Kamis, Juli 26, 2007

agama pembebasan

AGAMA (ISLAM) DAN PEMBEBASAN[1]
Muqowim[2]

Prawacana
Akhir-akhir ini wacana pembebasan semakin marak dibicarakan di berbagai event ilmiah, seperti diskusi, seminar, dan sebaginya. Menariknya, wacana tersebut muncul di berbagai aspek kehidupan, misalnya teologi, budaya, ekonomi, dan pendidikan. Pertanyaannya: kenapa isu tersebut muncul (berarti sebagai respon spontan tanpa kesadaran penuh) dan dimunculkan (berarti sebagai reaksi aktif penuh kesadaran untuk menentang praktek-praktek penindasan)? Sebenarnya mafhum mukhalafah-nya adalah berarti ada kecenderungan praktik di bidang-bidang tersebut yang tidak membebaskan, cenderung mengekang, menindas, dan memperbudak. Dalam bidang pendidikan, misalnya, adanya tendensi dari para pelaku pendidikan yang menjadikan pendidikan sebagai proses dehumanisasi, indoktrinasi dan mitologisasi, padahal seharusnya pendidikan sebagai upaya memanusiakan manusia. Di antara tokoh yang getol menggelorakan semangat ini adalah Paulo Freire, Everet Reimer, dan Ivan Illich.
Tulisan ini mencoba mendiskusikan relasi agama (Islam khususnya) dengan wacana dan praktek pembebasan. Kajian terhadap isu tersebut semakin meningkat seiring dengan adanya kesadaran baru di kalangan penganut agama untuk mengartikulasikan ajaran agama dalam kehidupan nyata. Beberapa tokoh di kalangan Islam yang dapat disebut antara lain Asghar Ali Engineer dan Farid Esack. Secara umum, menggeliatnya wacana teologi pembebasan dilatarbelakangi oleh beberapa hal. Pertama, era modern yang ditandai oleh kemajuan sains dan teknologi membawa dua pengaruh sekaligus, positif dan negatif, dalam kehidupan kemasyarakatan, baik secara sosial, budaya, politik, eknomi dan praktek keagamaan. Kedua, adanya kecenderungan dari kaum agamawan untuk ‘terlena’ dan larut dengan situasi kemodernan yang penuh dengan hiruk-pikuknya kemajuan. Mereka lupa akan misi yang diemban untuk membumikan ajaran agama. Ketiga, berkaitan dengan poin kedua, peran agama yang seharusnya mampu memberikan jawaban dan solusi alternatif ternyata semakin kehilangan elan vital, malah seringkali dijadikan sebagai scapegoat (kambing hitam) dari berbagai kasus kerusuhan, konflik dan pembantaian.[3] Wajah agama semakin lama semakin garang, sadis, horor, membelenggu, pro status quo, dan stigma-stigma negatif lainnya.

Teologi Pembebasan at a Glance
Engineer dalam bukunya Islam and Liberation Theology menyatakan bahwa ada empat ciri yang menonjol dari teologi pembebasan.[4] Pertama, teologi pembebasan dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Kedua, teologi pembebasan tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya yang berhadapan dengan golongan miskin. Dengan demikian, teologi ini anti terhadap kemapanan, baik kemapanan relijius maupun politik. Ketiga, teologi pembebasan memainkan peran dalam membela kelompok tertindas dan tercabut hak miliknya. Selain itu, ia juga memperjuangkan kepentingan kelompok ini dan berupaya membekalinya dengan senjata ideologis yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Keempat, ia tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam sejarah umat Islam, namun ia juga mengakui konsep kebebasan manusia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dengan ciri tersebut, Engineer ingin mengatakan bahwa teologi pembebasan berbeda orientasi dengan teologi konvensional yang cenderung membelenggu harkat kemanusiaan dan tidak mencerahkan. Teologi pembebasan lebih concern pada praksis ketimbang teoritisasi metafisis yang mencakup hal-hal abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Makna praksis yang dimaksud di sini adalah sifat liberatif dan interaksi dialektis antara das Sein (is—apa yang ada) dan das Sollen (ought—apa yang seharusnya). Ia berjuang dengan problem realitas yang dihadapi masyarakat, seperti ketidakadilan sosial dan politik, kesewang-wenangan, penindasan, dan sebagainya.
Sebenarnya, maraknya wacana teologi pembebasan muncul ketika semangat dan elan agama semakin hilang di tengah problematika kontemporer, seperti ketidakadilan politik dan ekonomi, illiterate (buta huruf dan wacana), poverty (kemiskinan), dan unemployment (pengangguran). Berbagai kasus tersebut seringkali, bahkan selalu, terjadi di negara-negara yang sedang dalam proses pembangunan (development), khususnya di negara Dunia Ketiga yang identik dengan Dunia Islam (karena mayoritas), Kelompok Selatan-selatan, dan developing countries. Agama seakan powerless menghadapi persoalan kemanusiaan, sebab agama lebih dimaknai dari segi esoterisnya, untuk kepentingan (kesalehan) individual, cenderung ritualistik, dan lari dari masalah. Wajah agama menjadi muran, jauh sekali dengan peran liberatif yang diemban pada saat kemunculannya. Inilah beberapa kegelisahan yang dimiliki oleh kaum teolog pembebasan. Mereka ingin mengembalikan peran agama yang harus diartikulasikan oleh para penganutnya.
Agama (Islam) yang sarat dengan semangat revolusioner menjadi redup seiring dengan praktek umatnya yang pro status quo. Hal ini terbukti dalam rentang sejarah perjalanan umat Islam. Selama abad pertengahan, Islam penuh dengan praktek feodalistik dan, anehnya, para ulama justru ikut menyokong kemapanan yang kuat itu. Mereka cenderung menghabiskan energinya untuk mengurusi dan mengupas persoalan furu’iyyah dalam Syari’at, dan mengecilkan arti elan vital Islam dalam menciptakan keadilan sosial dan kepedulian Islam yang aktif terhadap kelompok masyarakat lemah dan tertindas (mustad’afin).[5] Tidak mengherankan jika sinar dan semangat Islam tidak kunjung datang dalam menjawab tantangan yang muncul di masyarakat, khususnya di Dunia Islam.

Respon ‘Bahasa Langit’ terhadap Problem Bumi
Islam datang memberikan tawaran penyelesaian terhadap berbagai persoalan yang berkembang akut di masyarakat (Arabia). Ia merupakan agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif yang menantang struktur masyarakat yang menindas ketika itu. Tujuan dasar Islam adalah persaudaraan universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan sosial (social justice). Penekanan akan kesatuan manusia (unity of mankind) ditekankan dalam al-Qur’an, “Hai manusia! Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan. Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.”[6] Ayat ini secara tegas membantah semua konsep superioritas rasial, etnis, bangsa dan keluarga, dengan penegasan akan pentingnya kesalehan, bukan hanya kesalehan ritual namun juga sosial.[7]
Islam sangat menekankan keadilan di semua aspek kehidupan. Keadilan tidak akan terwujud tanpa adanya pembebasan terhadap golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan. Al-Qur’an tidak ragu-ragu mempercayakan kepemimpinan seluruh dunia kepada mustad’afin, yakni kaum yang lemah. Mereka adalah pemimpin dan pewaris dunia.[8] Meski ayat ini ditujukan untuk konteks Mesir yang ketika itu dikuasai oleh Fir’aun, namun ia berlaku universal, al-‘ibrah bi-‘umum al-lafz, la bi-khusus al-sabab. Al-Qur’an juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk berjuang membebaskan golongan masyarakat lemah dan tertindas.[9] Di sini al-Qur’an mengungkapkan teori “kekerasan yang membebaskan” (liberative violence).[10] Golongan lemah yang dianiaya oleh para penindas dan eksploitator dengan menggunakan kekerasan tidak akan bebas tanpa melakukan perlawanan. Bahkan, di ayat lain umat Islam diperintahkan untuk berperang sampai tidak ada lagi penindasan.[11]
Al-Qur’an mengecam Fir’aun yang berbuat zalim (penindas) dan mustakbir (sombong).[12] Ayat ini secara tegas menyatakan bahwa Allah tidak memberi toleransi terhadap struktur yang menindas dan menganiaya orang-orang yang lemah. Untuk membebaskan kebrutalan Fir’aun ini Allah mengutus Musa sebagai pembebas. Peran Musa ini juga dimainkan oleh Muhammad yang berhasil membebaskan seluruh umat manusia.

Misi Pembebasan Muhammad
Menurut Muthahari, secara garis besar ada dua misi utama dari seorang Nabi.[13] Pertama, mengajak umat manusia ke arah pengakuan terhadap Tuhan dan pendekatan diri kepada-Nya. Kedua, menegakkan keadilan dan kesederajatan dalam masyarakat manusia. Misi pertama mengacu pada surat al-Ahzab (33): 45-46, yang artinya, “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, dan pembawa kabar gembira serta pemberi peringatan, dan untuk menjadi penyeru kepada agama Allah dengan izin-Nya, dan sebagai cahaya yang menerangi.” Sedangkan misi kedua mengacu pada surat al-Hadid (57): 25, yang berarti, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.”
Berkaitan dengan misi nabi yang pertama, yakni mengajak kepada ketauhidan, sebagaimana tersirat dalam surat al-Ahzab: 45 tersebut, Ibn Kathir dalam tafsirnya mengatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan sifat yang dimiliki oleh Nabi Muhammad yang terdapat dalam Kitab Taurat.[14] Menurut al-Qurtuby, ayat ini dimaksudkan untuk memulyakan nabi dan kaum mukmin. Nabi mempunyai banyak nama atau sebutan, yakni Muhammad, Ahmad, al-Mahiy, al-Hashir, dan al-‘Aqib.[15]
Berkaitan dengan surat al-Hadid: 25, al-Tabattaba’i menyatakan bahwa tujuan Allah mengutus seorang rasul dan menurunkan al-Kitab serta Mizan adalah untuk menegakkan keadilan bagi sesama manusia atau untuk menegakkan masyarakat yang adil. Selain itu, ayat tersebut juga mengandung pengertian bahwa diutusnya seorang rasul oleh Allah adalah untuk menguji mereka dalam mempertahankan kebenaran dalam masyarakat.[16] Yang dimaksud dengan mizan di sini adalah agama Islam itu sendiri yang mengatur persoalan aqidah dan mu’amalah. Dengan demikian, tujuannya tidak lain kecuali untuk mencari kebahagiaan hidup baik secara sosial maupun individual ketika di dunia dan di akhirat.[17]
Menurut al-Tabattaba’i lebih lanjut bahwa diutusnya seorang rasul disertai dengan bukti yang berupa kitab dan mizan yang dengan itu mereka dapat menegakkan keadilan di antara umat manusia. Ini berarti bahwa para rasul datang untuk menyampaikan ajaran tauhid serta muamalah. Dengan demikian, misi seorang rasul mempunyai dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal. Dimensi yang pertama berkaitan dengan aturan bagaimana melakukan muamalah antar sesama makhluk termasuk manusia. Dimensi ini diperlukan agar ketika manusia melakukan muamalah dengan sesamanya bisa berbuat adil, tidak saling merugikan antara satu dengan yang lain.[18] Sedangkan dimensi yang kedua berkaitan dengan bagaimana berhubungan dengan Tuhan, yakni menyangkut persoalan ibadah.
Al-Maraghy ketika menafsirkan surat al-Hadid tersebut mengatakan bahwa alasan para rasul diberi al-bayyinat, al-kitab, dan al-mizan, adalah ingin menunjukkan dan membuktikan bahwa mereka memang diutus oleh Allah untuk menyampaikan kebenaran.[19] Adapun yang terkandung di dalam kitab dan mizan tersebut adalah ajaran dari Allah untuk menegakkan ketauhidan dan keadilan sehingga tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Senada dengan Mutahari, Afzalur Rahman berpendapat bahwa fungsi utama para nabi dan rasul adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid dan memperingatkan manusia agar melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terhadap Allah dan sesama manusia.[20] Secara umum, menurut Rahman, ada dua tugas seorang nabi, yaitu tugas terhadap Tuhan dan tugas terhadap sesama manusia. Tugas yang pertama dapat dicermati dari berbagai ayat al-Qur’an seperti Q.S. al-Mu’minun (23): 23,[21] Q.S. al-Zukhruf (43): 26-27,[22] dan Q.S. al-Baqarah (2): 21.[23] Sedangkan tugas yang kedua yaitu untuk membebaskan pikiran manusia dari semua takhayul dan mengajak manusia untuk mengamati, menganalisa, dan mengambil kesimpulan/pelajaran dari penalaran deduktif.[24] Tugas yang kedua ini sangat terkait dengan bagaimana membentuk character building. Untuk itu, ada dua hal penting mengenai hal ini, yaitu taqwa dan tazkiyah.
Misi yang kedua, yaitu misi kepada sesama manusia jika dilihat dari surat al-Baqarah (2): 151[25] maupun al-Jum’ah (62): 2,[26] ada tiga hal yang menjadi tugas seorang rasul. Pertama, membacakan ayat-ayat[27] Tuhan. Kedua, mensucikan, tazkiyah, hati manusia. Ketiga, mengajarkan kepada umat manusia tentang Kitab dan Hikmah.[28]
Secara umum misi seorang nabi/rasul ada dua. Pertama adalah mengajak manusia kepada Tuhan, mengenal-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya adalah monotheisme teoritis dan monotheisme praktis yang bersifat individual. Monoteisme teoritis berkaitan dengan ilmu bagaimana bertauhid, sedangkan monoteisme praktis sangat terkait dengan bagaimana menerapkan ilmu tersebut. Misi kedua adalah menegakkan keadilan di tengah-tengah masyarakat, yang berarti menegakkan monotheisme praktis yang bersifat sosial. Munculnya wacana pemikiran kontemporer tentang terma tauhid individual dan tauhid sosial tampaknya sangat sejalan dengan misi seorang rasul tersebut.
Berkaitan dengan misi seorang nabi sebagai seorang pembebas dari penyakit-penyakit sosial, Engineer menegaskan bahwa pengetahuan akan kondisi sosial, politik, relijius, budaya dan ekonomi adalah sebuah keharusan.[29] Sebab, gerakan pembebasan selalu berangkat dari kondisi ini. Dikaitkan dengan konteks ini, Muhammad telah berhasil membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan keterbelakangan, seperti buta huruf, etnosentris, adanya tuhan agen, subordinasi dan penindasan kaum perempuan, perbudakan, dan kesenjangan ekonomi. Hal-hal tersebut berhasil dibebaskan dan dihilangkan oleh Muhammad, sehingga kedatangan Islam betul-betul sebagai pembebas dari berbagai penyakit, baik penyakit rohani maupun sosial.

Qur’an vis a vis Problem Kontemporer: Hermeneutic Perspective
Saat ini umat Islam di berbagai penjuru dunia dihadapkan pada berbagai persoalan yang tak kunjung selesai, misalnya rakyat Palestina yang terus diusik kebebasannya oleh bangsa Israel, rakyat Afghanistan yang masih dilanda krisis ekonomi dan politik, wilayah Kashmir yang masih terus bergejolak, dan beberapa negara yang mengatasnamakan negara Islam, namun tidak peduli dengan penderitaan bangsa lain, seperti Saudi Arabia. Kondisi yang demikian masih ditambah oleh stigma yang ditujukan ke agama Islam, yang sebenarnya dilakukan oleh oknum beragama Islam, sebagai agama teroris, keras, dan pelanggar HAM. Umat Islam disibukkan untuk merespon isu-isu yang bersumber dari Barat, seperti civil society, human rights, gender, globalization, dan demokrasi.
Bila dicermati kondisi di atas, Islam seakan tidak membebaskan dan berbeda dengan semangatnya ketika dibawa oleh Muhammad. Ketika itu, umat Islam, di bawah bimbingan Rasulullah, pro-aktif menjawab berbagai persoalan yang muncul, sementara saat ini umat Islam cenderung pasif-defensif. Islam yang penuh dengan idealitas untuk menentang berbagai tindakan kekerasan dan anti kebodohan seakan tidak ada gaungnya. Bukan ajaran Islamnya yang berubah, namun ketidakmampuan umatnya untuk mengartikulasikan dan menampakkan semangat dan ajaran Islam dalam realitas konkret.
Bertolak dari kenyataan tersebut, sebuah upaya untuk merevitalisasi semangat ajaran Islam dalam konteks kekinian perlu dilakukan, sehingga Islam selalu kontekstual, membumi, dan selalu ‘berbicara’ dalam berbagai persoalan kontemporer. Untuk maksud ini, sebuah pendekatan baru terhadap Islam sebagai agama pembebasan telah ditawarkan oleh Farid Esack, seorang sarjana Islam kontemporer yang juga menjadi korban penindasan kaum apartheid di Afrika Selatan. Ia menyerukan kepada umat Islam untuk kembali merenungkan makna ajaran al-Qur’an yang sarat dengan ajaran pembebasan. Pendekatan yang ia gunakan adalah hermenetik.
Hermeneutik Esack banyak diinspirasi oleh pendekatan Rahman dan Arkoun dalam melakukan pembacaan terhadap teks al-Qur’an. Menurut Rahman untuk mengetahui ide moral yang sebenarnya dari ajaran Islam seseorang harus kembali ke konteks atau situasi di mana al-Qur’an diturunkan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui situasi historis, di mana terdapat berbagai problem, dan respon al-Qur’an. Dari sini akan diketahui jawaban al-Qur’an. Yang terpenting sebenarnya bukan jawaban spesifik al-Qur’an, namun generalisasi jawaban itu sendiri, atau ide moralnya. Setelah itu, ide moral al-Qur’an dibawa ke situasi kontemporer sehingga akan diperoleh jawaban al-Qur’an terhadap berbagai persoalan yang muncul. Proses ini oleh Rahman disebut double movement methodology.[30]
Di samping Rahman, Esack juga terpengaruh pendekatan yang ditawarkan Arkoun. Arkoun sangat menekankan pendekatan historis-sosiologis-antropologis, di samping filsafat dan teologi. Ia ingin memperkaya kajian dengan memasukkan kondisi historis dan sosial konkret ketika Islam dipraktekkan. Ia menyajikan “garis-garis pemikiran heuristik fundamental” untuk merekapitulasi pengetahuan Islam dan menghadapkannya dengan pengetahuan kontemporer.[31] Garis-garis pemikiran itu mencakup empat hal. Pertama, manusia muncul dalam masyarakat melalui ‘kegunaan’ yang berubah-ubah. Setiap kegunaan dikonversi dalam bentuk tanda dan realitas yang diungkapkan dalam bentuk bahasa sebagai sistem tanda. Kedua, semua tanda dan simbol adalah produk manusia (produksi semiotik) dalam proses sosial dan budaya yang tak terpisah dari historisitas. Sementara historisitas adalah satu dimensi kebenaran. Ketiga, keimanan tidak ada pada independensi manusia sendiri, tidak pula berasal dari kehendak atau karunia Tuhan, tapi ia dibentuk, diungkapkan dan diaktualisasikan dalam dan melalui wacana. Keempat, sistem legitimasi tradisional yang diwakili oleh pemikiran teologi Islam klasik dan yurisprudensi Islam serta perbendaharaan katanya tidak mempunyai relevansi epistemologis. Disiplin ini terlalu kompromi dengan bias-bias ideologi yang ditekankan oleh kelas penguasa dan intelektualnya.[32]
Meskipun terinspirasi oleh kedua tokoh tersebut, Esack menawarkan hermeneutika pembebasannya sendiri. Menurutnya, tugas seorang muslim untuk memahami al-Qur’an dalam konteks penindasan ada dua hal. Pertama, untuk memaparkan cara interpretasi tradisional dan kepercayaan-kepercayaan tentang fungsi teks sebagai ideologi dengan tujuan untuk melegitimasi tatanan yang tidak adil. Kedua, untuk mengakui kesatuan umat manusia, menggali dimensi-dimensi keagamaan dalam situasi ketidakadilan dari teks dan mempergunakannya untuk melakukan pembebasan.[33]
Menurut Esack, untuk memahami teks ada tiga unsur intrinsik. Pertama, masuk dalam pikiran pengarang, yang dalam hal ini Tuhan sebagai pengarang al-Qur’an. Kedua, penafsir adalah ‘binatang’ dengan banyak beban. Setiap penafsir memasuki proses interpretasi dengan pra pemahaman tentang persoalan yang dikemukakan teks. Makna selalu berada dalam struktur pemahaman itu sendiri. Ketiga, interpretasi tidak lari dari bahasa, sejarah dan tradisi. Problem bahasa tidak terbatas pada penafsir, namun juga meluas pada tradisi atau teks yang ditafsirkan. Tindakan penafsiran merupakan partisipasi dalam proses linguistik-historis. Pembentukan tradisi dan partisipasi terjadi dalam locus dan tempus tertentu.[34]
Menurut Esack, ada terma-terma dalam al-Qur’an yang perlu dicermati kembali ketika dihadapkan pada konteks pembebasan. Pertama, terma taqwa. Ia merupakan terma paling komprehensif, inklusif dan aplikatif yang meliputi tanggung jawab di hadapan Tuhan dan manusia. Penafsir yang menerima konsep taqwa sebagai kunci hermeneutika mempunyai beberapa implikasi, yaitu penafsiran harus terbebas dari prasangka dan nafsu, taqwa memfasilitasi keseimbangan estetik dan spiritual dalam diri penafsir, dan taqwa mendorong komitmen penafsir pada proses dialektika personal dan transformasi sosial-politik.
Kedua, terma tauhid. Ia berarti kesatuan Tuhan untuk kesatuan manusia. Ia sebagai fondasi, pusat dan tujuan dari seluruh tradisi Islam. Ia mempunyai dua implikasi untuk konteks Afrika Selatan. Pertama, pada level eksistensial, ia berarti penolakan atas dualisme konsepsi tentang eksistensi manusia. Kedua, pada level sosial-politik, ia menentang masyarakat yang menjadikan ras sebagai obyek alternatif bagi pemujaan dan membedakan penduduk atas dasar etnisitas. Pembedaan semacam itu, menurut Esack, adalah syirik, sebagai antitesis dari tauhid.
Ketiga, terma al-nas. Terma manusia sebagai khalifah Tuhan di bumi mempunyai dua implikasi hermeneutik. Pertama, ia menjadi esensi bahwa al-Qur’an diinterpretasi dengan cara yang memberikan dukungan pada kepentingan rakyat secara keseluruhan yang mayoritas daripada minoritas. Kedua, interpretasi harus dibentuk oleh pengalaman dan aspirasi kemanusiaan sebagai berbeda dari dan sering berlawanan dengan minoritas istimewa. Sedangkan implikasi problem teologis adalah bahwa rakyat sebagai ukuran kebenaran dan setiap orang mempunyai hak yang sama terhadap teks suci, bukan oleh individu tertentu.
Keempat, terma al-mustad’afin, fuqara’, masakin dan aradhil, sebagai lawan dari mutrafun, mala’ dan mustakbirun. Penafsir perlu menempatkan diri di tengah-tengah kaum marginal dan dalam perjuangan mereka sekaligus menafsirkan teks dari bagian bawah sejarah, yang didasarkan pada paham pilihan Tuhan dan kenabian atas orang-orang yang tertindas. Kelima, terma ‘adl dan qist. Keadilan dibangun atas dasar tauhid sebagai jalan menuju taqwa. Keadilan sebagai raison d’etre bagi tegaknya agama. Implikasi dari terma ini ada dua. Pertama, umat Islam harus mencari jalan mendekati al-Qur'’n untuk digunakan melawan ketidakadilan. Kedua, pendekatan terhadap al-Qur’an sebagai alat perlawanan menghendaki komitmen ideologis dan teologis sekaligus afinitas atas nilai-nilai yang dikandung dalam kunci-kunci hermeneutika di atas.
Akhirnya, keenam adalah terma jihad. Jihad dipahami sebagai perjuangan dan praksis. Praksis artinya tindakan sadar oleh komunitas manusia yang mempunyai tanggung jawab atas determinasi politik yang didasarkan pada kesadaran bahwa manusia menciptakan sejarah. Jihad tidak dalam konotasi perang secara fisik, namun menentang segala bentuk ketidakadilan dan penindasan.

Kata Akhir
Berdasarkan elaborasi di atas, kedatangan Islam yang dibawa oleh Rasulullah adalah sebagai pembebas umat manusia dari segala bentuk penindasan dan keterbelakangan. Misi tersebut telah dibuktikan oleh Muhammad. Islam pada masa awal benar-benar sebagai rahmatan lil-alamin, bukan saja bagi umat Islam, namun juga umat non-Islam, bahkan alam semesta. Persoalannya sekarang, siapa yang harus meneruskan misi pembebasan tersebut ? Menurut salah satu hadis Rasulullah dikatakan bahwa sebagai pewaris para nabi adalah ulama (al-‘ulama warathat al-anbiya’).[35]
Yang diwariskan oleh para nabi kepada ulama tidak lain adalah misinya, yang dalam hal ini misi pembebasan manusia dari berbagai belenggu. Dalam hal ini, karena Nabi Muhammad merupakan nabi terakhir dan telah mengajarkan agama yang sempurna, maka tugas para ulama adalah meneruskan misi kenabian Muhammad tersebut sebagaimana yang telah terkandung di dalam kitab al-Qur’an. Selain itu, mengingat posisi dan fungsi Rasulullah sendiri sebagai suri tauladan bagi umat manusia, maka konsekuensinya semua yang datang dari diri Rasulullah harus diikuti, dalam hal ini yaitu sunnah, atau meminjam istilah Fazlur Rahman yakni living sunnah-nya. Mengingat konteks masa yang dihadapi oleh Rasulullah dengan umatnya sangat berbeda, maka para pewaris misi kenabian dituntut kejelian dan kepandaiannya untuk menafsirkan apa yang terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunnah sehingga ajaran Islam senantiasa aktual dengan perkembangan zaman, salih likulli zaman wa makan. Inilah barangkali yang disebut dengan peran ulama sebagai pembaharu (mujaddid), bukan dalam pengertian membuat ajaran baru, namun memperbarui cara pemahaman terhadap ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.
Sebenarnya, ulama tidak harus dimaknai secara sempit sebagai orang yang hanya mengetahui ajaran agama sebagaimana yang terkandung dalam aspek fiqh saja, atau al-‘ulum al-naqliyyah, namun ulama harus mempunyai wawasan yang luas selain agama. Sebab, agama Islam tidak hanya menyangkut persoalan ritual saja, namun juga mengembangkan, menyebarkan, dan melestarikan aspek-aspek non-ritual. Dalam istilah sekarang, para cendekiawan termasuk ke dalam kelompok ulama, sebab mereka adalah orang yang terlibat dalam data dan gagasan analitis, orang yang bergelut dalam penerapan praktis, dan orang yang berjuang untuk menyebarkan dan menegakkan gagasan normatif.[36] Mereka bukan saja harus mengandung pengertian sejenis pemikiran tertentu, tetapi juga bergelut dan ada hubungannya dengan socio-cultural dissent, bahwa dengan pencerahan ilmiah, mereka terdorong untuk memberikan kontribusi praktis bagi masyarakatnya, dan karena keterikatannya pada nilai-nilai yang dimuliakannya (ajaran Islam), mereka cenderung merasa kecewa dan gerah terhadap kemapanan yang dianggap statis, stagnan dan membelenggu. Inilah orang yang oleh Ali Syariati disebut dengan raushan fikr, orang tercerahkan.
Berkaitan dengan pendapat di atas, meminjam istilah Iqbal, bahwa ulama harus mempunyai kesadaran kenabian (prophetic consciousness), di mana cakrawala larut dalam dirinya, bukan kesadaran mistik (mystical consciousness), yakni ketika ia larut dalam cakrawala.[37] Hal ini menuntut keaktifan seorang ulama untuk selalu responsif terhadap perubahan, perkembangan dan tuntutan jaman dalam kerangka mengkontekstualisasikan ajaran Islam. Ia harus mampu menampilkan diri sebagai sosok yang humanis-transendental.
Untuk menutup diskusi tentang agama dan pembebasan di bawah dikemukakan di antara pesan Iqbal dalam syairnya:
Mengapa bertanya siapa aku dan dari mana?
Di laut ini aku ombak yang selalu mendebur
Menggerakkan diri dan karena itu aku hidup
Jika aku berhenti, akan berhenti pula menjadi[38]

Gelisah tak henti-henti adalah kehidupan bagi kami
Seperti ikan kami harus tetap bergerak
Dan menyinari pantai, sebab sejenak saja beriak
Lalu berhenti merupakan bahaya[39]

Pantai tak bergerak berkata, “Walau aku lama di sini
Aku belum mengenal pribadiku.”
Ombak yang selalu bergolak mendebur dan berkata,
“Bagiku beriak adalah menjadi, diam terbaring belum menjadi.”[40]

Wallahu a’lam bi al-shawab

Kotagede, 10 Mei 2002
[1] Draft makalah ini didiskusikan pada Latihan Kader HMI Korkom IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta tanggal 10 Mei 2002 di Sleman.
[2] Dilahirkan di Karanganyar pada tanggal 10 Maret 1973. Alumni Fakultas Tarbiyah (Jurusan PAI) pada tahun 1996 ini melanjutkan studi S2 di PPs IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1997 dengan mengambil Program Studi Pendidikan Islam, Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam dan lulus tahun 1999. Sejak tahun tersebut, ia melanjutkan studi di Program Doktor di lembaga yang sama. Saat ini ia sebagai Dosen Fakultas Tarbiyah dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Islam Program Pascasarjana (PPs) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] Berbagai kasus kerusuhan bernuansa SARA yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia semakin memperburuk citra agama, khususnya Islam, dalam kehidupan. Hasil penelitian yang dilakukan Lukman Soetrisno, Amin Abdullah, dkk. tentang berbagai kasus kerusuhan di Indonesia membuktikan hal ini. Lihat Loekman Soetrisno dkk., Perilaku Kekerasan Kolektif: Kondisi dan Pemicu, Laporan Akhir Penelitian Kerjasama antara Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan UGM dengan Departemen Agama.
[4] Asghar Ali Engineer, Aslam dan Teologi Pembebasan terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 1-2.
[5] Ibid., 8.
[6] Q.S. al-Hujurat (49): 13.
[7] Berbuat adillah, karena ia lebih dekat dengan taqwa. Al-Ma’idah (5): 8.
[8] Q.S. al-Qashash (28): 5, “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.”
[9] Q.S. al-Nisa’ (4): 75, “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau!.”
[10] Asghar Ali Engineer, Islam, 34.
[11] Q.S. al-Anfal (8): 39, “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.”
[12] Q.S. al-A’raf (7): 137, “Dan kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. Dan Kami hancurkan apa yang telah dibuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka.
[13] Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29.
[14] Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Musa b. Dawud dari Fulaih b. Sulaiman dari Hilal b. Ali dari Atho’ b. Yasar. Ia bertemu dengan Abdullah b. ‘Amru b. al-‘As. Lihat Tafsir Ibn Kathir dalam CD-ROOM versi 6.5.
[15] Tafsir al-Qurtubiy dalam CD-ROM versi 6.5, 1993-1997. Bandingkan dengan hadits yang berasal dari Jabir b. Mut’am dalam Sahih Muslim di mana Allah menyebut Nabi dengan ra’ufa rahima. Sedangkan Abu Musa al-Ash’ariy menyatakan bahwa nabi bersabda mempunyai nama Muhammad, Ahmad, al-Muqaffa, al-Hashir, Nabi al-Tawbah, dan Nabi al-Rahmah.
[16] al-Tabattaba’i, Mizan, 19, 177.
[17] Ibid., 178.
[18] Al-Tabattaba’i, 178.
[19] Ahmad Mustafa al-Maraghy, Tafsir al-Maraghy, terj. Bahrun Abu Bakar, Hery Noer Aly dan Anshori Umar Sitanggal (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), 320-1.
[20] Afzalur Rahman, Islam Ideology and the Way of Life (London: The Muslim School Trust, 1995), 36.
[21] Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah, (karena) sekali-kali tidak ada Tuhan begimu selain Dia. Maka, mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya) ?”
[22] Artinya : Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya : “Sesungguhnya aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu sembah.” Tetapi, (aku menyembah) Tuhan Yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi taufik kepadaku.”
[23] Artinya : Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar supaya kamu bertaqwa.
[24] Afzalur Rahman, Islam, 38.
[25] Artinya: Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-Kitab dan hikmah (al-Sunnah) serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
[26] Artinya: Dia-lah yang telah mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah (al-Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
[27] Ayat bisa dimaknai dengan ayat qawliyah, yakni apa yang tersurat dalam Kitab suci, dan ayat kawniyah, yakni fenomena alam yang ada dalam masyarakat, terutama ayat kawniyah yang ada pada masa sebelumnya yang berupa kisah umat terdahulu.
[28] A. Rahman, Islam, 45. Dalam al-Qur’an yang diterjemahkan oleh Depag, hikmah dimaknai dengan al-Sunnah, sedangkan menurut al-Raghib al-Asfahaniy, al-hikmah diartikan dengan ketelitian, kecermatan, dan mengerjakan sesuatu dengan tepat. Sehingga oleh Majid Irsal al-Kaylani, al-hikmah diartikan dengan keterampilan.
[29] Asghar Ali Engineer, Islam, 41.
[30] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982), 20.
[31] Zakiyuddin Baidhawy, “Hermeneutika Pembebasan al-Qur’an: Perspektif Esack,” dalam Profetika Jurnal Studi Islam, PMSI UMS Vol. 3 No. 2 Juli 2001, 293.
[32] Mohammed Arkoun, ”The Concept of Authority in Islamic Thought: La Hukma illa Lillah,” in Islam, State and Society, ed. K. Ferdinand and M. Mozaffer (London: Curzon Press, 1988), 64-5.
[33] Zakiyuddin Baidhawy, “Hermeneutika Pembebasan al-Qur’an,” 295.
[34] Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspectives of Interreligious Solidarity againts Oppression (Oxford: Oneworld, 1997), 75-76.
[35] Dalam hadis, setidaknya ada enam matan yang menunjukkan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi. Lihat dalam al-Imam al-Bukhary, Sahih al-Bukhary (Beirut: Dar al-Qalam, 1987), dalam Kitab al-‘Ilm; Abu ‘Isa Muhammad b. ‘Isa b. Surah al-Tirmidhy, Sunan al-Tirmidhy (Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Araby, t.t.), dalam Kitab al-‘Ilm hadis nomor 2606; Abu Dawud Sulayman b. al-Ash’ath al-Sijistany al-Azdy, Sunan Abu Dawud (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyah, t.t.), dalam Kitab al-‘Ilm hadis nomor 3157; al-Hafiz Abu ‘Abdullah Muhammad b. Yazid al-Quzwayny, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1987), dalam Kitab al-Muqaddimah hadis nomor 219; Ahmad b. Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1949-1980), dalam al-Kitab al-Ansar hadis nomor 2023; dan Abu Muhammad al-Darimy, Sunan al-Darimy (t.tp.: Dar al-Kutub al-‘Araby, 1987), dalam Kitab al-Muqaddimah hadis nomor 346.
[36] Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual (Bandung: Mizan, 1992), 105-6.
[37] Lihat Muhammad Iqbal, The Development of Metaphysic in Persia: A Contribution in the History of Muslim Philosophy, terj. Joebaar Ayoeb (Bandung: Mizan, 1990), 15; lihat juga puisi Iqbal dalam Bal-I-Jibril sebagaimana dikutip oleh K.G. Saiyidain dalam Iqbal’s Educational Philosophy, terj. M.I. Soelaeman (Bandung: CV. Diponegoro, 1981), 172.
[38] Muhammad Iqbal, Payam-I-Mashriq (Pesan dari Timur), terj. Abdul Hadi WM (Bandung: Pustaka, 1985), 17.
[39] Ibid., 22.
[40] Ibid., 81.

Tidak ada komentar: