Selasa, Juli 31, 2007

multiple identities

URGENSI KESADARAN MULTIPLE IDENTITIES
BAGI TOKOH MASYARAKAT
Oleh: Muqowim

Pengantar
Globalisasi yang ditandai oleh jaringan tanpa batas antar negara-bangsa telah menjadikan dunia seperti desa global. Setiap orang dapat mengakses informasi tentang kejadian di belahan bumi lain pada waktu singkat dan, bahkan, secara langsung. Era, yang muncul karena dipengaruhi oleh revolusi teknologi komunikasi dan informasi, ini berpengaruh terhadap semua sektor kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, dan agama. Dalam bidang ekonomi, setiap orang dapat melakukan transaksi ekonomi melalui media dunia maya tanpa harus bertemu secara fisik; dalam bidang sosial, interaksi antar orang semakin berkurang karena digantikan oleh media elektronik semacam handphone dengan sms atau internet dengan email; dalam bidang budaya, globalisasi telah menyebabkan terjadinya dialog dan pertukaran budaya semakin kompleks. Melalui desa global, keunikan setiap budaya "dibenturkan" dengan budaya lain yang tidak bisa terelakkan kecuali dengan menutup diri dan mengisolasi dari pihak luar. Dengan demikian, terjadi pertarungan identitas budaya antar bangsa. Hanya bangsa dengan identitas yang kuatlah yang mampu bertahan.
Sementara itu, dalam bidang politik globalisasi telah menyebabkan terjadinya benturan kepentingan antar bangsa. Hal ini antara lain ditandai dengan adanya perhatian setiap bangsa terhadap berbagai peristiwa politik yang ada di negara lain. Respons dari bangsa lain itu sering kali berlebihan misalnya dengan melakukan campur tangan untuk menyelesaikan dengan berbagai alasan. Dalam banyak hal campur tangan ini sering menimbulkan persoalan serius di negara yang bermasalah itu. Karena itu, perlu ada rambu-rambu global yang mengatur hubungan antar bangsa. Hal ini seharusnya dilakukan oleh PBB. Namun, lembaga ini sering kali hanya menjadi alat kepentingan politik dari segelintir negara kuat untuk menekan negara lain yang lemah.
Akhirnya, dalam bidang agama globalisasi menyebabkan persoalan keagamaan semakin kompleks sehingga misi suci agama sulit diwujudkan. Agama kadang hanya menjadi alat kepentingan sekelompok orang untuk bertindak atas nama kebenaran agama sehingga ketika menawarkan alternatif pemecahan sering kali justru menimbulkan banyak persoalan. Hal ini diperumit dengan banyaknya gejala klaim kebenaran dengan mengatasnamakan agama yang sebenarnya hanya berupa tafsir terhadap agama namun menganggap tafsir pihak lain sebagai keliru sehingga harus ditentang. Fenomena ini antara lain terlihat dari kerusuhan dan konflik di beberapa wilayah yang dipicu oleh sentimen keagamaan dan klaim kebenaran.

Multiple Identities dan Tokoh Masyarakat
Adanya pengaruh budaya lain dalam konteks modernitas menyebabkan munculnya respons beragam dari masyarakat, terutama masyarakat beragama. Paling tidak respons tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu eskapis, permisif, dan transformatif. Respons pertama cenderung menganggap budaya yang dimiliki seseorang atau masyarakat sebagai paling murni sehingga mereka tidak mau berdialog dengan budaya lain karena khawatir tercemari. Kelompok ini beranggapan bahwa globalisasi dengan sejumlah persoalan yang dibawa merupakan ancaman yang perlu dicurigai dan, jika perlu, dijauhi. Sementara itu, respons kedua beranggapan bahwa setiap budaya yang berasal dari bangsa lain perlu direspons, bahkan jika perlu ditiru apa adanya. Kelompok ini cenderung menerima semua identitas budaya lain tanpa kritik sehingga ada kecenderungan pandangan ini relatif tidak mampu mempertahankan identitas budayanya sendiri ketika berhadapan dengan identitas budaya asing. Akhirnya, respons ketiga cenderung obyektif dalam menghadapi problem modernitas, sebab globalisasi pada dasarnya merupakan proses alamiah yang harus direspons secara arif dan kritis. Bagi kelompok ini, problem globalisasi pada dasarnya netral, bisa positif dan bisa negatif, bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Jika setiap orang mempunyai identitas budaya yang jelas dan kuat, maka ketika dihadapkan dengan budaya lain akan bersikap menerima sambil mempelajari kemungkinan mengambil aspek positif yang dikandung, sementara bagi orang yang tidak siap, maka cenderung mengikuti budaya lain tanpa kritik.
Berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh globalisasi tersebut perlu disikapi secara tepat agar ditemukan jalan keluar bersama yang membawa pada kemajuan umat manusia. Bagi tokoh masyarakat dan agama, untuk menghadapi era modern perlu keluasan wawasan dengan identitas kuat dan terbuka. Mereka perlu mengembangkan identitas yang berbasis pada spiritualitas agama dan kearifan lokal. Tapi pada saat yang bersamaan mereka harus berpikiran terbuka dan siap berdialog dengan identitas lain untuk saling memberi manfaat tanpa kehilangan jatidirinya. Untuk itu, mereka perlu mengenal tentang makna identitas di tengah problem global.
Pada dasarnya identitas seseorang senantiasa berkembang secara dinamis, tidak statis. Hal ini terjadi seiring dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman serta tantangan realitas sosial yang dihadapi. Sebagai ilustrasi, ketika dia berada di tingkat sekolah dasar di desa tentu berbeda dengan ketika telah belajar di tingkat sekolah menengah atas di kota. Identitas ini akan berubah lagi ketika seseorang belajar di universitas. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya pengetahuan, pengalaman dan setting sosial yang berbeda dan berubah. Demikian juga, ketika pergaulan seseorang luas, maka identitas yang dimiliki tentu berbeda dibandingkan dengan ketika pergaulan yang dimiliki masih terbatas.
Dalam pandangan Samuel Huntington, paling tidak ada lima faktor yang mempengaruhi identitas seseorang, yaitu askriptif, budaya, teritorial, politik, ekonomi, dan sosial. Faktor askriptif mencakup usia, nenek moyang, gender, kulit (hubungan darah), etnisitas (yang tergambar dari kulit), dan ras; budaya meliputi marga, suku, etnisitas (yang tergambar dari pandangan hidup), bahasa, kebangsaan, agama dan peradaban; teritorial mencakup perumahan (tetangga), desa, kota, provinsi, negara, wilayah geografi, benua, dan dunia; politik terdiri dari faksi, klik, pemimpin, kelompok kepentingan, gerakan, partai, ideologi, dan negara; dan ekonomi meliputi pekerjaan, jabatan, profesi, kelompok kerja, majikan, industri, sektor ekonomi, asosiasi buruh, dan kelas. Sementara itu, faktor sosial terdiri dari teman, klub, tim, sejawat, kelompok pengangguran, dan status.
Seseorang mungkin saja mempunyai banyak kategori, namun tidak berarti bahwa kategori-kategori itu saja yang menjadi sumber identitasnya. Sebagai contoh, dia adalah perempuan muda (askrpitif), dari Jawa dan beragama Islam (etnisitas), tinggal di kota (teritorial), sebagai pemimpin organisasi masa (politik), dan mempunyai banyak relasi (sosial). Dengan ragam kategori tersebut, kita tidak bisa menilai hanya dari satu sisi dan mengabaikan kategori yang lain, misalnya yang dilihat hanya kategori agama dan suku dan mengabaikan kategori perempuan muda dan sebagai pemimpin ormas. Penilaian semacam ini hanya akan menyebabkan salah arah, prasangka dan stereotyping. Terlebih jika pihak yang menilai mempunyai identitas dengan kategori yang jauh berbeda misalnya laki-laki tua (askriptif), Sunda dan beragama Kristen (etnisitas), tinggal di desa (teritorial), sebagai pendukung partai politik pro pemerintah, the ruling party (politik), dan sebagai pengangguran (sosial). Jika dalam berinteraksi kedua orang tersebut tidak saling memahami, maka akan terjadi miskomunikasi dan tidak menutup kemungkinan terjadi benturan dan konflik kepentingan.
Bertolak dari ilustrasi identitas tersebut, sebagai agen perubahan, tokoh agama dan masyarakat harus mempunyai kesadaran identitas. Sebab, persoalan yang ada tidak cukup dilihat dari satu perspektif saja, namun harus melibatkan banyak pendekatan. Penggunaan satu perspektif dan mengabaikan perspektif lain hanya akan menimbulkan banyak permasalahan, sebab ada kecenderungan menganggap pandangannya sebagai yang paling benar. Meminjam pendapat Mohammad 'Abid al-Jabiri, seorang pemikir Islam kontemporer asal Maroko, pandangan yang menggunakan satu perspektif lebih bercorak bayani yang cenderung literal. Perspektif ini mempunyai implikasi pada sikap apologis, dogmatis, polemis, dan menganggap pandangannya yang paling benar. Untuk menghindari hal ini, setiap orang harus mempunyai paradigma yang lain, yaitu burhani dan 'irfani. Paradigma burhani menjadikan realitas (al-waqi') sebagai sumber pengetahuan sehingga perlu semakin banyak belajar dari konteks sekitar baik dari aspek sosial, budaya dan alam. Apa yang terdapat dalam teks (al-nusus), yang menjadi sumber pengetahuan dari paradigma bayani, perlu didialogkan dan dikontekstualisasikan agar lebih bermakna bagi masyarakat sekitar. Sementara itu, paradigma 'irfani berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah intuisi yang lebih mengasah pada aspek rasa. Aspek ini diperlukan tokoh masyarakat agar dalam bertindak dan memecahkan persoalan yang dihadapi lebih arif dan bijak.
Dalam konteks keindonesiaan, perpaduan tiga paradigma itu sangat diperlukan agar tokoh masyarakat melihat permasalahan secara komprehensif, tidak ad hoc dan fragmental. Dalam memecahkan setiap problem yang dihadapi dia seharusnya mendasarkan diri pada tiga hal, yaitu landasan spiritualitas agama, kondisi empirik realitas sekitar dan nurani. Dengan demikian, alternatif pemecahan yang diambil diharapkan tidak menimbulkan banyak persoalan di masyarakat. Sebab, solusi tersebut tidak mengedepankan ambisi pribadi dan sektarian, namun demi kemaslahatan bersama, lintas sektoral.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, peran tokoh masyarakat dan agama sangat diperlukan untuk secara aktif terlibat dalam pemecahan problem realitas. Untuk mewujudkan hal ini mereka perlu mempunyai kesadaran budaya dan sejarah. Kesadaran ini tercermin dari kuatnya identitas terbuka dan keluasan wawasan yang dimiliki sehingga setiap persoalan yang muncul akan dilihat secara menyeluruh dan pemecahan yng dicari lebih berjangka panjang. Hal ini penting dilakukan sebab tantangan dan problem masyarakat semakin lama semakin rumit dan perlu pemecahan segera. Untuk itu, paradigma berpikir antisipatif perlu dimiliki oleh setiap tokoh agama dan masyarakat agar tercipta kondisi masyarakat yang adil, aman dan beradab. Selain itu, pola berpikir integratif dan holistik perlu dimiliki oleh setiap tokoh masyarakat dan agama dalam memecahkan probem modernitas dengan lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal dengan basis spiritualitas agama yang inklusif dan moderat. Hal ini hanya akan terwujud jika setiap orang mampu menggali misi kedamaian dari setiap agama. Selain itu, mereka harus mempunyai kesadaran bahwa setiap orang mempunyai identitas majemuk sehingga sikap mau menang sendiri tanpa mendahulukan dialog bersama hanya akan menyebabkan kekacauan di masyarakat.

Kamis, Juli 26, 2007

pendidikan islam antrirealitas?

PENDIDIKAN ISLAM ANTI REALITAS?
Perlunya Transformasi Pendidikan Islam Profetik[1]
Muqowim[2]

Preliminary Remark
Tantangan modernitas yang semakin complicated dan massive agaknya belum sepenuhnya disadari dan direspon oleh kalangan praktisi dan pemerhati pendidikan Islam. Untuk menyebut beberapa tantangan modernitas adalah pluralisme agama dan etnik, globalisasi, radikalisme agama, dan konflik bernuansa SARA. Ada kesan, praktek dan proses pendidikan Islam steril dari konteks realitas, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. Bahkan, muncul kritik yang lebih pedas lagi terhadap pola pendidikan Islam yang selama ini berjalan, bahwa merebaknya berbagai konflik dan kekerasan bernuansa agama antara lain merupakan pengaruh dan andil dari proses dan praktek pendidikan agama yang berjalan sekian lama sehingga sudah terinternalisasi dalam diri peserta didik. Praktek pendidikan Islam yang dianggap misleading ini bersumber dari belum adanya pengembangan konsep dan implementasi pendidikan Islam dalam era kontemporer. Pendidikan Islam banyak mengalami reduksi, baik dari aspek makna maupun prakteknya.
Tidak berdayanya (powerlessness) pendidikan Islam tersebut menjadi keprihatinan bersama, mulai dari pakar dan praktisi pendidikan di lembaga pendidikan formal, tokoh masyarakat hingga orang tua di rumah. Pendidikan (khususnya agama) dianggap tidak cukup efektif memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah. Karena itu, banyak gagasan muncul tentang perlunya melakukan interpretasi dan orientasi ulang, termasuk melakukan perubahan paradigma dari praktek pendidikan yang selama ini berjalan. Perubahan paradigma tersebut antara lain berkaitan tentang pendidikan yang harus diselenggarakan dengan pendekatan akademis, bukan birokratis, pendidikan harus berorientasi mencetak peserta didik bermental mencari ilmu, bukan menunggu ilmu, peserta didik harus dididik mencari orang aktif, bukan pasif, pendidikan harus berorientasi pada peserta didik (student-oriented), bukan pendidik atau negara (teacher and state-oriented), manusia harus dilihat secara antroposentris yang teosentrik, bukan hanya antroposentris, pengelolaan pendidikan tidak boleh tersentralisasi, tapi harus terdesentralisasi, pendidikan agama tidak boleh disampaikan secara dogmatis saja, dan pendidikan harus bersifat inklusif, integralistik dan holistik.[3]
Yang jelas, pola pendidikan Islam yang selama ini berjalan harus diubah menjadi pola lain yang lebih membumi terhadap realitas empirik. Pola baru ini bisa disebut sebagai sebuah pendidikan Islam transformatif. Terma transformatif mengimplikasikan perlunya melakukan pergeseran, atau bahkan, merubah dari pola pendidikan Islam konvensional, menjadi pola baru yang mampu menjawab tantangan zaman.[4] Hanya saja, perubahan ini tidak akan berjalan efektif jika dilakukan secara ad hoc dan fragmental, namun harus secara integrated dan holistik, dalam arti bahwa peninjauan harus dilakukan secara menyeluruh terhadap aspek-aspek dalam pendidikan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan ulasan secara utuh terhadap persoalan perubahan paradigma, namun hanya sebatas sebagai bahan awal untuk mengurai benang kusut problem pendidikan Islam, khususnya di Indonesia.

State of the Arts: Praktek Pendidikan Islam
Munculnya banyak kritikan yang ditujukan kepada pendidikan Islam oleh para pemerhati dan praktisi pendidikan belakangan ini lebih dikarenakan ia dianggap tidak mampu mencetak individu muslim yang diidealkan, antara lain yang berakhlak mulia, beriman kuat, mempunyai ketrampilan sosial tinggi, dan ready to work. Selain itu, dari sisi outcome, alumni lembaga pendidikan Islam juga mempunyai kemampuan rata-rata atau bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan outcome lembaga pendidikan non-Islam. Lebih jauh, kritik juga ditujukan pada beberapa komponen pendidikan yang dianggap kurang memadai, seperti kurikulum yang out-of-date dan tidak kontekstual, tenaga kependidikan yang kurang qualified, sarana dan prasarana yang kurang mendukung, dan lemahnya political bargaining dalam menentukan nasib lembaga pendidikan Islam sehingga dalam setiap pengambilan keputusan tentang legislasi pendidikan, pendidikan Islam relatif dinomorduakan.[5] Berbagai kritik dan evaluasi tersebut pada dasarnya merupakan bentuk introspeksi terhadap realitas pendidikan Islam yang masih ada ketimpangan yang sangat tajam antara das Sein dengan das Sollen, antara is dan ought-to. Pendidikan Islam yang diharapkan mampu mencetak pribadi muslim yang optimal secara fisik, ruhani, intelektual dan sosial ternyata masih jauh panggang dari api.[6] Di samping persoalan tersebut, adanya fenomena dualisme sistem pendidikan juga merupakan persoalan akut yang terjadi hampir di semua Dunia Islam.[7] Problem dualisme sebenarnya merupakan manifestasi cara pandang terhadap ilmu yang masih dikotomik, dimana ada ilmu agama di satu sisi dan ada ilmu umum di sisi lain.[8] Ada ilmu agama yang dianggap dapat ‘mengantarkan manusia menuju surga’ dan ada ilmu umum yang dianggap dapat ‘menghambat orang meraih surga’.[9] Kondisi yang demikian sebenarnya sudah ada sejak peradaban Islam mengalami era kemunduran secara politik dan intelektual yang ditandai dengan adanya stagnasi berpikir di kalangan umat Islam.[10]
Sebenarnya, ketika berbicara tentang terma pendidikan Islam ada persoalan serius yang perlu dicermati dalam praktek. Hal ini terkait dengan makna pendidikan Islam yang mengalami reduksi. Paling tidak reduksi ini dapat dilihat dari beberapa sudut. Pertama, secara kelembagaan, selama ini pendidikan Islam cenderung dipahami sebagai institusi pendidikan yang berlabel Islam atau lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam pengertian ‘ulum al-naqliyyah. Karena itu, yang termasuk kategori ini adalah pondok pesantren, madrasah, sekolah dengan label Islam atau IAIN. Kedua, pendidikan Islam lebih diartikan sebagai pendidikan tentang ilmu agama, sementara yang dimaksud dengan ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang selama ini masuk kategori ilmu naqliyyah seperti fiqih, tafsir, hadis, akhlak, aqidah dan bahasa Arab, untuk tidak menyebut semuanya secara rinci. Lebih reduksi lagi, pendidikan Islam dimaknai sebagai mata pelajaran di sekolah umum yang hanya berbobot 2 atau 3 sks. Dengan pemahaman ini mata pelajaran non-agama bukan bagian dari pendidikan Islam. Selain itu, pendidikan di Fakultas Tarbiyah lebih dimaknai sebagai upaya mencetak tenaga pengajar, bukan mengkaji berbagai persoalan pendidikan Islam, mulai dataran konseptual hingga praxis. Sebab, guru pada dasarnya hanya merupakan bagian kecil dari proses pendidikan.
Di samping berbagai persoalan tersebut, pada era otonomi ini problem yang dihadapi oleh pendidikan Islam tidak kunjung berkurang. Misalnya, problem pengelolaan pendidikan dengan sistem dua kamar (Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama) yang berimplikasi pada banyak hal, antara lain dalam hal pendanaan dan pengadaan tenaga guru, rendahnya kualitas tenaga pendidik di lembaga pendidikan madrasah, dan manajemen yang asal-asalan oleh pengelola lembaga pendidikan Islam.

Pendidikan Islam: Konvensional versus Transformatif
Istilah pendidikan Islam konvensional (PIK) dipakai untuk menunjukkan pola dan praktek pendidikan yang berjalan secara monoton, top-down, guruisme, sentralistik, uniform, eksklusif, formalis, dan indoktrinatif. Praktek pendidikan tersebut dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman dan terkesan menjadikan pendidikan Islam anti realitas. Bahkan, ada anggapan bahwa pola semacam inilah yang menjadikan dan membentuk perilaku masyarakat Islam eksklusif dan gagap terhadap perubahan dan perbedaan. Karena itu, pendidikan Islam transformatif (PIT), sebuah istilah tentatif sebagai counternarrative dari PIK, perlu dimunculkan sebagai pembanding dan teman dialog untuk ‘menghidupkan dan membumikan’ pendidikan Islam dalam konteks hereness dan nowness. Istilah transformasi itu sendiri seringkali dimunculkan oleh Lyotard ketika membahas wacana posmodernisme sebagai lawan dari modernisme. Posmodernisme merupakan kondisi budaya yang memunculkan banyak transformasi yang mengubah rule of the game dalam bidang sains, sastra, dan seni. Di bidang pendidikan, transformasi berupa perubahan aturan main dalam hal aspek, praktek, dan institusi pendidikan yang bertanggung jawab dan mentransmisikan ilmu pengetahuan dan seni.[11] Dengan menggunakan kerangka semacam ini, bagaimana pola pendidikan Islam mampu melakukan transformasi dari praktek pendidikan yang telah ada menuju kondisi yang lebih baik, mulai dari aspek konseptualisasi hingga implementasi, seperti kelembagaan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan penyediaan SDM.
PIT mengharuskan adanya perubahan cara pandang terhadap proses pendidikan dalam faktor-faktor pendidikan. Dalam hal tujuan, pendidikan harus diorientasikan untuk mencetak individu yang berkesadaran kenabian, yang mempunyai misi liberatif terhadap berbagai persoalan sosial. Pendidikan dianggap berhasil jika mampu mencetak individu yang kritis terhadap persoalan lingkungan dengan spiritualitas Islam. Untuk menghasilkan pribadi yang semacam itu, berbagai elemen pendidikan harus ditinjau ulang. Kurikulum harus lebih terkait dengan current issues sehingga dapat memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik tentang problem riil di masyarakat. Strategi pembelajaran harus diorientasikan untuk menghargai dan mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, evaluasi pendidikan harus lebih berpijak pada potensi kemanusiaan peserta didik, bukan uniform yang dipaksakan oleh pendidik. Dalam hal pengelolaan, pengelola lembaga pendidikan harus mampu menggerakkan dan mengaktifkan setiap potensi yang ada di sekitarnya untuk ikut memikirkan persoalan pendidikan. Akhirnya, pendidikan tidak harus dimaknai sebagai proses yang berlangsung di ruang kelas saja, namun juga terjadi di luar kelas. Karena itu, upaya mensinergikan antara unit keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu dilakukan.

Praktek Pendidikan Islam Awal: Sebuah Upaya Rekonstruksi
Sebuah pencarian format pendidikan Islam yang ideal akan mengalami kesulitan, untuk tidak mengatakan gagal, jika tidak disertai dengan upaya rekonstruksi sejarah ketika pola pendidikan Islam dipraktekkan oleh generasi Islam awal. Hal ini bukan berarti sebagai bentuk romantisme sejarah, namun sosok ideal pendidikan Islam ketika itu memang dipraktekkan. Tentu hal ini tidak ada pretensi untuk kembali ke masa lalu secara letterlick, namun tetap berpijak pada konteks realitas moderen. Meminjam istilah Rahman, upaya historical criticism harus tetap dilakukan. Yang pertama harus dicermati adalah praktek pendidikan Islam oleh Rasulullah. Ketika itu Rasulullah tampil sebagai raushan fikr yang mampu mereformasi secara total terhadap tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan jahiliyah[12] yang menyimpang. Paling tidak, secara umum misi kenabian Muhammad saw dapat dibagi ke dalam dua hal, yakni sebagai respon terhadap penyimpangan tauhid dan ketimpangan sosial (social discrepancy).[13] Kedatangan Islam berada dalam konteks realitas yang ketika itu ada persoalan yang harus segera mendapat jawaban. Sosok Nabi hadir sebagai individu paripurna yang mempunyai kesadaran eksistensialis-teistik dan liberatif, yakni adanya kesadaran vertikal dan horisontal.[14] Living sunnah yang dipraktekkan oleh Nabi inilah yang pertama harus dilihat. Islam hadir bukan sebagai agama yang teralienasi dari konteks, tapi involved dalam penyelesaian problem realitas.
Dengan mencermati misi profetik yang merupakan inti orientasi pendidikan dalam Islam di atas, maka proses pendidikan seharusnya diorientasikan pada pembentukan kepribadian muslim yang mempunyai prophetic consciousness, dimana ia mempunyai kesadaran eksistensialis yang teistik, bahwa ia harus mempunyai kesadaran vertikal (vertical consciousness) sekaligus horisontal (horizontal consciousness). Kesadaran pertama mempunyai makna bahwa setiap individu harus sadar tentang relasi antara dirinya sebagai makhluq dan khaliq-Nya sehingga ia menyadari kewajiban yang harus dipenuhi sebagai ‘abid. Sedangkan kesadaran kedua mempunyai pengertian bahwa individu harus sadar terhadap konteks realitas sosial yang ada di sekitarnya. Dengan kesadaran ini ia hendaknya aktif memberikan kontribusi terhadap penyelesaian problem sosial, bukan lari dari masalah. Kedua kesadaran tersebut bukan berdiri sendiri-sendiri, namun terkait secara padu.[15]
Momen lain yang juga perlu dicermati dari sejarah pendidikan Islam adalah ketika peradaban Islam mengalami masa kejayaan yang antara lain ditandai oleh semaraknya berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan,[16] baik termasuk al-‘ulum al-naqliyyah maupun al-‘ulum al-‘aqliyyah.[17] Periode ini terjadi ketika peradaban Islam berada di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khususnya masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun.[18] Ketika itu khalifah turun tangan langsung menggerakkan berbagai kajian ilmu, yang tidak terbatas pada ilmu-ilmu ‘agama’ saja namun juga ilmu-ilmu ‘non-keagamaan’. Di tangan kedua khalifah tersebut kemajuan ilmu pengetahuan mendapatkan momentumnya. Banyak upaya dilakukan oleh khalifah untuk menggairahkan kajian ilmu pengetahuan, misalnya melakukan kontak dengan kerajaan lain yang kaya akan tradisi intelektualnya, misalnya dari tradisi keilmuan Yunani, Persia, dan India.
Dinamika dan gairah keilmuan ini paling tidak didorong oleh dua motivasi. Pertama, motivasi normatif, yakni semangat ajaran Islam, baik yang terkandung dalam al-Qur’an[19] maupun al-Hadis,[20] yang sangat mendorong umatnya untuk menuntut dan menguasai ilmu. Kedua, motivasi dan respon sejarah, bahwa umat Islam harus mampu membumikan ajaran Islam sehingga ia benar-benar dapat menjadi rahmat bagi seluruh alam. Untuk itu, satu-satunya jalan adalah harus terlibat dalam percaturan ilmu dan merespon tantangan realitas. Hal ini terbukti dengan banyaknya ilmuwan muslim yang mengadakan kajian intensif dalam pengembangan ilmu yang ketika itu dipusatkan di Baghdad.[21] Di antara tokoh yang terlibat aktif di pusat ilmu tersebut adalah al-Kindi, al-Razi, dan al-Farabi.[22] Mereka datang dari berbagai penjuru, misalnya Khwaraizm, Nishapur, Tus, Samarqand, Kufah, dan Shiraz.[23] Di pusat keilmuan inilah mereka mendialogkan temuan-temuannya, sebagaimana Muhammad al-Khawarizmi yang mendialogkan temuan angka nolnya dengan ilmuwan lain di Baghdad. Yang perlu dicermati juga adalah bahwa dialog keilmuan tidak terbatas antar ilmuwan muslim saja, namun juga dengan ilmuwan non-muslim. Tidak mengherankan jika dilihat dari sanad keilmuan (intellectual genealogy) banyak guru ilmuwan muslim yang beragama Kristen, Yahudi bahkan Majusi.[24] Karena itu, belajar terhadap peradaban lain tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang ‘haram’ dilakukan, namun justru dianjurkan.[25] Tidak heran jika masyarakat pada era ini dijuluki sebagai masyarakat pembelajar (learning society), yakni hampir semua anggota masyarakat tergerak untuk terlibat dalam pengembangan ilmu.
Yang menarik untuk dicermati, sebagaimana pernah dikaji oleh sejarawan Barat maupun muslim, bahwa ilmu pengetahuan dan ilmuwan yang lahir pada periode keemasan itu bukan merupakan produk ‘lembaga pendidikan formal’ sebagaimana yang dikenal pada periode modern. Ilmu pengetahuan, baik yang tergolong ‘ilmu-ilmu agama’ maupun ilmu sains muncul sebagai hasil kajian intensif ilmuwan muslim secara individual atau paling tidak melalui dialog keilmuan yang diselenggarakan di rumah-rumah ilmuwan itu sendiri. Yang lebih menonjol adalah semangat individual studies. Justru ketika lembaga pendidikan formal muncul seperti madrasah, dinamika keilmuan Islam mulai redup seiring dengan saratnya muatan politik dalam pendirian sebuah lembaga pendidikan. Madrasah lebih dijadikan sebagai media untuk melanggengkan kekuasaan, atau paling tidak memperkuat paham ortodoksi sebagaimana yang dianut oleh penguasa.[26] Karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya sains bukan lahir dari lembaga pendidikan madrasah.[27]
Semaraknya kajian ilmu ketika itu berkembang karena disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, konteks masyarakat yang kosmopolit, dimana semua umat Islam dari berbagai latar belakang diberi ruang untuk berkreasi dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan bersuara sangat dihargai, bahkan majlis-majlis perdebatan (majlis al-mujadalah) banyak difasilitasi.[28] Dalam catatan sejarah pola kebijakan pemerintahan Bani Umayah sangat berbeda dengan Bani Abbasiyah dalam pensikapan terhadap etnis. Yang pertama cenderung Arab sentris yang lebih menganakemaskan orang-orang keturunan Arab, sementara yang kedua lebih bercorak terbuka dan toleran, sehingga semua etnis diperlakukan sama, baik dari etnis Turki, Arab, Persi, India, dan etnis lain.[29] Bahkan, semangat menghargai ini juga diberlakukan terhadap orang-orang non-Islam. Kedua, peran khalifah yang cinta terhadap ilmu pengetahuan juga mendorong perkembangan ilmu dalam Islam. Tentu tidak semua khalifah pada Masa Abbasiyah peduli terhadap persoalan ini, namun the golden ages memang dicapai ketika pemerintahan Islam diatur oleh khalifah yang cinta ilmu seperti Harun al-Rasyid dan al-Makmun.[30] Ketiga, secara geografis Baghdad menjadi titik pertemuan jalur-jalur pedagangan dan keilmuan.[31]

Darimana Kita Memulai?
Proses pendidikan melibatkan banyak unsur yang satu sama lain saling terkait. Karena itu, pemaknaan dan pengembangan proses tersebut harus dilihat secara komprehensif. Sebab, penekanan satu aspek dan pengabaian aspek yang lain hanya akan mengakibatkan kepincangan dan efek domino yang lebih parah. Dengan pemikiran ini, maka yang pertama perlu dilakukan adalah melakukan brainstorming dan identifikasi persoalan dari setiap aspek dalam pendidikan. Paling tidak, aspek yang harus dicermati dalam proses pendidikan adalah orientasi, peserta didik, pendidik, kurikulum, strategi pembelajaran, sumber belajar, evaluasi, kelembagaan, kebijakan dan lingkungan. Yang juga tidak kalah penting adalah pemaknaan terhadap terma pendidikan dan belajar oleh pelaku pendidikan. Sebab, praktek pendidikan pada dasarnya merupakan cermin dari pemahaman dan pemaknaan sang pelaku terhadap dua istilah tersebut. Akhirnya, karena terkait dengan pendidikan Islam, maka orientasi semangat profetik dalam pendidikan juga perlu mendapat perhatian. Hal ini perlu dilakukan karena pada dasarnya proses pendidikan Islam adalah upaya mencetak manusia yang berkesadaran kenabian.
Berpijak pada pemikiran tersebut, maka PIT merupakan konsep yang berusaha menggeser atau merubah pola pemaknaan pendidikan ‘tempo doeloe’ menjadi pola baru yang lebih dinamis, kontekstual, dan humanis. Upaya ini akan berjalan sia-sia tanpa didahului pencermatan setiap anomali yang ada pada setiap komponen pendidikan, mulai dari dataran konseptual sampai ke prakteknya. Sebab, seringkali pendidikan Islam justru gagal ketika dalam konteks realitas, seakan ia ‘pelo’ dalam menjawab setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat. Meskipun demikian, bukan berarti dari konteks teoritis pendidikan Islam bukannya tak bermasalah, sebab jika dicermati dengan seksama stagnannya pemikiran pendidikan Islam, yang antara lain ditandai oleh miskinnya produk pemikiran pendidikan Islam, merupakan cermin dari miskinnya pengembangan konsep pendidikan Islam. Karena itu, dua ranah tersebut, konsep dan praktek, harus dilihat secara simultan.
Dalam era kontemporer dengan segenap permasalahan di dalamnya, idealnya pendidikan Islam mampu memberikan sumbangan konkret dalam penyelesaian setiap persoalan. Namun, yang terjadi pendidikan Islam justru terkesan voiceless dan powerless dalam menghadapi persoalan kemodernan. Karena itu, pembongkaran terhadap praktek pendidikan Islam agaknya menjadi prioritas dalam proyek PIT. Hal ini harus dilakukan dan direncanakan secara matang dan terpadu yang melibatkan semua stakeholder pendidikan Islam.

Kata Akhir
Fazlur Rahman dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa al-Qur’an lebih menekankan pada tindakan (amal) ketimbang kata (teori). Ini berarti sebaik apapun konsep jika tidak disertai dan dibarengi dengan upaya konkret hanya ibarat sampah saja. Karena itu, dialektika konteks teoritis dengan konteks realitas harus selalu dilakukan dalam upaya mengubah paradigma pendidikan Islam dari konvensional menuju transformatif. Tanpa hal tersebut, pendidikan Islam hanya ibarat gundukan konsep yang tak bermakna, sebab kebermaknaan sesuatu sangat ditentukan dan tergantung pada aspek kegunaan bagi dunia empirik.
Pada dasarnya ada tiga hal yang harus dipertimbangkan oleh praktisi atau pemerhati pendidikan ketika akan melakukan sebuah perubahan terhadap praktek pendidikan Islam dewasa ini. Ketiga hal ini yang akan menentukan corak dan arah lembaga pendidikan yang akan dikelolanya. Pertama, pandangan tentang peserta didik. Peserta didik tidak harus dimaknai atau identik dengan anak usia sekolah dengan usia kronologis tertentu, sebab hal ini tidak sesuai dengan pandangan Islam yang menempatkan setiap individu muslim sebagai pembelajar, mulai dari ayunan hingga meninggal dunia. Dengan pengertian ini, life-long education justru ditekankan. Implikasi lain dari pengertian tersebut adalah pandangan Islam sangat relevan terhadap paradigma baru pendidikan yang menempatkan murid dan guru sebagai obyek dan subyek sekaligus. Hal ini mengimplikasikan bahwa keduanya sama-sama sebagai makhluk pembelajar (learner). Arti penting lain dari pemaknaan kembali peserta didik adalah bahwa fokus utama proses pendidikan adalah untuk dan demi kepentingan peserta didik itu sendiri. Karena itu, cara pandang secara holistik terhadap potensi dan sosok peserta didik mutlak diperlukan, sebab dari sinilah treatment pendidikan akan dilakukan. Pandangan tentang peserta didik akan menentukan bentuk kurikulum, evaluasi, dan metode pembelajaran. Kedua, cara pandang terhadap ilmu. Bahwa proses pendidikan dilakukan antara lain untuk transfer dan pengembangan ilmu. Ketiga, respon terhadap perubahan dan perkembangan sosial. Ketidaktahuan terhadap problem ini hanya akan membuat output pendidikan misleading dan tidak fungsional terhadap konteks (functional illiteracy). Keempat, perlunya kesadaran akan misi profetik yang diemban oleh pendidikan Islam.
Akhirnya, sebuah upaya evaluasi tentang kelebihan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan tantangan (threat) dari pendidikan Islam perlu dilakukan. Dua analisis pertama, kelebihan dan kelemahan, lebih menitikberatkan pada evaluasi internal pendidikan Islam, sementara dua yang terakhir, peluang dan tantangan, lebih pada kondisi eksternal. Secara konseptual, pendidikan Islam sebenarnya cukup kaya, bahkan sangat ideal, dalam pengembangan individu untuk mencapai taraf konsientasi vertikal dan horizontal. Hanya saja, banyak di antara umat Islam yang belum memahami karakter dasar pendidikan Islam, sehingga dalam prakteknya umat Islam justru banyak mengadopsi cara pandang Barat dalam proses pendidikan yang ternyata sangat dikotomik. Saat ini, konsep pendidikan dalam Islam dapat menjadi pendidikan alternatif dari praktek-praktek pendidikan yang selama ini ada. Hanya saja, upaya memformulasi konsep pendidikan Islam dalam konteks praktis perlu dikaji secara komprehensif, sebab justru pada taraf inilah banyak hal yang perlu dipertimbangkan ketika berhadapan dengan realitas empirik. Jangan sampai, pendidikan Islam tampil sebagai sosok pendidikan yang elitis, eksklusif, dan ahistoris.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Kotagede, fin du desembre 2002
Lampiran:
Tema-tema Kajian Pendidikan Islam Transformatif (Tentatif)

No
TEMA
SUB TEMA
TUJUAN
1.
Konsep Manusia
1. Tinjauan al-Qur’an
2. Tinjauan Filosofis
3. Tinjauan Psikologis
4. Tinjauan Sosiologis
5. Tinjauan Antropologis
Mengkaji konsep manusia dari berbagai aspeknya
2.
Reorientasi Pendidikan dalam Islam
1. Pendidikan Berbasis Potensi
2. Misi Profetik dalam Pendidikan
3. Kesadaran Eksistensialis-Teistik
Meninjau kembali orientasi awal pendidikan dalam Islam
3.
Islam dan Ilmu Pengetahuan
1. Makna Ilmu Pengetahuan
2. Sumber Ilmu Pengetahuan
3. Struktur Ilmu Pengetahuan
4. Misi Ilmu Pengetahuan
5. Arkeologi Nalar
Memahami konsep ilmu pengetahuan dalam Islam
4.
Pendidikan Islam sebagai Disiplin Keilmuan
1. Tinjauan Ontologis
2. Tinjauan Epistemologis
3. Tinjauan Aksiologis
Mengkaji pendidikan Islam sebagai sebuah disiplin keilmuan yang dinamis
5.
Konsep Belajar
1. Makna Belajar
2. Tujuan Belajar
3. Manusia sebagai Pembelajar
Mengkaji makna belajar dalam Islam
6.
Konsep Kecerdasan
1. Makna Kecerdasan
2. Macam-macam Kecerdasan
Memahami konsep kecerdasan
7.
Kurikulum Dinamis
1. Hakekat Kurikulum
2. Dasar Pengembangan Kurikulum
3. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Mengkaji makna kurikulum dan misi utama kurikulum
8.
Strategi Pembelajaran yang Humanis
1. Urgensi Strategi
2. Dasar-dasar Pengembangan Strategi
3. Efektifitas Penerapan Strategi
Mengelaborasi arti pentingnya strategi pembelajaran sebagai upaya penyadaran manusia
9.
Sumber-sumber Belajar yang Mencerahkan
1. Keluarga sebagai Basis
2. Sekolah sebagai Partner
3. Masyarakat sebagai Pengawas
Membahas sumber-sumber belajar yang dapat membawa manusia ke arah kesadaran dan aktualisasi diri
10.
Rekonstruksi Sejarah Pendidikan dalam Islam
1. Misi Liberatif Muhammad saw
2. Khalifah Empat: Periode Formatif
3. Umayyah: Persinggungan Awal dengan Tradisi Keilmuan Lain
4. Abbasiyyah: Era Dinamis Pengembangan Ilmu
5. Baghdad, Nishapur, dan Cordova
6. Abad Tengah Islam: Era Stagnasi
7. Abad Modern: Awal Kebangkitan Kembali
Mengkaji kembali perjalanan pendidikan Islam dalam konteks menyejarah
11.
Pendidikan Perbandingan: Studi Kawasan
1. Indo-Pakistan
2. Mesir
3. Malaysia
4. Iran
5. Turki
6. Saudi Arabia
Memahami praktek pendidikan di berbagai wilayah berpenduduk mayoritas Islam
12.
Pendidikan Keindonesiaan
1. Rekonstruksi sejarah
2. Pesantren sebagai Institusi Asli
3. Kelembagaan Pendidikan
4. Politik Pendidikan
5. Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
Memahami kondisi pendidikan Islam di Indonesia
13.
Kajian Tokoh Pendidikan dalam Islam
1. Muhammad sebagai Figur Sentral
2. Al-Ghazali
3. Muhammad Iqbal
4. Muhammad Abduh
5. Syah Waliyullah
6. Ibnu Khaldun
7. Dll.
Membahas figur-figur pendidikan dalam tradisi Islam
14.
Manajemen Pendidikan Partisipatif
1. Makna Manajemen
2. Total Quality Management dalam Pendidikan
Mengkaji makna manajemen dalam konteks pendidikan
15.
Pendidikan Pembebasan


16.
Pendidikan Pluralis
1. Paradigma Learning to Live Together
2. Mutual Uderstanding

17.
Hot Educational Issues
1. Multiple Intelligence: IQ, EI, SQ
2. Accelerated Learning
3. Learning Revolution
4. Active Learning
5. Quantum Learning
6. Quantum Teaching
7. Mind Map
8. Community Based Education
9. School Based Management
10. Jender dan Pendidikan
11. Dll.

18.
Universitas Islam?
Model Institusi Pendidikan Islam
Membahas tipe dan karakter lembaga pendidikan Islam

[1] Pointers ini pernah disampaikan dalam Forum Pertemuan Mahasiswa Jurusan PAI se-Jawa di Aula II IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 28 Desember 2002.
[2] Muqowim lahir di Karanganyar, 10 Maret 1973. Setelah menyelesaikan Program S-1-nya di Fakultas Tarbiyah (PAI) pada 1996, ia melanjutkan studi S-2-nya di IAIN yang sama dengan mengambil Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam dan lulus tahun 1999. Di lembaga yang sama, sejak 1999 ia mengambil Program Doktor. Selain sebagai dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, saat ini ia juga sebagai Sekretaris Program Studi Pendidikan Islam Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga. Berbagai gagasannya dapat dijumpai di berbagai jurnal akademik, seperti Jurnal Al-Jami’ah, Profetika, Hermeneia, Essensia, Jurnal Ilmu Dakwah, Jurnal Ta’dib, dan Jurnal Ilmu Pendidikan Islam. Selain sebagai dewan redaksi Al-Jami’ah dan sekretaris redaksi Jurnal Hermeneia, ia juga menjadi staf peneliti pada Islamic Studies Forum (ISF) Yogyakarta. Kontak person Telp dan Fax. Kantor PPs. IAIN Sunan Kalijaga (0274) 519709, HP: 0818256675, e-mail: qowim11@lycos.com dan isfjogja@lycos.com.

[3] Gagasan Mastuhu ini dapat dilihat dalam Mastuhu, “Pendidikan Islam di Indonesia Masih Berkutat pada Nalar Islami Klasik” dalam Tashfirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 11 Tahun 2001: 77-83.
[4] Di antara tulisan yang mencoba menitikberatkan pada pencarian format baru pendidikan Islam adalah artikel penulis dalam Jurnal Ta’dib dengan judul “Mencari Format Baru Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural”, Vol. IV No. 02, September 2001: 89-113 dan “Shifting Paradigm Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural” dalam M. Amin Abdullah dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga dan KLS, 2002), 345-374.
[5] Hal ini dapat dilihat dari adanya sinyalemen bahwa anggaran untuk satu universitas di lingkungan Diknas ekuivalen dengan anggaran 14 IAIN. Ibarat fenomena gunung es, kondisi ini adalah di puncaknya, di bawahnya jaug lebih paeah.
[6] Tujuan pendidikan ini dapat dilihat dari tulisan Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory: A Qur’anic Outlook (Makkah al-Mukarramah: Educational and Psychological Research Center, 1982).
[7] Kasus al-Azhar University Kairo sebenarnya merupakan salah bukti konkret adanya dikotomi ilmu, kecuali setelah tahun 1961 dimana mulai ada upaya mengintegrasikan kedua bidang keilmuan tersebut, meskipun sudah sangat terlambat. Lebih jauh tentang dinamika keilmuan di al-Azhar, baca Bayard Dodge, Al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning, (Washington, D.C., 1961).
[8] Sinyelemen ini antara lain dikemukakan oleh Rahman dalam salah satu tulisannya. Lihat, Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problem,” dalam Islamic Studies 6, 4, 1967.
[9] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), ix.
[10] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI-Press, 1984), 76.
[11] Untuk selanjutnya, lihat tulisan Michael Peters dan Colin Lankshear, “Postmodern Counternarratives” dalam Henry Giroux, et al., Counternarratives Cultural Studies and Critical Pedagogies in Postmodern Spaces (New York & London: Routledge, 1996), 9.
[12] Terma ini sering digunakan untuk memaknai periode sejarah Arab pra-Islam. Sebenatnya, istilah tersebut tidak bisa dimaknai sebagai ‘zaman kebodohan’ atau ‘kebodohan’ yang dilawankan dengan kepandaian. Namun, ia lebih berarti sebagai masa dimana banyak praktek barbarian, perilaku buas, kesombongan suku, kultus/tradisi balas dendam perilaku pagan dilakukan oleh orang Arab. Lihat Duncan B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1903), 8; Ignaz Goldziher, Mohammedanische Studien, Halle: 1971, 223; dan Munir-ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholars’ Social Status, (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1965), 25.
[13] Dua misi besar kenabian ini antara lain dapat dilihat dalam Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29; lihat juga Muqowim, “Kenabian dalam al-Qur’an,” dalam Jurnal Dakwah, No. 3 Tahun II, Juli-Desember 2001: 113-129.
[14] Gambaran tentang figur Nabi yang membawa semangat pembebasan ini diulas secara agak panjang lebar oleh Engineer. Selanjutnya lihat, Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 41-56.
[15] Iqbal, seorang penyair dan filosof asal Indo-Pakistan, membagi kesadaran menjadi dua, yakni kesadaran kenabian dan kesadaran mistik. Lebih jauh ia menggambarkan kedua kesadaran tersebut dalam salah satu syairnya, bahwa orang yang mempunyai kesadaran kenabian ditandai oleh keterlibatannya secara aktif dalam realitas alam semesta. Cakrawala berada dalam genggamannya. Sementara itu, orang yang mempunyai kesadaran mistik ditandai dengan larutnya ia dalam cakrawala, ia cenderung lari dan mengasingkan diri dari problem realitas untuk mengejar kesalehan individual.
[16] Sebuah kajian cukup mendalam dilakukan oleh Fazlur Rahman tentang dinamika intelektual Islam sejak periode Islam awal hingga kurun modern. Selanjutnya, lihat Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982).
[17] Karya yang banyak mengungkap tradisi keilmuan Islam pada era ini antara lain A.S. Tritton, Materials on Muslim Education in the Middle Ages, (London: Luzac, 1957); C. Michael Stanton, Higher Learning in Islam: The Classical Ages A.D. 700-1300, (New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 1991); Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, (Beirut: Dar al-Rashshaf, 1954); Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982); George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981); dan S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American Library, 1968).
[18] Lihat Philip K. Hitty, History of the Arabs, (London: Macmillan, 1974), 297-316.
[19] Di antara ayat al-Qur’an yang mendorong umat Islam untuk mencari ilmu adalah Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5; Q.S. al-Mujadalah (58): 11; Q.S. al-Tawbah (9): 122; Q.S. al-Nahl (16): 43; Q.S. al-Zumar (39): 9; dan Q.S. Taha (20): 114.
[20] Banyak di antara matan Hadis yang menyebutkan tentang perlunya mempunyai dan mencari ilmu, misalnya “carilah ilmu walau sampai ke negeri China,” “menuntut ilmu diwajibkan bagi orang muslim laki-laki (dan perempuan), dan sebagainya.
[21] Ibrahim Madkour, “Al-Farabi,” dalam M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low Price Publications, 1961), 451.
[22] Ulasan secara panjang lebar tentang ilmuwan muslim ditulis oleh banyak pemikir Islam modern. Lihat karya M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low Price Publications, 1961) yang terdiri dari dua volume. Hal yang sama juga dilakukan oleh Seyyed Hossein Nasr (ed.), History of Islamic Philosophy (London & New York: Routledge, 1996) yang juga terdiri dari dua volume.
[23] Bulliet pernah melakukan kajian khusus tentang dinamika keilmuan di wilayah kekuasaan Islam, khususnya di daerah Nishapur. Lihat Bulliet, Richard W., The Patricians of Nishapur: A Study in Medieval Islamic Social History, (Cambridge, 1972).
[24] Hal ini tampak dari sinyalemen yang dikemukakan oleh Bernard Lewis, seorang ilmuwan Barat yang menekuni sejarah peradaban Islam. Lihat Bernard Lewis, The Jews of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1987), 3-4; lebih jauh lihat Muqowim, ”Mencari Format Baru Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural,” dalam Jurnal Ta’dib, Vol. IV No. 02, September 2001: 89-113.
[25] Hal ini tampak dari upaya khalifah al-Makmun yang mempekerjakan tokoh-tokoh non-Islam untuk memimpin proyek penerjemahan dari tradisi keilmuan Yunani ke Islam (bahasa Arab). Tokoh Hunain bin Ishaq, Thabit bin Qurrah, dan Ishaq bin Hunain adalah di antara ilmuwan non-muslim yang terlibat sangat intens dalam program ini. Selanjutnya baca Philip K. Hitty, History, 297-316.
[26] Selanjutnya baca George Makdisi, The Rise of Colleges, 9-15; The Rise of Humanism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990); Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, ix.
[27] Fazlur Rahman, Islam, khususnya “Bagian Pendidikan” terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1994), 263-281.
[28] Laporan tentang hal ini banyak dijumpai dalam karya Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad. Lihat juga Muniruddin Ahmed, Muslim Education, 59-72.
[29] Perbandingan tentang kedua pola pemerintahan tersebut dapat dilihat secara lebih rinci dalam Hitty, History, terutama Bab 17 sampai 33: 189-492.
[30] Ibid., 297-316.
[31] Baghdad sebagai pusat keilmuan antara lain tercermin dari karya Tabaqat yang dibuat oleh al-Khatib al-Baghdady, Tarikh Baghdad, 14 Vol. (Mesir: Maktabat al-Khandji, 1349/1931). Karya ini diulas secara panjang lebar oleh Muniruddin Ahmed terutama dari sisi Status Sosial Ilmuwan Muslim. Untuk selanjutnya, lihat Munir-ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholars’ Social Status, (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1965).

lembaga pendidikan islam klasik

POTRET TRADISI KEILMUAN DALAM
INSTITUSI PENDIDIKAN TINGGI ISLAM KLASIK

Oleh Muqowim[1]

Tulisan berikut merupakan book review dari
Karya George Makdisi, The Rise of Colleges Institutions of Learning
in Islam and the West, yang diterbitkan oleh
Edinburgh University Press tahun 1981.

Karya ini dikarang oleh seorang sejarawan Barat yang concern terhadap classical legacy of Islam terutama yang berkaitan dengan sejarah perkembangan institusi pendidikan Islam. Keseriusannya terhadap persoalan tersebut selain terlihat dari buku ini juga dapat dilihat dari tulisan-tulisan lainnya seperti The Madrasa as a Charitable Trust and the University as a Corporation in the Middle Ages,[2] The Topography of Eleventh-Century Baghdad: Materials and Notes,[3] Suhba et Riyasa dans l-Enseignement Medieval,[4] The Madrasa in Spain: Some Remarks,[5] Muslim Institutions of Learning in Eleventh-Century Baghdad,[6] Madrasa and University in the Middle Ages,[7] Law and Tradisionalism in the Institutions of Learning of Medieval Islam,[8] dan An Islamic Element in the Early Spanish University.[9] Mayoritas tulisan tersebut termuat dalam berbagai jurnal ilmiah. Buku ini merupakan karya monumentalnya yang mencakup berbagai gagasannya tentang berbagai persoalan pendidikan Islam pada era Klasik. Untuk mewujudkan tulisan ini ia banyak dibantu oleh ilmuwan lain seperti W. Montgomery Watt[10] dan A.R. Turnbull dari Edinburgh University.
Sebagai seorang sejarawan tampak sekali bahwa ia konsisten menggunakan pendekatan sejarah (historical approach) yang cenderung synchronic. Hal ini dimaksudkan agar fakta sejarah itu sendiri yang berbicara sesuai dengan locus dan tempus-nya sendiri.[11] Sikap tersebut bukan saja terlihat dari karya yang terbit pada 1981 ini, namun juga pada karya-karya sebelumnya.[12] Namun demikian, ketika ia memaknai suatu fakta sejarah ipso facto menggunakan kerangka berpikir dari konteks yang berbeda. Karena itu, ia juga menggunakan pendekatan diachronic.
Menurut Makdisi, kajian dalam buku ini dilakukan untuk mencapai pemahaman yang lebih baik (better understanding) tentang masa kejayaan yang pernah dicapai umat Islam, khususnya yang berhubungan dengan sejarah intelektual/keilmuan. Menurutnya, berbagai gerakan intelektual yang tumbuh subur pada masa tersebut menjadi lebih jelas ketika dikaji dan dipahami dengan mengacu pada berbagai kekuatan (kelompok) yang menghasilkan produk ilmiah beserta karya-karyanya. Bentuk dan isi karya-karya intelektual tersebut menggambarkan dengan jelas dan mendetail berbagai hal yang berkaitan dengan pendidikan pada masa itu seperti metode pengajaran, isi kajian, dan komposisinya.
Sebenarnya buku ini bukanlah merupakan sebuah survey menyeluruh tentang institusi pendidikan Islam. Namun, menurut Makdisi banyak kajian monografik yang selama ini dilakukan oleh para sejarawan dipastikan masih belum memadai.[13] Kajian yang dibuat di sini kurang lebih hanya mengkhususkan pada lembaga pendidikan tertentu, yakni pendidikan tinggi Muslim, khususnya dalam bentuk lembaga pendidikan madrasah, dan tentang metode skolastik yang menjadi produknya. Meskipun berbagai acuan juga dibuat pada periode dan tempat yang lain, namun perhatian utama Makdisi adalah pada perkembangan kelembagaan pendidikan Islam pada abad ke-11 di Baghdad,[14] yaitu waktu dan tempat yang memperlihatkan berkembangnya institusi madrasah[15] dan metode skolastik, walaupun keduanya telah berkembang pada abad sebelumnya. Harapan Makdisi dengan karyanya ini adalah bisa menunjukkan bahwa madrasah merupakan perwujudan dari ilmu agama Islam yang ideal, yaitu hukum Islam (fiqh), dan perwujudan dari orientasi keagamaan Islam yang ideal, yakni tradisionalisme. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa perpaduan hukum Islam dan tradisionalisme telah menghasilkan metode skolastik yang merupakan produk khusus dari Abad Pertengahan (Middle Ages)-Barat-dan era Klasik Islam.
Bagi Makdisi, sejarah institusi pendidikan Islam mau tidak mau harus dikaitkan dengan sejarah agama Islam itu sendiri, dan perkembangannya sangat terkait dengan interaksi dari berbagai gerakan keagamaan, baik yang bersifat hukum maupun teologis. Oleh karena itu, pada bagian awal dari karya ini, yakni tiga bagian pertama, menggambarkan interaksi ini yang mana mengarah pada perkembangan pendidikan tinggi, memperkenalkan metode pengajaran dan membentuk masyarakat skolastik. Di bagian empat ia mulai menggambarkan banyak kesejajaran antara institusi-institusi Islam dengan institusi yang dikembangkan di kemudian hari oleh dunia Barat Kristen.[16] Yang dimaksud Barat di sini adalah Eropa, yakni Perancis, Inggris, dan Amerika. Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pembahasan yang dilakukan oleh Makdisi dapat dilihat isi buku berikut ini.
Buku setebal 377 halaman ini terdiri dari lima bab termasuk kesimpulan. Bab Satu sampai Tiga masing-masing terdiri dari tiga sub-bab, dan dari sub-bab ini dibagi lagi ke dalam beberapa sub-bab. Bab Empat terdiri dari empat sub-bab dan bab terakhir (Lima) adalah kesimpulan. Dari persentase pembahasan saja nampak bahwa ia lebih banyak mengkaji lembaga pendidikan yang berkembang di dunia Islam. Setelah itu baru ia kaitkan dengan berkembangnya kelembagaan pendidikan di dunia Barat.
Bab I, “Institutions”,[17] terdiri dari tiga persoalan, yakni tentang munculnya mazhab-mazhab hukum, tipologi institusi pendidikan, dan hukum perwakafan. Persoalan pertama membahas berbagai mazhab yang muncul pada periode awal yang sebenarnya banyak didominasi oleh individual mazhab, namun dalam perkembangan berikutnya menjadi aliran mazhab yang mengikuti personal mazhab tertentu yang hanya terdiri dari empat mazhab besar, yakni mazhab Syafi’i, mazhab Hanafi, mazhab Hanbali, dan mazhab Maliki.[18] Persoalan kedua mengkaji tipologi lembaga pendidikan. Makdisi mengelompokkan lembaga pendidikan di dunia Islam ke dalam dua kategori, yakni lembaga pendidikan yang muncul sebelum munculnya madrasah dan lembaga madrasah itu sendiri.[19] Makdisi cenderung menganggap bahwa madrasah merupakan tonggak bersejarah bagi berkembangnya institusi pendidikan formal di dunia Islam.[20] Tipe yang pertama, yakni periode pra-madrasah, lembaga pendidikan Islam yang ada antara lain berupa majlis-majlis ilmu, masjid, jami’, halaqah, maktab, kuttab, lembaga-lembaga sufi seperti zawiyah, ribat, dan khan. Tempat-tempat tersebut merupakan lembaga pendidikan yang tidak memasukkan ilmu-ilmu umum (foreign sciences) dalam kajiannya. Sedangkan lembaga pendidikan yang memasukkan ilmu-ilmu umum terdiri dari perpustakaan dan rumah sakit.[21] Sedangkan persoalan ketiga pada Bab Satu membicarakan hukum perwakafan, baik mengenai pendirinya, isinya, obyek yang diwakafkan, motif dari para pendirinya, dan sebagainya.
Bab II, “Instruction,”[22] mengkaji tentang pengajaran di lembaga pendidikan yang meliputi tiga persoalan. Pertama, pembagian bidang-bidang ilmu pengetahuan, seperti yang dilakukan oleh Ibn Butlan, subordinasi seni sastra, dan hubungan wakaf dengan pembagian yang dikotomik tentang ilmu pengetahuan. Kedua, berkaitan dengan pengorganisasian pendidikan, baik dari segi kurikulum, prosedur kelas, pengajaran pada hari biasa dan hari libur, dan tahun-tahun lama belajar. Ketiga, tentang metodologi pendidikan. Yang dibahas pada bagian ini antara lain tentang metode memorizing (hafalan) dan caranya, seperti repetisi, memahami, dan mudhakarah. Selain itu, bagian ini membahas juga metode skolastik, baik dari segi asal-usulnya maupun perkembangannya, seperti ta’liqah,[23] ri’asah,[24] suhbah,[25] dan ijazah.[26]
Bab III, “The Scholastic Community,”[27] membahas tentang masyarakat skolastik. Ada tiga hal yang menjadi fokus kajian di bagian ini, yaitu dari segi guru (profesor); mahasiswa; dan, tempat, kedudukan dan fungsi guru. Tentang profesor, yang dibicarakan adalah mengenai prosedur penetapannya, statusnya dalam masyarakat,[28] sumber pendapatan, seperti biaya dari mahasiswa (semacam SPP), gaji pensiun, gaji yang diwakafkan, dan anggaran dari lembaga. Kemudian dibahas juga tentang ketidakstabilan pendapatan, seperti banyaknya jabatan dan kemampuan dalam membagi jabatan.[29] Selain itu, dibahas juga bagaimana cara memperoleh akses ke jabatan profesor (professorship), antara lain dengan jalur turunan,[30] obral,[31] dan pelanggaran lainnya. Mengenai persoalan mahasiswa, yang dibahas adalah tentang klasifikasinya, beberapa sisi kehidupan mahasiswa, dan kondisi keuangannya.[32] Ia mengklasifikasikan mahasiswa ke dalam lima kategori yaitu level mahasiswa yang relatif, sebagai penerima beasiswa, sebagai foundationer yang meliputi mutafaqqih[33] dan faqih,[34] sebagai peserta dalam kelas, dan terma lain untuk mahasiswa. Beberapa aspek kehidupan mahasiswa yang dibahas berkaitan dengan mahasiswa yang malas dan para murid sufi. Sedangkan mengenai kondisi keuangan mahasiswa disebutkan adanya dukungan dari para profesor, adanya patron dari orang kuat, saling bantu antar mahasiswa, orang tua yang kaya, dan lembaga yang diwakafkan.
Adapun bagian ketiga dari Bab III adalah mengenai tempat, kedudukan, dan fungsi profesor. Ada tiga hal yang dibahas dalam hal ini, yaitu posisi yang berkaitan dengan hukum, posisi yang berkaitan dengan bidang lain, seperti hadis, dan kedudukan lainnya, yakni selain kategori yang pertama dan kedua. Posisi yang berkaitan dengan hukum antara lain disebut dengan istilah mudarris,[35] na’ib mudarris,[36] mu’id,[37] mufid,[38] ra’is,[39] mufti,[40] qadi (hakim),[41] shahid (saksi),[42] dan mutasaddir.[43] Posisi yang berkaitan dengan bidang lain (selain hukum), seperti shaikh al-hadith (profesor dalam bidang hadis), mustamli,[44] mufid,[45] nahwi (ahli dalam bidang nahwu), shaikh al-qira’ah (profesor dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an),[46] shaikh al-ribat,[47] khatib, imam, mu’allim, mu’addib, dan faqih.[48] Sedangkan mengenai kedudukan lainnya yang dimiliki oleh ilmuwan ketika itu adalah[49] jabatan arif (monitor), naqib (kepala bangsawan), katib al-ghaibah (orang yang bertugas mengabsen murid yang tidak hadir), nasikh (orang yang bertugas mengkopi suatu naskah), warraq (orang yang bertugas menjual buku dan mengkopi), korektor, dan khadim al-khanqah.[50]
Setelah membahas berbagai persoalan yang terjadi dalam lembaga pendidikan Islam, maka pada Bab IV, “Islam and the Christian West,” Makdisi mengkaji tentang (tradisi keilmuan) di dunia Islam dan Barat Kristen.[51] Ada empat hal yang dibicarakan di sini, termasuk pengantar, yaitu institusi, pengajaran, dan masyarakat skolastik. Mengenai kelembagaan, ia mengemukakan empat persoalan, yakni universitas sebagai bentuk korporasi, universitas/college sebagai lembaga yang diwakafkan, dan wakaf di dunia Islam Barat serta dua universitas di Eropa selatan. Bagian pengajaran berkaitan dengan persoalan tradisi keilmuan yang berkembang di dunia Barat, seperti mengenai perkuliahan, pembuatan laporan, metode skolastik sebagai produk jadi, fakultas-fakultas yang menjadi unggulan seperti fakultas kedokteran di Salerno, fakultas hukum di Bologna, dan tentang kemunduran ilmu sastra serta fenomena lainnya. Sedangkan mengenai masyarakat skolastik, ia mengkaji tentang persoalan profesor dan surat ijin mengajar (license to teach), serta mufti, magister, dan magisterium.
Setelah mengemukakan empat bab tentang lembaga pendidikan tinggi di dunia Islam yang dibandingkan dengan di dunia Barat, Makdisi mengakhiri kajiannya dengan kesimpulan. Setelah bab kesimpulan, ia menambahkan dua buah Appendix dalam bukunya. Pertama, berisi tentang review terhadap penelitian terdahulu mengenai lembaga madrasah, misalnya kajian yang dilakukan oleh Julian Ribera, Max van Berchem, Ignaz Goldziher, J. Pedersen, dan Youssef Eche.[52] Sedangkan Appendix yang kedua berkaitan dengan sumber terbaik mengenai college yang dilakukan oleh Nu’aimi dengan karyanya Daris.[53] Dalam karya tersebut Nu’aimi memberikan data tentang adanya 128 college dalam bidang hukum untuk empat mazhab Sunny, dengan perincian 61 mazhab Shafi’i, 52 mazhab Hanafi, 11 mazhab Hanbali, dan 4 mazhab Maliki, yang didirikan antara tahun 490 - 890 H/1010-1487 M. Selain itu, karya tersebut juga memberikan data tentang berbagai institusi seperti dar al-qur’an (7 buah), dar al-hadith (16 buah), kombinasi dua lembaga tersebut (3 buah), lembaga-college kedokteran (3 buah), ribat (21 buah), zawiyah (26 buah), turbah (79 buah), dan masjid-masjid di Damaskus dan kota Syria lainnya (26 buah). Ada tiga karya lainnya tentang institusi di Mesir yang dibuat oleh Gary Leisser, Islam di Spanyol oleh Kay Heikkinen dan Michael Lenker.
Ketika membahas tentang tradisi keilmuan di dunia Islam pada periode klasik, Azyumardi Azra[54] mengatakan bahwa George Makdisi termasuk di jajaran pemikir yang mengkhususkan kajiannya pada sejarah perkembangan pendidikan Islam, selain Muniruddin Ahmed,[55] Bayard Dodge,[56] Michael Stanton,[57] Ahmad Syalabi,[58] A.S. Tritton,[59] dan A.L. Tibawi.[60] Bahkan, kata Azra lebih lanjut, buku yang ia tulis ini telah menghabiskan sebagian besar energi dan waktunya. Meski demikian, Makdisi sebagian besar hanya meng-cover perkembangan kelembagaan pendidikan Islam yang mengkhususkan pada ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan hubungan antara institusi pendidikan Islam dengan pengembangan ilmu-ilmu sains hanya sedikit sekali disinggung.
Terlepas dari kritik Azra tersebut, buku ini layak dibaca dan dicermati bagi para pemerhati tradisi pendidikan yang berkembang di dunia Islam, khususnya pada era klasik. Ada beberapa pertimbangan yang membuat karya ini menarik. Pertama, buku ini dapat dijadikan bahan pembanding dengan karya sejenis yang dihasilkan oleh para pemikir Muslim. Kedua, dari segi referensi, Makdisi menggunakan rujukan karya-karya standar baik yang berasal dari pemikir Muslim maupun Barat. Ia banyak menggunakan karya-karya klasik Islam seperti karya-karya Ibn Muflih (al-Adab al-Shar’iya wa ‘l-Minah al-Mar’iya), al-Syirazi (al-Tanbih fi ‘l-Fiqh ‘ala Madhhab al-Imam al-Shafi’i), al-Baghdady (al-Faqih wa ‘l-Mutafaqqih), Abu Ya’la (Ahkam al-Sultaniya), al-Maqdisi (Ahsan al-Taqasim fi Ma’rifat al-Aqalim), Ibn Kathir (al-Bidaya wa ‘l-Nihaya fi ‘l-Tarikh), Ibn Nadhim (al-Fihrist), Ibn ‘Aqil (Kitab al-Jadal), Yaqut (Irshad al-Arib ila Ma’rifat al-Adib), Ibn Athir (al-Kamil fi ‘l-Tarikh), al-Maqrizi (al-Mawa’iz wa ‘l-I’tibar bi-Dhikr al-Khitat wa ‘l-Athar), dan sebagainya. Akhirnya, semoga karya George Makdisi ini menjadi an inspiring work bagi para pemerhati dan pelaku pendidikan di dunia Islam sehingga tidak lupa dengan tradisinya sendiri.

Wallahu a’lam bi ‘l-Sawab.

[1] Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan kini sebagai Peserta Program Doktor (S3) Program Pascasarjana di IAIN yang sama.
[2] George Makdisi, dalam Correspondence d’Orient, no. 11. Actes du Ve Congres International d’Arabisants et d’Islamisants. Brussel, 31 August – 6 September 1970: pp. 329-37.
[3] George Makdisi, dalam Arabica, VI, 2 (1959): pp. 179 – 197; VI, 3 (1959): pp. 281 – 309.
[4] George Makdisi, dalam Recherches d’Islamologie: Recueil d’articles offerts à Georges C. Anawati et Louis Gardet par leurs collègues et amis. Louvain et Louvain-La-Neuve: Editions Pecters et Editions de Philosophie 1978.
[5] George Makdisi, dalam Revue de l’Occident Musulman et de la Mèditeranèe, nos. 15-16, Extrait des Mèlanges le Tourneau. Aix-en-Provence 1973: pp. 153-8.
[6] George Makdisi, dalam BSOAS, vol. 24 (1961), pp. 1-56.
[7] George Makdisi, dalam Studia Islamica (Memoriae J. Schacht Dedicato), XXXII (1970), pp. 155-64.
[8] George Makdisi, dalam Theology and Law in Islam (Wiesbaden: O. Harrassowitz, 1971), 75-88.
[9] George Makdisi, dalam Islam: Past Influence and Present Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), 126-37.
[10] William Montgomery Watt termasuk salah seorang sejarawan Barat yang cukup antusias mengkaji sejarah peradaban Islam. Hal ini dapat dilihat dari beberapa buku yang ia tulis, seperti Majesty that was Islam, Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali, The Faith and Practice of al-Ghazali (Sebuah karya terjemahan dari dua buku al-Ghazali yaitu al-Munqidh min al-Dalal dan Bidayah al-Hidayah), dan Islamic Philosophy and Theology.
[11] Berbeda dengan diachronic dan anachronic. Yang pertama cenderung menafsirkan fakta sejarah dengan konteks yang berbeda dengan fakta sejarah itu sendiri, sedangkan yang kedua cenderung tidak mempertimbangkan fakta yang ada. Untuk selanjutnya, lihat R. Stephen Humphreys, Islamic History: A Framework for Inquiry (New Jersey: Princeton University Press, 1991).
[12] Sebelum karya ini muncul, Makdisi telah menerbitkan sekitar 20 karya ilmiah dengan pendekatan sejarah yang tersebar dalam bentuk buku dan artikel di berbagai jurnal. Lihat George Makdisi, The Rise of Colleges (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 345-54.
[13] Ibid., xiii.
[14] Yakni pada masa pemerintahan Abbasiyah.
[15] Sebenarnya lembaga pendidikan madrasah bukan hanya muncul pada abad ke-11 di Baghdad, sebab pada abad sebelumnya telah muncul lembaga ini. Namun demikian, harus diakui bahwa anggapan mengenai munculnya madrasah pada abad ke-11 ini ditandai dengan berdirinya Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Wazir Nizam al-Mulk pada tahun 1066 M. Tentang adanya fenomena madrasah sebelum abad ke-11, lihat penelitian yang dilakukan oleh Richard W. Bulliet, The Patricians of Nishapur: A Study in Medieval Islamic Social Society (Cambridge: Harvard University Press, 1972), 48; Naji Ma’ruf, Madaris Makkah (Baghdad: Matba’at al-Irshad, 1966) dan Madaris Qabl al-Nizamiyah (Baghdad: Matba’at al-Jam’ al-‘Ilm al-‘Iraqi, 1393/1973).
[16] Sebuah kajian cukup komprehensif tentang hubungan antara tradisi keilmuan dalam Islam dengan dunia Barat dilakukan oleh Nakosteen. Lihat Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350, with an Introduction to Medieval Islam Education, terj. Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah (Surabaya: Risalah Gusti, 1996).
[17] George Makdisi, The Rise, 1-74.
[18] Ibid., 2-3.
[19] Ibid., 9-10.
[20] Untuk kajian mengenai madrasah sebagai sebuah bentuk lembaga pendidikan formal di dunia Islam, lihat Abdullah Aly, “Pendidikan Formal dalam Islam: Kajian atas Madrasah Nizamiyah,” dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol 2, No. 2 Juli 2000: 240-257.
[21] G. Makdisi, The Rise, 24-7.
[22] Ibid., 75-152.
[23] Ta’liqah adalah metode yang digunakan oleh para ilmuwan dengan cara mengomentari dan mendebat pendapat ilmuwan lain. Lihat G. Makdisi, The Rise, 116-7.
[24] Ri’asah yaitu metode yang digunakan oleh para ulama dalam mengkader generasi penerusnya, yaitu dengan menjadikan kader tersebut sebagai pemimpin suatu majlis atau semacamnya. Ibid., 129.
[25] Suhbah yaitu metode persahabatan antara seorang guru dengan murid dalam mengembangkan ilmu. Ibid., 128.
[26] Ijazah adalah suatu pengakuan atau pengesahan dari seorang guru kepada murid bahwa ia sudah berhak menyebarkan atau mengajarkan ilmu yang telah ia peroleh. Ijazah juga bisa disebut dengan ijin mengajar. Di sini ada perbedaan antara tradisi dalam Islam dengan tradisi Barat (Kristen). Kalau dalam tradisi Islam, ijin mengajar cukup dari guru saja, sementara dalam tradisi Barat, ijin mengajar harus disahkan oleh pihak gereja. Ibid., 140-5.
[27] G. Makdisi, The Rise, 153-223.
[28] Mengenai status sosial para sarjana Muslim dalam masyarakat ini dibahas secara khusus oleh Muniruddin Ahmed ketika membahas karya Khatib al-Baghdady, yakni Tarikh Baghdad. Untuk selanjutnya, lihat Munir-ud-Din Ahmed, Islamic Education and Scholars’ Social Status (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1966.
[29] Yang dimaksud di sini adalah jabatan yang dipegang secara bergilir oleh para ilmuwan. Waktunya relatif pendek. G. Makdisi, The Rise, 168.
[30] Yaitu diwariskan dari orang tuanya. Ibid., 179-80.
[31] Mengenai hal ini sebenarnya termasuk pelanggaran, dan hanya merupakan kasus, yakni cara menduduki jabatan tertentu dengan cara ditawarkan. Ibid., 171.
[32] Persoalan ini dibahas pada halaman 171-86.
[33] Mutafaqqih yaitu mahasiswa yang mempunyai pengetahuan agama relatif sedikit dan dangkal. Ibid., 175.
[34] Faqih yaitu mahasiswa yang mempunyai tingkat pengetahuan agama relatif tinggi dan sudah bisa membuat keputusan sendiri dalam persoalan hukum Islam, misalnya.
[35] Mudarris adalah orang yang mengajar dalam bidang hukum. Ibid., 188.
[36] Na’ib mudarris yaitu wakil dari mudarris. Ibid.
[37] Mu’id adalah asisten dari mudarris yang bertugas mengulangi apa yang dikatakan olehnya. Ibid., 193.
[38] Mufid juga merupakan salah satu asisten mudarris yang bertugas menjelaskan apa yang disampaikan oleh mudarris dalam bidang hukum.
[39] Ra’is yaitu jabatan semacam pemimpin para ulama di suatu kota, seperti Nishapur. Sebagai contoh yaitu kasus Abu Sa’id al-Shamati (w. 454/1062) yang dipilih oleh para Syaikh sebagai na’ib ra’is di Nishapur. Ibid., 197.
[40] Mufti adalah jabatan ahli hukum yang bertugas mengeluarkan fatwa dari suatu persoalan. Ibid., 197-9.
[41] Ibid., 200.
[42] Ibid., 201.
[43] Istilah ini digunakan untuk memaknai kedudukan yang tertinggi atau aneh. Disebut aneh karena orang yang menempati belum saatnya menempati akibat ditinggal mati oleh gurunya, alias masih prematur. Selain itu, terma ini juga digunakan atau diterapkan pada orang gila yang mengajarkan hukum di sekolah. Ibid., 203.
[44] Orang yang bertugas mengulangi apa yang didiktekan oleh guru. Ibid., 213.
[45] Orang yang bertugas menjelaskan maksud dari profesor hadis. Ibid., 214.
[46] Ibid., 215.
[47] Profesor dalam bidang sufi yang memimpin suatu pondok sufi. Ibid., 216.
[48] Mu’allim, mu’addib, dan faqih adalah jabatan atau sebutan guru untuk sekolah dasar. Ibid., 219.
[49] Lihat Ibid., 220-223.
[50] Orang yang bertugas membuat administrasi pondok sufi. Ibid., 223.
[51] Bagian ini dibahas dari halaman 224-280.
[52] Ibid., 292-311.
[53] Ibid., 312.
[54] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium (Jakarta: Logos, 1998), x.
[55] Munir-ud-Din Ahmed, Muslim Education and Scholars’ Social Status (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1966).
[56] Bayard Dodge, Muslim Education in Medieval Times (Washington, D.C.: The Middle East Institute, 1962).
[57] Michael Stanton, Higher Learning in Islam (New York, 1991).
[58] Ahmad Syalaby, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kasysyaf, 1954).
[59] A.S. Tritton, Materials on Muslim Education in the Middle Ages (London: Luzac, 1957).
[60] A.L. Tibawi, Islamic Education (London: Luzac & Co., 1972).

iain ke uin

IAIN MENJADI UIN: REDEFINISI ISLAMIC STUDIES
Muqowim

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 31 tahun 2002 status IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Peresmian perubahan nama ini dilakukan pada tanggal 8 Juni 2002 bersamaan dengan upacara Dies Natalis ke-45 IAIN Syarif Hidayatullah di kampus setempat (Kompas, 10 Juni 2002). Menurut Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., perubahan ini dimaksudkan sebagai langkah awal untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu umum yang selama ini masih terpisah-pisah. Dengan status universitas tersebut berarti lembaga ini harus membuka fakultas-fakultas umum yang selama ini kurang disentuh oleh institusi IAIN.
Perubahan status menjadi universitas pada dasarnya merupakan cermin perubahan kerangka berpikir para pengelola lembaga IAIN terhadap pengembangan ilmu yang selama ini ada. Seharusnya, perubahan tidak sekedar secara legal-formal-administratif, tetapi justru yang terpenting harus dibarengi dengan perubahan bangunan ilmu yang akan dibangun dan ditradisikan melalui baju baru ini. Bahkan, sebelum perubahan status tersebut dilakukan seharusnya yang paling awal ditempuh adalah melakukan kaji ulang terhadap struktur keilmuan yang selama ini dikembangkan IAIN sekaligus mengadakan kajian intensif tentang struktur keilmuan baru yang akan ditawarkan melalui UIN. Hal ini jauh lebih penting ketimbang permasalahan lain seperti status formal lembaga, bangunan, sarana, dan sumber daya dosen, meskipun hal-hal tersebut juga harus diperhitungkan. Bahkan, kurikulum yang akan dibentuk pun pada dasarnya merupakan penjabaran saja dari struktur ilmu yang dibangun.
Secara keilmuan, perubahan status IAIN menjadi UIN merupakan sebuah perombakan terhadap makna kajian Islam (Islamic studies) yang selama ini dipahami oleh IAIN, khususnya, dan umat Islam pada umumnya. Di IAIN kajian Islam lebih dimaknai sebagai pendalaman dan pengembangan ilmu-ilmu yang merujuk secara langsung dari dua sumber pokok Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadis, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, tasawuf, kalam, dan bahasa Arab, atau yang lebih dikenal dengan istilah al-‘ulum al-naqliyyah. Ilmu-ilmu tersebut dianggap sebagai ilmu agama yang dapat mengantarkan seorang muslim menuju kesalehan. Bahkan, keilmuan tersebut dianggap sebagai “tiket menuju surga”, sementara disiplin ilmu di luar itu yang disebut dengan al-‘ulum al-‘qliyyah termasuk kategori sekuler, profan dan belum tentu menjamin orang Islam masuk surga. Pemahaman ini sedemikian kentalnya dalam masyarakat Islam Indonesia secara umum sehingga banyak orang Islam yang kurang tertarik mempelajari ilmu-ilmu umum.
Sebenarnya, perlunya perubahan status kelembagaan di atas mengimplikasikan adanya perombakan cara pandang terhadap makna kajian Islam (Islamic studies) yang selama ini dipahami oleh IAIN. Tanpa memahami makna tersebut, maka perubahan status IAIN menjadi UIN hanya sekedar tambal sulam yang tidak membawa perubahan lembaga secara berarti. Bahkan, sangat mungkin, jika tidak dilakukan kaji ulang, maka dalam prakteknya akan mengalami nasib yang sama dengan lembaga pendidikan tinggi yang selama ini membawa label Islam, seperti Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atau perguruan-perguruan tinggi yang selama ini di bawah koordinasi organisasi Muhammadiyah, di mana ada pemisahan fakultas agama secara tersendiri, dimana fakultas tersebut menjadi second choice para calon mahasiswa karena benchmarking-nya yang belum jelas.
Menurut Fazlur Rahman (1967) salah satu problem akut yang diderita oleh pendidikan Islam adalah adanya sistem dikotomi yang memisahkan secara kaku sistem pendidikan keagamaan seperti yang ditampilkan oleh lembaga pendidikan madrasah dan sistem pendidikan umum yang ditunjukkan oleh lembaga pendidikan sekolah. Lembaga pertama difokuskan pada pengembangan ilmu-ilmu agama guna mencetak ulama dan cenderung kurang peduli terhadap ilmu-ilmu umum, sementara lembaga kedua mengajarkan ilmu-ilmu umum dengan orientasi menghasilkan ilmuwan dan cenderung kurang memperhitungkan ilmu-ilmu agama. Adanya pemisahan secara rigid ini pada akhirnya hanya menghasilkan orang yang berkepribadian ganda (split personality) di mana ia hanya paham dan menguasai salah satu tradisi keilmuan saja, baik ilmu agama ataupun umum saja.
Munculnya dikotomi sistem pendidikan tersebut sebenarnya berawal dari pengambilan cara pandang (perspective) dan konsep Barat terhadap kehidupan. Secara historis, ada sejarah sekulerisasi di Barat Kristen di mana muncul dua klaim kebenaran dalam ilmu pengetahuan, yakni kebenaran pihak gereja, yang meyakini kebenaran ilmu pengetahuan bersumber dari ajaran dan petunjuk Bible yang tidak perlu dibuktikan secara ilmiah namun harus diterima secara taken for granted, dan kebenaran ilmuwan yang berpegang pada aturan dan kaidah ilmiah di mana kebenaran harus dapat diverifikasi dan dijelaskan secara rasional-obyektif-empirik. Dalam kenyataannya, kedua arus ‘pemilik’ kebenaran tersebut terjadi ketegangan, perang pemikiran dan adu argumentasi yang cukup sengit sehingga berakibat pada gugurnya beberapa martir dari kalangan ilmuwan, seperti Galileo dan Copernicus. Meskipun pada akhirnya klaim kebenaran ilmuwan tentang bentuk bumi dan sistem tata surya yang terbukti benar dan diakui gereja, namun pengaruh perdebatan tersebut masih terasa di mana ada wilayah kebenaran milik ilmuwan dan ada wilayah kebenaran milik gereja. Dengan melihat kedua kecenderungan tersebut, maka di dunia Barat Kristen, agama hanya menjadi salah satu aspek kehidupan, selain ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Tidak mengherankan jika negara tidak terlalu turut campur dalam persoalan agama, sebab ia berada pada private space, bukan public space, terserah kepada individu masing-masing.
Cara pandang tersebut sangat berbeda dengan konsep yang ditawarkan Islam di mana agama yang bersumberkan pada al-Qur’an merupakan inspirasi pokok yang harus diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Inna shalati wa-nusuki wa-mahyaya wa-mamati lillahi rabbil ‘alamin, sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan mati orang Islam adalah untuk Tuhan semesta alam. Segala aktifitas keduniaan akan bernilai ibadah selama diniatkan untuk mengabdi kepada-Nya, apapun jenisnya, misalnya kegiatan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, dan hukum. Bahkan, aktifitas yang secara lahiriah merupakan kegiatan ritual tidak dianggap bermakna ibadah selama niat dan orientasinya keliru, seperti untuk kesombongan, pamer dan sebagainya. Dengan pemahaman yang demikian, maka tidak pada tempatnya menjadikan agama sebagai salah satu bidang kehidupan, sebab ia harus menginspirasi dan inheren dalam setiap aktifitas kemanusiaan umat Islam.
Dengan pemikiran tersebut, maka kajian Islam (Islamic studies) tidak hanya terbatas pada keilmuan yang selama ini dipahami dan dikembangkan di lingkungan IAIN secara umum, yakni al-‘ulum al-naqliyyah saja, namun juga al-‘ulum al-‘aqliyyah yang selama ini banyak dikaji di lembaga-lembaga pendidikan umum yang dianggap sekuler. Pemahaman semacam ini senada dengan yang pernah dilontarkan oleh Nasr (1981) bahwa studi Islam tidak hanya mencakup “ilmu-ilmu keagamaan” saja, namun juga termasuk ilmu-ilmu kealaman, seperti astronomi, kimia, fisika, geografi, kosmologi, dan seterusnya. Sebab, hal ini pernah di kembangkan pada periode Islam klasik dimana peradaban Islam mengalami puncak kejayaan (the Golden Ages). Ketika itu muncul pemikir Muslim yang berparadigma non-dikotomik dalam memandang kehidupan, misalnya Ibnu Sina, Ibn Rusyd, al-Kindi dan al-Ghazali.
Sebagai konsekuensi dari pemikiran tersebut, di mana ajaran agama menjadi panduan dan spirit semua aktifitas kehidupan, maka dalam konteks kelembagaan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, tidak perlu ada fakultas yang secara khusus ‘ngurusi’ agama. Sebab, dengan adanya fakultas khusus agama ini menunjukkan adanya pengakuan dikotomi pendidikan agama dan umum. Karena itu, fakultas-fakultas yang harus dibuka justru ilmu-ilmu yang selama ini danggap profan, seperti kedokteran, politik, hukum, filsafat, pendidikan dan seterusnya. Beberapa disiplin keilmuan yang selama ini dikembangkan di IAIN semacam fiqh, tafsir, kalam, dan ilmu hadis harus dipandang sebagai disiplin ilmu sebagai produk pemikiran kreatif umat Islam, bukan sebagai ilmu agama yang pasti benar sebab ia merupakan hasil dialektika keilmuan ilmuwan muslim pada masanya. Karena itu, pengembangan “ilmu-ilmu agama” dan ilmu-ilmu non-agama sangat bergantung pada kreatifitas berpikir umat Islam.
Persoalan berikutnya, sebagai konsekuensi dari gagasan di atas, perlunya melakukan perombakan kurikulum yang selama ini masih bernuansa dikotomik. Kajian Islam yang selama ini dipahami dan dikembangkan IAIN justru menjadi materi pokok (core subjects) yang akan menjadi petunjuk dalam melakukan elaborasi terhadap disiplin keilmuan lain yang selama ini dianggap sekuler. Problem besar selanjutnya justru terletak pada ketersediaan sumber daya manusia yang berparadigma non-dikotomik tersebut. Sebab, mereka harus bertitik tolak dari semangat ajaran al-Qur’an dalam mengembangkan ilmu yang diminati. Dengan demikian, adanya proyek islamisasi ilmu yang selama ini dikembangkan menjadi tidak relevan lagi, sebab yang perlu dirombak adalah mind-set ilmuwan Islam itu sendiri, bukan ilmu yang hanya menjadi produk pemikiran. Selain itu, sistem pendidikan tingkat dasar sampai sekolah lanjutan atas yang menghasilkan produk individu dengan kerangka berpikir dikotomik juga menjadi problem tersendiri.
Meskipun demikian, di tengah maraknya wacana pendidikan alternatif sebagai solusi terhadap problem pendidikan yang terjadi di Indonesia, maka perubahan status IAIN menjadi UIN menjadi sebuah pilihan yang harus diambil. Perlunya lembaga pendidikan alternatif mengimplikasikan adanya pola pendidikan yang berbeda dengan sistem pendidikan yang selama ini ada. Karena itu, lembaga UIN seharusnya tidak setengah hati mengambil prakarsa dalam perombakan ini kalau tidak ingin dikatakan sama saja dengan lembaga sebelumnya, hanya beda baju saja. Nah, perbedaan mendasar yang perlu ditunjukkan adalah pendefinisian ulang makna Islamic studies yang akan dikembangkan melalui lembaga dengan format baru tersebut.

Berdasarkan makna kajian Islam di atas, maka Pembidangan Ilmu dalam Islam dapat dipetakan berikut ini:

‘Ulum al-Qur’ān
a. Tarikh al-Qur’an
b. ‘Ilm Qira’at
c. Tafsir
d. Manahij al-Tafsir, dst.
‘Ulum al-Hadith
a. Tarikh al-Hadith
b. Tarikh al-Ruwwah
c. Rijal al-Hadith, dst.
Ilmu Kalam
Ilmu Tasawuf
Ilmu Imajinatif
a. Seni
b. Bahasa dan Sastra
Ilmu Sosial-Humaniora
a. Filsafat
b. Hukum
c. Politik dan Pemerintahan
d. Sosiologi
e. Antropologi
f. Psikologi
g. Ekonomi
h. Pendidikan
i. Sejarah dan Budaya
Ilmu Alam (Teoritis)
a. Matematika
b. Fisika
c. Kimia
d. Biologi
e. Astronomi
f. Geografi
g. Geologi
Ilmu Terapan
a. Kedokteran
b. Rekayasa dan Teknologi (Teknik Sipil, Teknik Industri, Aeronautika, Teknik Mesin, dan seterusnya)
Ilmu Praktis
a. Perdagangan
b. Perpustakaan
c. Administrasi
d. Komunikasi, dst.

Catatan:
1. Semua ilmu tersebut dikembangkan berdasarkan nalar manusia yang terinspirasi dari semangat ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Karena itu, dengan model ini tidak ada lagi dikotomi ilmu, yang ada kesatuan dan hirarki ilmu.
2. Ketika dijabarkan dalam bentuk kurikulum, ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadis menjadi materi pokok (core subjects) yang harus dipelajari oleh setiap orang Islam sebelum mereka memperdalam ilmu-ilmu di bawahnya sebagai pilihan. Perlu dibuat standar kemampuan minimum yang harus dimiliki oleh peserta didik. Materi minimal yang harus dikuasai mencakup Ulum al-Qur’an, Ulum al-Hadith, Tasawuf, Hukum, Bahasa Arab, Sejarah dan Budaya, Filsafat, Ilmu Kalam, dan Geografi.
3. Fakultas pada dasarnya merupakan penjabaran dan pengembangan lebih jauh dari setiap disiplin keilmuan di atas, baik satu disiplin ilmu ataupun ‘perkawinan dari dua disiplin’.


Kotagede, 25 Juni 2002