini, manajer divisi diperlukan untuk membuat rancangan sehingga personel unit langsung mengarahkan energinya ke tujuan kinerja. Dengan tipe ini pembuatan keputusan diserahkan pada setiap divisi (p. 30, 224).
Pada dasarnya munculnya konsep desentralisasi merupakan reaksi terhadap runtuhnya pola organisasi dengan ‘kekuasaan satu orang’ (p. 31). Paling tidak ada dua asumsi tentang hakikat organisasi yang mendorong munculnya sistem desentralisasi. Salah satu asumsi ini adalah perlunya menciptakan keseimbangan antara level keteraturan (order) dan ketidakteraturan (disorder), sementara asumsi yang lain adalah tentang lokus pengetahuan di dalam struktur organisasi itu sendiri. Asumsi pertama secara tidak langsung menyatakan bahwa organisasi identik dengan keteraturan (order). Berorganisasi berarti membangun aturan. Dengan demikian, tidak ada organisasi sama dengan tidak ada aturan. Namun demikian, pencapaian tugas mungkin memerlukan beberapa tingkat ketidakteraturan. Schumacher (1973, p. 243) menyatakan bahwa organisasi harus berjuang terus untuk mencapai garis keteraturan aturan dan garis ketidakteraturan kebebasan. Sementara itu, asumsi kedua mempunyai makna bahwa insulasi level hirarki administratif yang lebih tinggi pada dasarnya berasal dari pengetahuan di tingkat bawah. Alasan diberlakukannya desentralisasi adalah “berpegang pada pengetahuan khusus yang ada dalam unit-unit”. Ini berarti bahwa pengetahuan yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi jelas mendasarkan pada level yang lebih bawah. Dengan demikian, pengetahuan tidak hanya milik manajer saja, tapi setiap unit memilikinya. Yang membedakan hanya jenis pengetahuan dan problem yang dihadapi. Sebenarnya, asumsi kedua ini bertolak dari pertanyaan “who knows best?” Jawabnya, masing-masing unit lebih tahu tentang problem yang dihadapi.
Dengan asumsi tentang makna organisasi di atas, maka pemberian wewenang kepada setiap unit untuk berkreasi pada dasarnya merupakan orientasi yang diharapkan dalam pola desentralisasi. Menurut Mintzberg makna desentralisasi adalah sebuah tingkat dimana kekuasaan didistribusikan kepada banyak individu (p. 35). Dengan demikian, secara kasar desentralisasi dapat diartikan sebagai cara dimana kekuasaan disebar ke semua unit. Kekuasaan ini bisa bersifat formal maupun informal. Adalah sangat mungkin bagi seseorang mempunyai kekuasaan tetapi tidak mempunyai legitimasi. Dengan pemahaman ini, makna desentralisasi dapat dirumuskan sebagai tingkatan dimana otoritas untuk membuat keputusan didistribusikan di antara banyak peran dalam sebuah organisasi, yaitu melalui unit-unit.
Berkaitan dengan sistem desentralisasi, ada beberapa dimensi yang perlu dicermati di dalam pola ini, yakni desentralisasi operasi atau fungsi, organisasi pelayanan, level, derajat (tingkat), waktu, cara, dan aturan. Dimensi-dimensi tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat, yakni jumlah tugas-tugas khusus yang ditampilkan oleh agen-agen tertentu, cara klien meminta pelayanan dan merespon waktu, jumlah dan sifat keputusan yang mungkin dibuat pada level yang lebih rendah, dan partisipasi dalam membuat keputusan. Agak berbeda dengan pembagian dimensi tersebut, Mintzberg berpendapat bahwa ada dua dimensi desentralisasi. Pertama, dimensi vertikal/horisontal. Desentralisasi vertikal mengacu pada tingkat otoritas pembuatan keputusan dibagi ke bawah dalam hirarki manajemen, yakni dari pemimpin eksekutif hingga tingkatan yang paling bawah dan dapat ditempatkan dalam peran garis otoritas. Sementara itu, desentralisasi horisontal diartikan sebagai pendistribusian otoritas kepada anggota non-jalur yang mungkin ada di banyak level organisasi. Sebagai contoh, jika otoritas pengawas dibagi bersama dengan staf kantor pusat, maka daerah akan didesentralisasi secara horisontal. Model desentralisasi ini mengurangi ‘kekuasaan’ membuat keputusan dari manajer tingkat lebih bawah. Kedua, dimensi selektif dan paralel. Dimensi selektif berarti bahwa hanya jenis keputusan tertentu yang didistribusikan ke organisasi sementara yang lain tidak. Contoh dalam hal ini adalah kemungkinan mempertahankan keputusan keuangan pada tempat strategis namun memindahkan keputusan produksi pada supervisor garis pertama. Dalam konteks lembaga pendidikan, di antara jenis keputusan yang bisa didistribusikan di sekolah adalah pengadaan, perlengkapan dan personel level sekolah, sementara keputusan mengenai pemanfaatan, pemeliharaan, dan layanan ahli diatur oleh kantor pusat. Sementara itu, dimensi paralel dari desentralisasi berarti pendistribusian banyak keputusan pada tempat yang sama. Tempat yang sama dapat dimaknai dengan peran yang sama. Contoh dalam hal ini adalah pendistribusian keputusan keuangan, pemasaran, dan produksi kepada manajer divisi dalam garis tengah.
Menurut Brown, ada dua bentuk desentralisasi, yakni desentralisasi politik dan desentralisasi organisasi. Yang pertama ada dengan sendirinya, sementara yang kedua lebih mengarah ke persoalan teknik. Yang pertama identik dengan desentralisasi horisontal, sementara yang kedua sama dengan vertikal. Menurutnya, dari kedua bentuk desentralisasi tersebut, yang lebih tepat untuk SBM adalah bentuk desentralisasi organisasi. Paling tidak ada tiga alasan kenapa memilih desentralisasi organisasi. Tiga hal tersebut pada dasarnya merupakan tujuan akhir yang ingin diraih dari pemberlakuan sistem desentralisasi, yakni adanya fleksibilitas, akuntabilitas, dan produktifitas. Ketiga hal ini dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui ada tidaknya perubahan dalam sebuah organisasi. Dalam organisasi pendidikan pengelola mempunyai lebih banyak otoritas untuk mengontrol sumber dayanya sendiri, sehingga tidak harus menunggu ‘petunjuk’ dari pemerintah pusat. Mereka dapat berkreasi dan berimprovisasi dalam pemberdayaan sumber daya yang dimiliki. Dalam hal akuntabilitas, pilihan yang ditawarkan dalam SBM adalah sebuah model manajerial/liberal atau partisipatoris yang melibatkan banyak elemen terkait (stakeholder). Sementara itu, dalam hal produktifitas desentralisasi memberikan level lebih besar kepada pengelola dan peserta didik untuk mengoptimalkan potensinya sendiri, sehingga mereka tidak terlalu dibatasi oleh aturan-aturan baku dan kaku yang dibuat oleh pemerintah pusat.
Menurut Brown, konsep dan penerapan SBM dimungkinkan muncul dalam kerangka desentralisasi organisasi. Dengan desentralisasi ini, kebebasan diberikan kepada pihak pengelola lembaga pendidikan untuk menentukan nasibnya sendiri. Tentu saja, dalam membawa arah kelembagaan, pengelola, khususnya kepala sekolah perlu menjalin kerjasama dan membuat jaringan dengan elemen yang terlibat dalam lembaga pendidikan, misalnya orang tua, masyarakat, lembaga lain pengguna alumni, serta pihak pemerintah. Dengan demikian, kepala sekolah sebagai pembuat keputusan harus mampu ‘membaca’ realitas dan potensi yang ada di sekitarnya sehingga dapat mensinergikan semua potensi di sekitar sekolah. School-based Management dalam Praktek
Dalam pandangan Brown, sebenarnya bentuk umum dari SBM cukup sederhana. Banyak fungsi perencanaan dan keputusan pendidikan yang semula selalu dibuat oleh pemerintah pusat diserahkan ke sekolah. Dalam hal ini yang diberi otoritas untuk membuat keputusan adalah personel sekolah itu sendiri, bukan orang tua peserta didik. Karena itu, SBM lebih tepat diberi label sebagai desentralisasi organisasi ketimbang desentralisasi politik. Semua keputusan pada level sekolah diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah, dalam hal ini kepala sekolah sebagai ‘pemberi kata akhir keputusan sekolah’. Pemerintah daerah hanya memberikan fasilitas demi tercapainya tujuan desentralisasi sehingga memungkinkan sekolah lebih efektif, responsif, akuntabel dan mengaitkan perencanaan dengan sumber daya yang tersedia. Hal ini sebagai bukti adanya pengakuan bahwa personel sekolah cukup paham dengan kondisi lokal untuk membuat keputusan yang tepat. Dalam perspektif Mintzberg, struktur yang paling tepat dalam SBM dikaitkan dengan desentralisasi organisasi adalah bentuk kelima, yakni divisionalized form (p. 224).
Secara umum model SBM mempunyai dua dimensi pokok yang perlu dicermati. Pertama adalah definisi tentang otoritas dan pertanggungjawabannya dalam berbagai peran yang dimainkan oleh personel pendidikan. Hirarki antar unit dalam organisasi dibuat dengan sebuah “aturan satu bos”, dimana masing-masing orang hanya mempunyai satu orang pengawas. Yang jelas, otoritas dan tanggung jawab dipikul secara bersama, dengan penekanan khusus pada kepala sekolah, namun juga oleh personel lain dalam struktur administratif tersebut. Sementara dimensi kedua dari SBM adalah ruang lingkup pembuatan keputusan yang dicukupkan pada level sekolah.
Menurut hasil penelitian, ada dua proses utama sebagai bagian struktur dalam SBM. Pertama adalah mekanisme dimana sumber daya dialokasikan penuh ke sekolah. Dalam hal ini berlaku aturan umum “uang mengikuti anak”. Ini berarti bahwa sekolah menerima banyak alokasi dana berdasarkan pendaftar yang masuk. Semakin banyak pendaftar semakin banyak pendapatan masuk. Hanya saja, ada beberapa kritik tentang mekanisme tersebut. Pertama, mekanisme tersebut cenderung bersifat linear, sekolah kecil akan mendapat pendapatan rendah. Kedua, daerah kecil dengan SDM minim mungkin tidak bisa menerapkan rumus tersebut. Ketiga, alokasi dana sangat menentukan usaha perencanaan sekolah. Bagi lembaga pendidikan yang banyak peserta didiknya tidak menjadi persoalan, namun bagi yang minim peserta didiknya akan menjadi kendala besar dalam membuat program. Sementara itu, proses utama kedua adalah yang disebut proses penganggaran, yang dalam konteks SBM sering disebut dengan anggaran berbasis sekolah. Anggaran dibuat berdasarkan kebutuhan riil sekolah, bukan keinginan pemerintah pusat.
Sebagaimana telah disinggung di bagian awal bahwa jenis struktur organisasi yang relevan dengan SBM adalah divisionalized form, sebagaimana yang ditawarkan oleh Mintzberg. Dengan struktur ini unit pokok manajemen diserahkan ke sekolah yang ditandai oleh ‘quasi otonom’ ketika sejumlah otoritas didelegasikan. Koordinasi dicapai bukan oleh kontrol input sumber daya, namun oleh pengujian output, misalnya berdasarkan hasil survey kemajuan lembaga pendidikan dan indikator lain. Pembuatan berbagai keputusan berada di tangan kepala sekolah.
Berkaitan dengan model struktur SBM, berdasarkan penelitian di Kanada ada tiga struktur SBM. Pertama, struktur yang ditawarkan oleh Lindelow yang menggambarkan beberapa struktur di Monroe dan Alachua Counties Florida. Di sana, ada komite penasehat orang tua namun tidak berfungsi untuk mengontrol sekolah. Kepala sekolah diberi kewenangan lebih besar dan kewenangan staf kantor pusat dikurangi. Kedua, struktur yang ditawarkan oleh Greenhalgh. Ia membuat dua pernyataan umum tentang struktur SBM, yakni otoritas membuat keputusan dibatasi pada kantor pusat, seperti skala gaji, persetujuan tenaga kerja dan alokasi ke sekolah, dan hubungan dengan dinas pemerintah lain. Aspek lain yang dibuat Greenhalgh adalah tentang proses alokasi dan penganggaran, bahwa penyediaan tenaga guru harus seragam di seluruh distrik dan perlu ada integrasi anggaran sekolah dengan anggaran distrik.
Pendapat ketiga diberikan oleh Marburger. Poin penting yang ia buat adalah bahwa desentralisasi dapat memberikan otoritas kepada orang tua untuk memberi masukan dan mengarahkan keputusan dan perencanaan sekolah. Dengan struktur ini ada dewan sekolah yang membantu memberikan masukan dalam membuat keputusan pendidikan dan memberikan ruang lebih banyak kepada orang tua untuk “bersuara”. Dalam penelitian di Cleveland ditemukan kasus bahwa distrik menyerahkan sepenuhnya kepada kepala sekolah untuk mengambil keputusan, termasuk apakah harus melibatkan pihal luar atau tidak, misalnya orang tua dan warga lain.
Tiga ilustrasi hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa praktek SBM cukup beragam antara satu lembaga pendidikan dengan yang lain. Namun, poin penting yang perlu diperhatikan adalah adanya pemberian ruang lebih besar kepada pengelola lembaga pendidikan untuk mengelola dan menentukan nasib lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Dalam membuat kebijakan, misalnya, kepala sekolah dapat memilih antara harus melibatkan pihak luar sekolah atau cukup internal sekolah. Yang jelas, seberapa efektifkah keputusan yang diambil oleh kepala sekolah akan ditentukan dan dinilai oleh para stakeholder pendidikan di sekitarnya.
Secara umum, orientasi akhir dari SBM dalam sistem desentralisasi adalah ingin menghasilkan empat hal, yakni fleksibilitas, akuntabilitas, produktifitas, dan perubahan. Fleksibilitas dicapai ketika sekolah diberi keleluasaan untuk membuat keputusan sesuai dengan yang diinginkan. Dengan pemberlakuan SBM akan memungkinkan pihak sekolah banyak mengambil inisiatif sehingga akan banyak muncul ide-ide kreatif. Dengan memberikan banyak kesempatan kepada sekolah untuk berkreasi, menurut hasil penelitian, kepala sekolah menjadi manajer unit yang harus mengelola dan membuat keputusan bersama stafnya tentang anggaran sekolah. Kogan menawarkan tiga mekanisme akuntabilitas, yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, akuntabilitas melalui kontrol negara, dewan sekolah, dan administrator. Kedua, kontrol profesional melalui partisipasi demokratis. Dan ketiga, kontrol konsumen melalui orang tua. Dua hal terakhir dapat dikelompokkan menjadi satu yang disebut demokrasi liberal atau partisipatif yang didasarkan pada ide pluralisme dan negosiasi. Pada prinsipnya, proses review keuangan dianggap para responden sebagai aspek kunci dalam akuntabilitas. Dalam proses ini hendaknya melibatkan anggota dewan sekolah, pegawai pusat, kepala sekolah, guru dan staf pendukung. Aspek yang lain dari akuntabilitas adalah penggunaan survey kepuasan yang diberikan kepada orang tua, peserta didik dan semua anggota staf. Hasil survey ini akan digunakan untuk mengukur kinerja.
Hasil ketiga yang diharapkan dari penerapan SBM adalah meningkatnya produktifitas. Produktifitas tidak harus dimaknai berkurangnya cost yang dikeluarkan. Dengan SBM pengelolaan sekolah lebih efektif, sebab memberikan keleluasaan kepada kepala sekolah untuk menjadi pemimpin pendidikan, bukan teknisi pendidikan. SBM memungkinkan semua elemen yang terkait dengan sekolah untuk mengaktualisasikan diri. Sedangkan produk terakhir dari SBM adalah munculnya perubahan. Perubahan hanya akan muncul ketika ada pergeseran paradigma pengelolaan pendidikan, dari tersentral menjadi terdesentral yang diserahkan kepada pengelola sekolah.
Namun demikian, empat hal yang diharapkan muncul dengan adanya SBM tersebut tidak akan terwujud tanpa didahului oleh perubahan struktur dalam organisasi. Karena itu, poin penting yang perlu diperhatikan adalah perlunya membenahi struktur organisasi pengelolaan pendidikan yang diharapkan akan menampung banyak gagasan baru dengan model SBM di tengah sistem desentralisasi. Catatan Akhir
Untuk konteks keindonesiaan gagasan SBM muncul belakangan seiring dengan mulai diberlakukannya semangat otonomi daerah dan sistem desentralisasi. Hanya saja, dalam kenyataannya ide tersebut belum sepenuhnya dipahami oleh para praktisi pendidikan terutama kepala sekolah. Sebagian pengelola sekolah sangat welcome menyambut wacana tersebut untuk diterapkan, sementara sebagian yang lain masih “setengah hati” antara menerima dan menolak. Keragaman sikap ini pada dasarnya merupakan cermin adanya ragam pemahaman dan tangkapan terhadap konsep itu. Bagi yang menerima berargumen bahwa SBM memberikan banyak peluang kepada pengelola sekolah untuk menuangkan gagasan yang dimiliki tanpa harus ‘dipaksa’ oleh kemauan pusat. Selain itu, bagi yang menerima, mereka sudah siap dengan infrastruktur pendukung, misalnya kepala sekolah yang visioner, kualitas tenaga pengajar yang memadai, jaringan kelembagaan luas, partisipasi masyarakat ada, dan fasilitas sangat mendukung. Dengan kondisi ini, mereka sudah siap mengelola lembaga pendidikan ‘sesuai keinginannya’. Sementara itu, bagi yang kurang mendukung gagasan ini antara lain disebabkan oleh kurangnya kemandirian dalam pengelolaan lembaga. Kondisi yang demikian selain disebabkan oleh dampak sentralisasi yang selama ini berjalan dalam pengelolaan pendidikan juga disebabkan oleh kurang siapnya sarana pendukung.
Karena itu, penciptaan prakondisi oleh pemerintah kepada pengelola lembaga pendidikan sangat diperlukan. Bentuk prakondisi ini antara lain melalui sosialisasi konsep SBM secara intensif. Selain itu, pemerintah juga mempunyai peran dalam membuat seperangkat aturan sebagai rambu-rambu umum dalam implementasi konsep SBM. Peraturan yang dibuat pemerintah tidak dalam kerangka membatasi gerak dan langkah pengelola lembaga pendidikan, namun untuk memfasilitasi kelancaran program sehingga tidak ada sekolah yang merasa dirugikan oleh penerapan konsep SBM hanya karena tidak adanya peran pemerintah untuk menjembatani implementasi program ini. Kalau ini terjadi, pemberlakuan SBM justru kurang efektif.
Persoalan lain yang perlu mendapat perhatian dengan diberlakukannya SBM adalah tentang pelibatan aktif semua komponen yang termasuk stakeholder pendidikan, seperti peserta didik, masyarakat (orang tua dan LSM), dan pengguna alumni, selain pengelola dan pemerintah. Karena itu, penerapan SBM harus dibarengi dengan upaya penyadaran masyarakat untuk terlibat aktif dalam mengontrol mutu pendidikan. Dengan pertimbangan ini, pembuatan keputusan pendidikan dalam sebuah lembaga pendidikan tidak boleh terlalu bergantung pada pemerintah, termasuk dalam hal pemilihan kepala sekolah. Pergantian pengelola lembaga pendidikan hendaknya lebih diserahkan kepada sekolah yang bersangkutan dengan melibatkan para stakeholder pendidikan tersebut.
Akhirnya, meskipun buku yang dibuat oleh Brown ini didasarkan dari hasil penelitian di Kanada tentang desentralisasi dan SBM, namun gagasan umumnya dapat diambil sebagai kerangka untuk penerapan sistem tersebut dalam konteks keindonesiaan. Tentu saja, kajian ini tidak dimaksudkan untuk ditiru sepenuhnya sebab konteks dan kondisi yang dihadapi di Barat dengan Indonesia jauh berbeda, namun perlu penyesuaian-penyesuaian tertentu. Karena itu, di antara banyaknya referensi yang saat ini banyak bermunculan tentang desentralisasi dan SBM, karya Brown dapat dijadikan sebagai bahan pembanding untuk melihat efektifitas SBM dalam konteks desentralisasi. (Muqowim)
Kotagede, fin du juin 2002

Tidak ada komentar: