Kamis, Juli 26, 2007

multiple intelligences

MULTIPLE INTELLIGENCE BASED-EDUCATION
Mewujudkan Indonesia sebagai Bangsa Para Juara (?)[1]
Oleh: Muqowim[2]

Kapan … Indonesia masuk Piala Dunia? (Dick Doang-2002)
Education Next: Indonesia 2050
Berbeda dengan Indonesia pada awal abad ke-21 di mana Indonesia terkenal sebagai “juara” dunia dalam bidang korupsi, negara dengan daya saing rendah (nomor 37 dari 57 negara), mutu pendidikan nomor wahid dari bawah, dan ‘gelar negatif’ lain, maka wajah Indonesia pada pertengahan abad ke-21 berubah total menjadi bangsa para juara betulan. Pada tahun ini hampir setiap hari nama negara ini menghiasi di hampir semua media masa dunia, mulai dari Tempo sampai Time, dari The Jakarta Post sampai The Washington Post, dan dari Kompas sampai Newsweek. Di berbagai mass media tersebut hampir setiap saat putera-puteri Indonesia mengharumkan nama baik bangsa dengan berbagai prestasi besar di percaturan dunia dalam berbagai bidang, mulai dari olahraga, seni (musik dan sastra), sampai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau dalam laporan UNESCO tentang Human Development Index (HDI) tahun 1999 Indonesia menempati urutan 109 dari 174 negara, maka pada tahun 2050 Indonesia menempati urutan 5. Kalau dalam laporan The Third International Mathematics and Science Study Report tahin 2000 dari 38 negara Indonesia berada pada ranking 32 untuk IPA dan 34 untuk Matematika, maka pada tahun 2049 Indonesia menggeser Singapura dengan menempati urutan 1 untuk Matematika dan 2 untuk IPA.
Prestasi bangsa Indonesia tersebut merupakan laporan imajiner, sebuah pengandaian, dari orang yang gerah dengan problem realitas bangsa yang katanya sebagai bangsa ramah dan gemah ripah loh jinawi ini (?). Berbagai ‘produk unggulan’ bangsa tersebut tidak akan pernah muncul jika kondisi pendidikan di Indonesia masih seperti saat ini (baca awal abad ke-21), di mana misi pendidikan telah mengalami misleading. Pendidikan yang mestinya sebagai proses pembebasan manusia dari berbagai penindasan, membentuk kesadaran kritis peserta didik, dan sebagai proses transformasi individu dan masyarakat, malah berubah menjadi proses penghambat berkembangnya potensi kemanusiaan peserta didik, membentuk kesadaran magis dan naif (kata Freire), dan sebagai proses hegemoni (kata Gramsci). Seringkali pendidikan dijadikan sebagai proses penjinakan, kooptasi, dan hegemoni dari penguasa. Banyak individu yang mempunyai potensi hebat justru mati ketika masuk lembaga pendidikan (baca: sekolah). Kata Neil Postman, peserta didik masuk sekolah dengan tanda tanya (?) dan keluar dengan tanda titik (.).
Kondisi pendidikan ini akan jauh berbeda wajah pada lima puluh tahun mendatang jika para pembuat kebijakan pendidikan dan praktisi pendidikan memahami dan menerapkan Kecerdasan Majemuk (KM) atau multiple intelligence. Teori yang diusung oleh Howard Gardner sejak dekade 80-an ini banyak menawarkan teori baru tentang makna kecerdasan sebagaimana yang selama ini dipahami. Yang paling mengemuka selama ini, kecerdasan lebih diartikan sebagai kecerdasan intelektual (IQ), meskipun belakangan sudah berkembang kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. KM mencoba melihat kecerdasan lebih komprehensif dalam diri setiap orang. Paling tidak ada delapan jenis kecerdasan, meskipun Gardner masih akan menambah satu jenis kecerdasan lagi (kecerdasan eksistensial), yang ditawarkan KM, yaitu kecerdasan linguistik, logis-matematis, spasial, musikal, kinestetis-jasmani, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Praktek pendidikan mestinya berupaya mengoptimalkan semua jenis kecerdasan ini, sehingga tidak ada peserta didik yang merasa dirinya bodoh dan ‘tidak bisa apa-apa’, padahal dalam kenyataannya ada yang salah dengan praktek pendidikan.
Meskipun buku Sekolah Para Juara (untuk selanjutnya disebut dengan SPJ) ini bukan merupakan karya Gardner, sebagai penggagas KM, namun SPJ cukup menarik dikaji karena ditulis oleh ‘pendukung berat’ Gardner, yakni Thomas Armstrong (untuk kemudian cukup disebut TA). TA juga dapat disebut sebagai Hermes, sebab ia banyak menjembatani gagasan KM yang bersifat teoritik ke dalam bentuk praktek pendidikan. Tulisan ini mencoba ‘membaca’ SPJ dengan urutan, KM di tengah kecenderungan baru paradigma pendidikan modern, KM sebagai bentuk pengembalian praktek pendidikan ke basisnya (back to khittah), upaya kontekstualisasi KM dalam masyarakat Indonesia, dan KM dalam sorotan pendidikan Islam.
KM dan Perubahan Paradigma Pendidikan Kontemporer
Munculnya istilah KM (multiple intelligence) seiring dengan adanya cara dan perspektif baru dalam memandang kegiatan dan proses pendidikan. Menurut pandangan baru ini, proses dan pola pembelajaran yang selama ini berlangsung kurang melihat pada hakikat peserta didik dan makna belajar itu sendiri. Selain KM, terma lain sebagai representasi gerakan baru (new movement) ini adalah learning revolution,[3] quantum learning,[4] brain based learning,[5] superlearning,[6] creative brain,[7] active learing,[8] mind map,[9] dan accelerated learning.[10] Menariknya, berbagai istilah tersebut muncul tidak sekedar sebagai respon tak beralasan (by accidence), namun didukung oleh hasil riset yang mendalam.
Ibarat gayung bersambut, berbagai gagasan baru tersebut sebenarnya saling mendukung dan menyempurnakan. KM muncul sebagai wujud cara pandang baru terhadap hakikat peserta didik yang menjadi pusat perhatian dalam treatment pendidikan. Temuan Gardner ini menempati posisi penting dalam praktek pendidikan kontemporer karena beberapa pertimbangan. Pertama, tawaran tentang KM didasarkan pada berbagai hasil riset mendalam tentang potensi yang dimiliki oleh setiap orang. Menurut teori ini semua anak adalah individu yang berbakat. Tiap-tiap anak terlahir ke dunia ini dengan potensi yang unik, yang jika dipupuk dengan benar, dapat ikut memberikan sumbangan yang lebih baik bagi dunia. Tugas pendidikan, termasuk orang tua dan pendidik, adalah menemukan dan mengembangkan anugerah Tuhan ini. Kedua, Gardner tidak hanya berbicara pada dataran teoritis tetapi juga praktis, sebab apa yang ditawarkan merupakan hasil praktek di lapangan.[11] KM banyak dikembangkan oleh Gardner dan koleganya di Harvard Project Zero. Ketiga, gagasan KM dituangkan secara runtut mulai dari filosofinya sampai penerapan praktisnya. Hal ini dilakukan bersama tim yang saling mendukung. Buku SPJ yang ditulis oleh TA merupakan bentuk penjabaran lebih rinci dari teori KM yang dilontarkan oleh Gardner tersebut.
Di tangan TA, dengan SPJ-nya, teori KM menjadi sangat praktis dalam dunia pendidikan. Sebab, di dalamnya paling tidak memuat enam hal. Pertama, hasil-hasil riset terbaru Gardner yang meliputi informasi tentang kecerdasan yang ke-8, yakni naturalis, dan kemungkinan kecerdasan yang ke-9, yakni eksistensial. Kedua, strategi pembelajaran bagi tiap-tiap kecerdasan. Ketiga, penyusunan kurikulum gaya baru berbasis KM. Keempat, metode delapan cara untuk merancang sistem penilaian dan ujian. Kelima, pengembangan karier dengan pendekatan KM. Terakhir, pendidikan khusus yang terfokus pada kemampuan, bukan kelemahan. Buku ini sebagai karya seorang pendidik yang telah mengabdikan diri dalam KM selama empat belas tahun.
Buku SPJ semakin menarik dicermati karena ditulis oleh orang yang cukup lama berkecimpung dalam dunia pendidikan. TA adalah seorang penulis dan pembicara yang sudah malang-melintang dan cukup banyak makan garam dalam bidang pendidikan. Ia memiliki pengalaman mengajar lebih dari 28 tahun, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga tingkat doktoral. Dia termasuk penulis prolifik dalam bidang pembelajaran dan pengembangan sumber daya manusia. Berbagai karyanya telah banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa, misalnya In Their Own Way, Awakening Your Child’s Natural Genius, 7 Kinds of Smart, dan Awakening Genius in the Classroom. Di mata penggagas teori KM, Howard Gardner, TA dikenal dan diakui karena keakuratan laporannya, kejelasan bahasanya, referensinya yang luas, dan cara penyampaiannya yang sangat pas bagi para pendidik.
TA mulai tertarik pada teori KM pada tahun 1985, ketika menyadari bahwa teori ini banyak berbicara tentang bakat alami anak, terutama bagi mereka yang dicap sebagai anak bermasalah di sekolah. Ia mulai terdorong untuk meninggalkan model paradigma defisit dalam pendidikan khusus pada tahun 70-an hingga 80-an. Ia mulai merubah paradigma tersebut menjadi paradigma perkembangan. Bersama Gardner, pada tahun 1983 ia mendirikan Harvard Project Zero sebagai tempat penggodokan teori KM.

KM: Penghargaan terhadap Potensi Peserta Didik
Teori KM lahir sebagai bentuk revisi atas rumusan cerdas yang dikemukakan oleh Alfred Binet, psikolog asal Prancis, yang beranggapan bahwa kecerdasan dapat diukur secara obyektif dan dapat dinyatakan dengan satu angka atau nilai IQ. Gardner pada dekade 80-an mulai mempertanyakan terma cerdas yang sudah berkembang di masyarakat tersebut. Baginya definisi tersebut terlalu sempit. Melalui karya Frames of Mind-nya dia mengemukakan adanya, paling tidak, tujuh kecerdasan dasar yang kemudian ditambah satu jenis kecerdasan lagi menjadi delapan. Kedelapan jenis kecerdasan itu adalah kecerdasan linguistik, matematis-logis, spasial, musikal, kinestetis-jasmani, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis.
Kecerdasan linguistik adalah kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan (misalnya pendongeng, orator, atau politisi) maupun tertulis (misalnya sastrawan, penulis drama, editor, dan wartawan). Kecerdasan ini meliputi kemampuan memanipulasi tata bahasa atau struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa, semantik atau makna bahasa, dimensi pragmatik atau penggunaan praktis bahasa. Penggunaan bahasa ini mencakup retorika, mnemonik/hafalan, eksplanasi, dan metabahasa. Kecerdasan matematis-logis adalah kemampuan menggunakan angka dengan baik (misalnya ahli matematika, akuntan, ahli statistik) dan melakukan penalaran yang benar (misalnya sebagai ilmuwan, pemrogram komputer, dan ahli logika). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada pola dan hubungan logis dan abstraksi-abstraksi lain. Proses yang digunakan dalam kecerdasan ini antara lain membuat kategorisasi, klasifikasi, pengambilan keputusan, generalisasi, penghitungan, dan pengujian hipotesis.
Kecerdasan spasial adalah kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat (misalnya sebagai pramuka, pemandu, dan pemburu) dan mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut (misalnya dekorator, desainer interior, arsitek, dan seniman). Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada warna, garis, bentuk, ruang, dan hubungan antar unsur tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan membayangkan, mempresentasikan ide secara visual atau spasial, dan mengorientasikan diri secara tepat dalam matriks spasial. Kecerdasan kinestetis-jasmani adalah keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan (misalnya sebagai aktor, pemain pantomim, atlet, atau penari) dan keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu (misalnya pengrajin, pemahat, ahli mekanik, atau dokter bedah). Janis kecerdasan ini meliputi kemampuan fisik yang secara spesifik, seperti melakukan koordinasi, keseimbangan, keterampilan, kekuatan, kelenturan, dan kecepatan maupun menerima rangsangan dan hal lain yang berkaitan dengan sentuhan.
Kecerdasan musikal adalah kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal dengan cara mempersepsi (misalnya sebagai penikmat musik), membedakan (misalnya kritikus musik), menggubah (misalnya komposer), dan mengekspresikan (misalnya penyanyi). Kecerdasan interpersonal merupakan kemampuan mempersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada ekspresi wajah, suara, gerak isyarat, kemampuan membedakan berbagai macam tanda impersonal, dan kemampuan menanggapi secara efektif tanda tersebut dengan tindakan pragmatis tertentu. Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami diri secara akurat (kekuatan dan keterbatasan diri), kesadaran akan suasana hati, maksud, motivasi, temperamen, dan keinginan. Sedangkan kecerdasan naturalis adalah keahlian mengenali dan mengkategorikan spesies, baik flora maupun fauna, di lingkungan sekitar. Dengan delapan jenis kecerdasan tersebut, proses pembelajaran hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan setiap potensi kecerdasan yang dimiliki siswa tersebut berkembang dengan baik.
Secara teoritis, Gardner mengemukakan kriteria yang dapat digunakan untuk dapat disebut cerdas, yang dia bedakan dengan bawaan, kemampuan atau bakat. Pertama, adanya potensi yang terisolasi akibat kerusakan otak. Hal ini ditemukan Gardner ketika ia berinteraksi dengan orang-orang yang pernah mengalami kecelakaan atau memiliki penyakit yang mempengaruhi wilayah otak tertentu. Dari beberapa kasus, terlihat bahwa cedera otak ini mengganggu kecerdasan tertentu, tetapi sama sekali tidak mempengaruhi kecerdasan yang lain, misalnya orang yang mengalami cedera pada wilayah broca (lobus kiri depan) akan mengalami gangguan pada kecerdasan linguistiknya sehingga mengalami kesulitan berbicara, menulis, atau membaca, namun ia masih tetap dapat menyanyi, mengerjakan soal-soal matematika, menari, dan menjalin hubungan dengan orang lain. Kedua, adanya savant, genius, dan orang-orang besar lain. Savant adalah individu yang menunjukkan kemampuan superior pada salah satu kecerdasannya, sementara kecerdasan yang lain hanya berfungsi pada tingkat rendah. Sebagai contoh, ada savant yang hanya dapat menggambar dengan sangat bagus, savant yang memiliki memori musik yang sangat mengagumkan, dan savant yang ahli dalam matematika. Ketiga, adanya riwayat perkembangan khusus dan kinerja ‘kondisi akhir’ bertaraf ahli yang khas. Bagi Gardner kecerdasan terbentuk melalui keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan yang bernilai budaya dan bahwa perkembangan seseorang dalam kegiatan tersebut mengikuti pola perkembangan tertentu. Misalnya, kemampuan musik termasuk kegiatan bernilai budaya yang pertama berkembang, kemampuan matematika tidak muncul secepat kemampuan musik, dan kemampuan linguistik mencapai puncak pada usia empat puluhan ke atas. Keempat, adanya sejarah evolusioner dan kenyataan logis evolusioner. Bagi Gardner kedelapan kecerdasan itu memenuhi syarat memiliki akar yang mendalam dalam sejarah evolusi umat manusia dan, evolusi spesies lain, misalnya adanya kecerdasan spasial di gua-gua atau kecerdasan musikal melalui instrumen musik purba. Kelima, adanya dukungan dari temuan psikometrik. Munculnya tes standar untuk menguji kecerdasan linguistik, spasial, dan kinestetis-jasmani, sebagaimana yang dikembangkan oleh Wechsler misalnya, merupakan bukti adanya ragam kecerdasan. Keenam, adanya dukungan dari penelitian psikologi eksperimental. Menurut hasil riset kecerdasan bekerja terpisah satu sama lain, misalnya seseorang yang menguasai kemampuan membaca, tetapi gagal menggunakan kemampuan tersebut di wilayah lain, seperti matematika. Ketujuh, adanya cara kerja atau rangkaian cara kerja dasar yang teridentifikasi. Akhirnya, adanya kemudahan menyandikannya ke dalam sistem simbol. Salah satu indikator terbaik perilaku cerdas adalah kemampuan manusia menggunakan simbol.
Dengan ditemukannya makna cerdas secara majemuk oleh Gardner dan kawan-kawan tersebut mengharuskan dunia pendidikan harus menata ulang tentang pola dan proses pendidikan yang selama ini berjalan, terutama cara pandang terhadap peserta didik. Sebab, tawaran KM cukup mendasar yang diawali dengan cara pandang terhadap anak. Padahal, praktek pendidikan pada dasarnya berawal dari cara pandang ini. Ketika perspektifnya berubah, maka praktek pendidikannya pun harus menyesuaikan. Perombakan praktek pendidikan tersebut mulai dari pengembangan struktur kurikulum, strategi pembelajaran, pengelolaan kelas, bentuk evaluasi, dan format lembaga pendidikan. Semua perombakan ini dilakukan semata-mata untuk memanusiakan peserta didik menurut potensinya masing-masing.

Pembumian KM di Indonesia: Peluang dan Hambatan
Untuk konteks keindonesiaan, KM menarik dicermati untuk kemudian dicoba untuk dikembangkan mengingat sudah akutnya problem pendidikan. Meminjam istilah Meier, di Indonesia banyak menderita penyakit pendidikan, mulai dari puritanisme, individualisme, hingga dominannya media cetak. Selain itu, terpuruknya bangsa ini sejak 1997 juga mencerminkan gagalnya proses pendidikan yang selama ini berjalan sehingga tidak mampu mencetak individu-individu cerdas dan tercerahkan yang dapat mengangkat bangsa ini dari keterpurukan. Pendidikan kehilangan elan vital-nya untuk membebaskan manusia dari ketertindasan dan sebagai proses transformasi. Yang terjadi, pendidikan sebagai alat politik penguasa untuk mempertahankan status quo. Karena itu, tidak mengherankan jika banyak “prestasi” atau “gelar” yang diraih bangsa ini, mulai dari minat baca paling rendah sampai negara paling korup.
KM termasuk wacana pendidikan yang baru muncul belakangan, seperti halnya revolusi cara belajar atau kecerdasan emosi. Sebagai wacana baru, banyak di antara praktisi pendidikan yang belum sepenuhnya memahami paradigma baru ini, apalagi mempraktekkan. Karena itu, upaya mendiseminasikan gagasan KM ini perlu dilakukan secara terus-menerus sehingga tidak berhenti di level wacana saja, namun sampai membumi di tingkatan praxis. Meski demikian, bagaimanapun hebatnya sebuah gagasan, ketika akan diterapkan dalam bentuk praksis, sedikit banyak akan mengalami hambatan. Apalagi dalam konteks pendidikan keindonesiaan, paling tidak ada dua hal yang perlu mendapat perhatian, yakni faktor struktural dan kultural.
Secara struktural, iklim pengelolaan pendidikan di Indonesia masih dibatasi oleh pemerintah pusat. Meskipun sudah berada dalam konteks otonomi dan desentralisasi, namun pemerintah belum sepenuhnya memberikan kebebasan kepada pengelola pendidikan di level bawah untuk berkreasi. Ibarat layang-layang, kadang dilepas penuh tapi kadang dikendalikan. Selain itu, pendidikan seringkali dijadikan sebagai kendaraan politik para elit, sebab pendidikan merupakan media paling efektif untuk membentuk pola pikir dan membangun opini publik. Yang lebih mengerikan lagi, banyak elit politik, termasuk yang menangani pendidikan, tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang makna pendidikan, sehingga perbaikan bidang ini tidak cukup membawa perubahan yang signifikan, hanya sekedar tambal-sulam.
Sebenarnya, munculnya perubahan kurikulum menjadi KBK, dari sisi filosofis “cukup menjanjikan” adanya perubahan. Sebab, kurikulum ini bertolak dari gagasan perlunya menempatkan siswa sebagai subyek pendidikan yang harus dioptimalkan. Semua treatment pendidikan harus untuk melayani kepentingan siswa. Hanya saja, para praktisi pendidikan di level sekolah/madrasah belum sepenuhnya memahami konsep ini. Dengan perubahan kurikulum ini memang mengharuskan guru harus lebih aktif dan kreatif menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif bagi pengembangan potensi siswa. Guru harus mampu melakukan improvisasi dalam menyampaikan materi tanpa banyak bergantung pada ‘juklak’ sebagaimana ada dalam era sentralisasi.
Di sisi lain, sukses tidaknya KM dalam praktek pendidikan di Indonesia sangat bergantung juga pada mindset pelaku pendidikan. Hambatan kultural ini sama pentingnya, untuk mengatakan jauh lebih penting ketimbang, hambatan struktural. Merubah kultur tidaklah semudah merubah struktur yang dapat dilakukan dalam waktu sekejap, meskipun kulturnya masih sama dengan struktur lama. Merubah kultur membutuhkan waktu dan proses yang lama, bertahap, dan berkesinambungan.

Catatan Akhir
Biarkan 100 sekolah KM berkembang. Demikian kata Gardner, sang pencetus teori KM, ketika memberikan pengantar pada karya TA. Bagi Gardner tidak ada sekolah baku dan tunggal untuk menerapkan teori KM. Yang paling penting bagi KM adalah bagaimana menciptakan sekolah yang dapat menghormati keunikan setiap orang, berbagai variasi cara belajar mereka, sejumlah model untuk menilai mereka, dan cara yang hampir tidak terbatas untuk mengaktualisasikan diri di dunia ini. Tugas utama lembaga pendidikan adalah mengemban misi ini. Karena itu, format sekolah seharusnya fleksibel dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap anak untuk mengembangkan diri menurut potensinya.
Implikasi dari perspektif ini tentu cukup banyak. Dari sisi pendidik, diperlukan tenaga kependidikan yang memahami dan menghayati betul tentang hakikat manusia, belajar, pendidikan, dan ilmu, sebab tanpa pengetahuan tentang hal ini, praktek pendidikan akan terpuruk lagi. Selain itu, grand design kampus harus mempertimbangkan keunikan siswa, sehingga bentuk kampus tidak boleh hanya berupa gedung yang penuh ruang segi empat (kotak-kotak) saja, namun bisa berupa taman, ruang berekspresi, tempat bermain, ruang meditasi, dan lain sebagainya yang memungkinkan KM berkembang. Karena itu, konsekuensi berikutnya dari hal ini adalah perlunya fasilitas yang ‘lengkap’ (representatif) dan untuk dapat menciptakan ini perlu dana yang tidak sedikit. Akhirnya, baik kurikulum, strategi pembelajaran, pengelolaan kelas, dan evaluasi tidak boleh tunggal, namun harus variatif dan fleksibel.
Akhirnya, terlepas dari adanya beberapa hambatan tentang kemungkinan penerapannya di Indonesia, bukan berarti KM ini tidak perlu dikaji. Justru KM dapat dijadikan sebagai pressure ke berbagai pihak untuk menciptakan pendidikan yang menghargai potensi kemanusiaan setiap peserta didik. Untuk itu, berbagai langkah perlu dilakukan, mulai dari membangun opini publik melalui berbagai kegiatan ilmiah seperti diskusi, seminar, dan lokakarya, hingga memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan, khsusunya, dan praktisi pendidikan, umumnya, untuk mengambil pesan pokok teori KM ini, meskipun KM bukan satu-satunya teori yang harus diambil. Jika langkah ini telah dilakukan dan ada perubahan warna dari praktek pendidikan yang mampu menghargai potensi peserta didik, maka misi karya TA ini telah tercapai. Dalam kerangka inilah, SPJ ini menarik dibaca dan ditindaklanjuti oleh siapapun yang mempunyai komitmen dalam membangun peradaban baru, Indonesia baru, melalui pendidikan sehingga terwujud sebuah bangsa dari para juara.
Wallahu a’lam bi-l-sawab.


Kotagede, 19 Mei 2003

[1] Makalah ini pernah disampaikan dalam Bedah Buku Sekolah Para Juara karya Thomas Armstrong yang diselenggarakan oleh the Big Family PAI-1 pada tanggal 19 Mei 2003 di Ruang Pertemuan Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga.
[2] Muqowim lahir di Karanganyar pada tanggal 5 Mei 1973. Setelah menyelesaikan Program S-1-nya di Fakultas Tarbiyah (Jurusan Pendidikan Agama Islam) pada 1996, ia melanjutkan studi S-2-nya di IAIN yang sama dengan mengambil Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam dan lulus tahun 1999. Di lembaga yang sama, sejak 1999 ia mengambil Program Doktor yang saat ini dalam penulisan Disertasi dengan fokus kajian pada Genealogi Intelektual Saintis Muslim. Selain sebagai dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, ia juga sebagai kepala Pusat Kajian Dinamika Agama, Budaya, dan Masyarakat Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Berbagai gagasannya dapat dijumpai di berbagai jurnal akademik dan majalah, seperti Jurnal Al-Jami’ah, Profetika, Hermeneia, Essensia, Jurnal Ilmu Dakwah, Jurnal Ta’dib, dan Jurnal Ilmu Pendidikan Islam. Selain sebagai sekretaris redaksi Jurnal Hermeneia, ia juga menjadi staf peneliti pada Islamic Studies Forum (ISF) Yogyakarta. Kontak person Telp dan Fax. Kantor PPs. IAIN Sunan Kalijaga (0274) 519709, HP: 0818256675, e-mail: qowim11@lycos.com.
[3] Gordon Dryden and Jeannette Vos, The Learning Revolution: To Change the Way the World Learns, The Learning Web, 1999.
[4] Bobbi DePorter, Quantum Learning, Dell, 1992.
[5] Eric Jensen, Brain Based Learning, Turning Point Publishing, 1996.
[6] Nancy Ostrander, Shiela Ostrander and Lynn Schroeder, Superlearning 2000, Delacorte Press, 1994.
[7] Ned Herrmann, The Creative Brain, Ned Herrmann Group, 1995.
[8] Mel Silberman, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject, Allyn and Bacon, 1996. Buku ini telah diterjemahkan dengan judul Active Learning: 101 Strategi Pembelajaran Aktif (Yogyakarta: Yappendis, 2001).
[9] Tony Buzan, The Mind Map Book: Radiant Thinking, BBC Books, London, 1993.
[10] Dave Meier, The Accelerated Learning Handbook, USA: McGraw-Hill, 2000.
[11] Tentang efektifitas penerapan AL ditunjukkan oleh banyaknya lembaga yang menggunakan model ini dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan, seperti American Airlines, Bell Atlantic, Chevron, Consolidated Edison, Florida Community College, Fortune 100 Midwest Manufacturer, Kodak, dan Travelers Insurance.

Tidak ada komentar: