Kamis, Juli 26, 2007

rekonsientitasi pendidikan islam

REKONSIENTASI PENDIDIKAN (ISLAM) VIS Á VIS
KONTEKS MASYARAKAT PLURAL[1]
Muqowim[2]

Pengantar
Jika kita mengikuti perkembangan perisitiwa mutakhir di Indonesia yang penuh dengan berbagai tindak kekerasan, kerusuhan, dan huru-hara, terlebih yang sarat dengan nuansa SARA, maka tema yang didiskusikan pada kesempatan ini, yakni Rekonsientisasi Pendidikan Pluralis dalam Zona Mabuk Teknologi, menjadi sangat menarik. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa pertimbangan. Pertama, ia sebagai bentuk respon terhadap permasalahan yang berkembang di dunia pendidikan. Kedua, ia sebagai bentuk kodifikasi konteks konkret ke dalam konteks teoritis. Dari proses ini kemudian dilakukan dekodifikasi yang disertai dengan refleksi terhadap problem realitas empirik yang majemuk. Ketiga, munculnya berbagai tindak kekerasan dan kerusuhan antar sesama warga bangsa merupakan persoalan riil yang dihadapi dunia pendidikan. Apa yang bisa disumbangkan bidang ini dalam merespon isu-isu tersebut. Atau jangan-jangan, berbagai kasus tersebut merupakan reperkusi (dampak panjang) dari proses pendidikan yang selama ini berlangsung. Karena itu, upaya penyadaran kembali terhadap realitas empirik oleh para pemerhati dan pelaku dunia pendidikan perlu dilakukan.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas persoalan di atas secara komprehensif, apalagi memberikan jawaban dan solusi yang workable dan applicable. Namun, upaya inventarisasi dan identifikasi permasalahan pendidikan dalam konteks masyarakat plural sejak dini harus dilakukan. Terlebih lagi, persoalannya menjadi kian rumit dan kompleks seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, di mana identitas individu, masyarakat dan bangsa menjadi kabur karena tidak adanya lagi sekat. Saat ini kita ibarat tinggal di Global Village (Kampung Global).

Pluralitas : antara Idealitas dan Realitas
Terma pluralitas seringkali digunakan untuk menggambarkan konteks masyarakat yang heterogen dari berbagai aspek, seperti agama, kultur, etnis, bahasa, warna kulit, jenis kelamin, dan golongan. Tidak heran jika akhir-akhir ini seringkali muncul terma mutikultural, multirelijius, multietnis, dan sebaginya yang menggambarkan beragamnya identitas diri, baik secara perorangan, kelompok, masyarakat, maupun bangsa. Adalah hal yang wajar bahwa setiap identitas ingin eksis dan diakui keberadaannya, karena setiap entitas memang berada dalam proses ‘mengada’, selama ia ada dan merasa ada.
Sebenarnya pluralitas adalah sunnatullah yang harus diterima taken for granted oleh manusia. Tuhan memang menghendaki demikian, meskipun Dia sangat bisa membuat makhluknya, khususnya manusia, seragam (uniform) baik secara fisik (bentuk badan, warna kulit, dan seterusnya) maupun psikis, seperti kehendak, minat, nafsu, dan sebagainya. Jika demikian, apa sebenarnya maksud Tuhan? Manusia dibekali ‘aql untuk memutuskan, memilih, dan menentukan jalan hidupnya, sesuai dengan kemauannya. Persoalannya adalah apakah manusia sadar bahwa mereka diciptakan berbeda dan plural, sehingga keinginan dan kehendaknya bisa saja sama, berbeda atau bahkan bertentangan dengan pihak lain.
Pemahaman akan makna pluralitas seperti di atas yang seharusnya dipahami oleh bangsa Indonesia yang pada saat ini menghadapi problem yang semakin kompleks dan rumit seiring dengan belum adanya tanda-tanda berakhirnya krisis ekonomi yang berimplikasi pada berbagai sektor kehidupan, seperti politik, sosial, budaya, termasuk pendidikan. Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan munculnya problem disintegrasi bangsa yang ditandai dengan terjadinya berbagai kasus kerusuhan dan kekerasan masa yang lebih bernuansa SARA. Tentu saja, problem tersebut mempunyai reperkusi dalam sikap dan perilaku generasi bangsa Indonesia di masa depan. Pada dasarnya, kasus kerusuhan dan kekerasan tersebut terjadi karena berawal dari adanya perbedaan cara pandang sepihak yang menganggap pihak lain sebagai lawan, keliru, dan harus dilawan.
Secara normatif, tidak ada satu pun ajaran agama yang mendorong dan menganjurkan pengikutnya untuk melakukan tindak kekerasan (violence) dan kerusuhan (unrest) terhadap pengikut agama lain di luar kelompoknya, atau bahkan pemahaman dan penafsiran yang berbeda terhadap ajaran dalam satu agama. Selain itu, secara budaya, ajaran agama juga mengajarkan umatnya untuk saling mengenal satu sama lain (ta’aruf) karena adanya perbedaan latar belakang seperti budaya, bangsa, bahasa, dan jenis kelamin. Akan tetapi, secara empiris-historis-faktual, sesekali, untuk tidak mengatakan seringkali, dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan dalih agama.[3] Untuk menyebut beberapa kasus kerusuhan bernuansa SARA yang terjadi di Indonesia adalah mulai dari kasus Situbondo, Pekalongan, Maluku, Poso hingga Sampit. Sedangkan untuk kasus di luar negeri seperti di India, Irlandia, dan bekas Yugoslavia. Memang agak sulit memisahkan secara tegas (clear-cut) berbagai kasus tersebut antara yang bermotivasi keagamaan dengan non-keagamaan, seperti ekonomi, sosial, dan politik, namun ketika simbol-simbol keagamaan digunakan, maka kasus tersebut semakin ruwet dan bersifat massive-emosional.
Untuk kasus di Indonesia di mana pluralitas agama, etnis, dan bahasa sangat terasa dan tampak jelas, maka ketika terjadi kasus kerusuhan atau kekerasan persoalannya menjadi semakin rumit dan kompleks. Kondisi ini sangat dirasakan oleh berbagai pihak, seperti para tokoh masyarakat, politisi, sampai orang tua di rumah. Karena itu, untuk mengatasi persoalan, atau paling tidak untuk mengantisipasi terjadinya kasus serupa di wilayah lain, maka diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dan sadar dari berbagai pihak untuk mencermati, mengevaluasi, dan merekonstruksi setiap upaya yang telah dilakukan di masa yang telah lalu dalam hal metodologi dan pola pengkajian agama, baik yang terjadi di dalam lembaga pendidikan formal (sekolah) maupun di luar lembaga pendidikan formal (sekolah). Hal ini mendesak di lakukan karena melalui proses pendidikan dalam arti luaslah, terjadi sosialisasi dan internalisasi nilai dan perspektif dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nah, ketika sebuah generasi mewariskan nilai dengan cara yang keliru akan mempunyai dampak panjang terhadap pola perilaku generasi berikutnya. Karena itu, pola penanaman nilai melalui proses pendidikan menjadi penting dilakukan.
Dalam pandangan Nurcholish Madjid,[4] dengan mengutip pendapat Bernard Lewis, di antara tantangan modernitas yang paling nyata adalah persoalan toleransi dan pluralisme. Hal ini sebenarnya tidak menjadi persoalan pada generasi awal, baik bagi umat Islam, Kristen maupun Yahudi. Lewis menunjukkan bahwa generasi Islam awal cenderung lebih toleran jika dibandingkan dengan generasi Islam yang lebih belakangan. Dalam tulisannya Lewis menggambarkan betapa semangat toleransi telah diwujudkan dalam kegiatan praktis sehari-hari pada masa-masa awal antara kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi. Meski menganut agama yang berbeda, mereka membentuk masyarakat tunggal yang di dalamnya perkawanan antarpribadi, kemitraan dalam bisnis, hubungan guru-murid dalam kehidupan ilmu pengetahuan, dan bentuk-bentuk lain kegiatan bersama berlangsung normal dan bahkan sangat umum. Kerja sama kultural ini tampak dalam banyak cara. Orang Barat Kristen misalnya, kata Lewis, memiliki kamus-kamus biografis yang memperlihatkan dokter-dokter ternama. Meskipun ditulis oleh kaum Muslim, karya ini memasukkan nama dokter-dokter Muslim, Kristen, dan Yahudi sekaligus tanpa diskriminasi. Dari biografi yang jumlahnya sangat banyak ini, bahkan dapat disusun semacam prosopografi tentang profesi kedokteran—untuk menelusuri garis hidup beberapa ritus dokter praktik di dunia Islam. Dari sumber-sumber ini ada kesan yang sangat jelas mengenai upaya-upaya bersama. Di rumah sakit maupun di tempat praktik pribadi, para dokter yang berasal dari ketiga agama di atas bekerja sama sebagai mitra atau asisten, saling membaca karya yang ditulis pihak lain, serta saling menerima sebagai murid dan guru. Tidak ditemukan jenis pemisahan yang umum ditemukan di dunia Kristen Barat pada masa itu atau di dunia Islam pada masa-masa yang belakangan.[5]
Menurut Cak Nur masalah Islam vis-à-vis pluralisme adalah masalah bagaimana kaum Muslim mengadaptasikan diri dengan dunia modern. Hal ini pada gilirannya melibatkan masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.[6]
Untuk konteks keberagamaan, problem yang dihadapi bangsa Indonesia bukan hanya masalah hubungan antar agama, namun juga hubungan intern agama, dan hubungan agama dengan pemerintah. Ketiga hubungan tersebut jika tidak dikelola secara baik sama-sama berpotensi terhadap munculnya konflik dan kekerasan. Pemahaman agama secara kaku sering berakibat pada penilaian secara keliru terhadap agama lain yang dipeluk oleh sesama masyarakat Indonesia. Begitu juga, meskipun sama-sama berpegang pada ajaran agama yang sama, ketika tidak ada rasa saling menghargai dan menghormati munculnya pemahaman dan penafsiran berbeda terhadap sumber ajaran agama yang masih bersifat global, juga menjadi penyebab timbulnya kekerasan beragama. Akhirnya, ketika hubungan agama dan negara tidak ditempatkan pada posisi sebenarnya, maka ia juga berakibat pada ketidakharmonisan hubungan yang berujung pada rasa saling mencurigai antara pemeluk agama (believer) dengan pemerintah (ruler).
Dilandasi kesadaran akan adanya pluralitas di atas, maka misi pendidikan yang dicanangkan oleh UNESCO ada empat, yakni learning how to know, learning how to be, learning how to do, dan learning how to live together. Paradigma yang keempat tersebut didorong oleh keinginan untuk hidup secara harmonis antar warga masyarakat dan bangsa. Bahwa manusia hidup tidak sendirian, ia tinggal bersama orang lain yang sama-sama mempunyai keinginan, minat, kepentingan dan sebagainya. Tidak semua yang diinginkan harus dipenuhi ketika ia berbenturan dengan kepentingan pihak lain. Di sinilah diperlukan mutual understanding, pemahaman bersama.

Mencari Islam yang “Benar” dan Pengerasan Sikap Keagamaan
Dalam buku Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,[7] Amin Abdullah membagi studi Islam ke dalam dua kategori, yakni Islam normatif dan Islam historis. Yang pertama lebih berarti Islam das Sollen, Islam yang seharusnya dan lebih melihat Islam sebagai doktrin wahyu, sedangkan yang kedua mengacu pada Islam das Sein, yakni Islam pada kenyataannya yang dapat dilihat dalam konteks menyejarah. Gagasan Amin ini senada dengan apa yang dilontarkan oleh Bernard Lewis tentang Islam Ideal yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw dan Islam historis yang sudah menyejarah.[8]
Pendapat Amin mengenai konsep historis dapat dikelompokkan ke dalam dua konsep tradisi, yakni konsep tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition) yang diintrodusir oleh seorang antropolog Amerika R. Redfield,[9] yang kemudian banyak digunakan oleh para antropolog dalam studi mereka terhadap masyarakat beragama di berbagai negara di Asia, Afrika dan di Amerika sendiri. Kajian Geerts dalam The Religion of Java[10] yang kemudian menjadi masterpiece-nya juga menggunakan kerangka konsep great tradition dan little tradition ini.
Konsep tersebut menggambarkan bahwa dalam suatu peradaban terdapat dua macam tradisi yang dapat dikategorikan sebagai great tradition dan little tradition.[11] Yang pertama merupakan tradisi dari mereka yang suka berfikir dan dengan sendirinya mencakup jumlah orang yang relatif sedikit (the reflective few). Sedangkan yang kedua sebagai tradisi dari sebagian besar orang yang tidak pernah memikirkan secara mendalam tradisi yang mereka miliki. Tradisi dari para filosof, ulama, dan kaum terpelajar adalah tradisi yang ditanamkan dan diwariskan dengan penuh kesadaran, sementara tradisi orang kebanyakan adalah tradisi yang sebagian diterima dari pendahulu dengan apa adanya (taken for granted) dan tidak pernah diteliti atau disaring pengembangannya.
Islam sebagai gejala budaya juga menjadi perhatian Von Grunebaum. Dua kelompok tradisi yang dikemukakan oleh Redfield di atas identik dengan konsep the Islamic high culture dan the Islamic local culture yang dikemukakan oleh Grunebaum. Yang pertama menggambarkan adanya kesatuan dalam Islam, sedangkan yang kedua justeru menggambarkan adanya keragaman Islam yang tercermin melalui budaya lokal[12]. Istilah yang digunakan Grunebaum ini mengingatkan pada terma yang digunakan oleh pemikir sosial asal Prancis, Ernest Gellner tentang Islam rendah (low Islam) dan Islam tinggi (high Islam).[13] Bahwa yang pertama lebih bersifat universal, sedangkan yang kedua bersifat partikular. Istilah low Islam bukan berarti merendahkan Islam yang dianut oleh lapisan bawah kaum Muslim. Hal itu hanya berkaitan dengan bentuk ekspresi kebudayaan dari umat Islam.
Gellner menggunakan kedua terma tersebut untuk menggambarkan dua model beragama di kalangan umat Islam. Budaya Islam tinggi merupakan pola budaya yang dianut oleh lapisan cendekiawan dan kelas menengah. Nilai-nilai yang menjadi acuan atau pegangan adalah ketaatan pada aturan, rasionalitas dan keterpelajaran. Mereka juga bersikap skripturalis (berpedoman pada teks atau interpretasinya secara harfiyah atau kontekstual), puritan, literal, hidup sederhana, egaliter dan eksatik. Sebaliknya, budaya Islam rendah dianut oleh masyarakat pedesaan dan masyarakat yang lebih sederhana. Cara hidup mereka lebih mementingkan unsur magis, ekstase, pemujaan kepada wali atau orang suci, tertarik kepada praktek mistik dan sering menggunakan ayat-ayat suci sebagai cara penyembuhan.
Berbagai versi Islam yang dikemukakan para tokoh di atas hanya untuk menggambarkan betapa banyak corak keislaman umat Islam ketika ajaran Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah dipahami oleh para pemeluknya. Keragaman ini muncul karena cara pandang atau perspektif yang digunakan oleh mereka berbeda. Hal ini sangat tergantung pada locus dan tempus masing-masing pemeluk. Bila dicermati sebenarnya munculnya fenomena keragaman dalam keberagamaan ini lebih pada dataran historis, yakni ketika Islam normatif dipahami umatnya menurut kultur masing-masing. Pengertian kultur ini mengacu pada academic background yang mencakup pengetahuan (knowledge) dan pengalaman (experience) yang dimiliki dan social setting dari umat Islam.
Berkaitan dengan pemahaman umat Islam terhadap ajaran agamanya tersebut, dalam hal ini pendapat Fuad Jabali cukup menarik untuk dicermati.[14] Dalam tulisannya ia mengatakan bahwa ajaran Islam yang sesungguhnya adalah yang diketahui oleh Allah sendiri. Karena agama Islam adalah untuk umat manusia, maka Allah menurunkan al-Qur’an yang berisi ajaran yang berasal dari-Nya. Untuk menyampaikan isi ajaran al-Qur’an ini Nabi Muhammad ditunjuk oleh Allah. Menurut Jabali, Islam yang ditampilkan oleh Nabi ini bagaimanapun merupakan telah mengalami reduksi yang pertama. Bagaimanapun sempurnanya Nabi Muhammad, ia tetap sebagai manusia yang tidak dapat menyamai kesempurnaan Allah. Karena itu, pengetahuan dan kehendaknya tentu tidak sama persis dengan apa yang dimiliki oleh Allah. Kemudian, ketika ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad itu diterima dan dilaksanakan oleh generasi berikutnya, yakni para imam mazhab, tentu apa yang diamalkan dan dikehendaki oleh Nabi berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para imam tersebut, sebab memang mereka memahami melalui dua sumber, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Dalam konteks ini, Islam mengalami reduksi yang kedua, sebab pemahaman para imam mazhab terhadap Islam tidak langsung diperoleh dari Allah sebagaimana yang dialami oleh Nabi, namun didasarkan pada al-Qur’an dan sabda dan perilaku Nabi.
Menurut Jabali, ajaran Islam yang sebenarnya adalah ajaran Nabi sebelum mengalami reduksi. Inilah yang harus ditangkap oleh umat Islam. Berbagai macam tafsiran al-Qur’an, dan berbagai macam mazhab ditulis dalam rangka menangkap kesempurnaan ajaran Islam tersebut. Manusia, sebagai makhluk yang tidak sempurna tentu tidak akan mampu menangkap sepenuhnya kesempurnaan ajaran Tuhan. Di siniliah justru letak esensi dari beragama, yakni ada dinamika, ada pencarian yang terus menerus (on going quest), dan proses menjadi yang tanpa batas (timeless process of becoming). Makna dari semua ini adalah bahwa keragaman pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam adalah sebuah keniscayaan (unavoidable) yang tidak mungkin dihindari. Keragaman ini muncul karena sangat bergantung pada pemahaman dan pengalaman yang dimiliki tentang agama Islam. Karena itu, hal tersebut harus disikapi dan disadari oleh setiap umat Islam; bahwa pemahaman dan penafsiran yang berbeda terhadap ajaran agama Islam harus dilihat sebagai rahmat Allah yang perlu disyukuri dengan cara saling menghargai dan menghormati satu sama lain.
Kasus pemahaman terhadap ajaran agama secara internal di atas dapat dianalogkan dengan pemahaman seseorang terhadap keragaman agama dan budaya yang terjadi dalam masyarakat. Bahwa berbagai kasus kekerasan bernuansa agama dan etnis lebih dikarenakan oleh kurangnya menghargai dan menghormati ajaran agama dan budaya etnis lain. Tidak adanya penghormatan dan penghargaan terhadap pihak lain ini lebih disebabkan oleh tidak adanya pengetahuan yang dimiliki dan belum adanya upaya untuk lebih mengenal tentang pihak lain tersebut. Karena itu, setiap anggota masyarakat hendaknya sadar bahwa perbedaan dalam hal apapun, baik dari segi agama, bahasa, etnis, warna kulit, dan sebagainya, merupakan sunnatullah yang perlu dikelola dengan baik. Berkaitan dengan problem yang muncul dari perbedaan cara pandang atau perspektif baik dalam hal agama atau etnis itulah, maka peninjauan ulang terhadap pola pendidikan yang selama ini dipahami dan dilakukan perlu diberikan.
Munculnya berbagai kasus kerusuhan dan kekerasan masa yang terjadi akhir-akhir ini di antaranya disebabkan oleh adanya gejala pengerasan sikap keagamaan yang tidak diimbangi oleh sikap kritis-rasional-obyektif serta penghormatan terhadap keragaman pemahaman agama oleh pemeluk lainnya. Pengerasan sikap keagamaan ini lebih diartikan pada pola perilaku beragama yang menganggap hasil pemahamannya sebagai yang paling benar dan menganggap pemahaman orang lain kurang benar, untuk tidak mengatakan salah. Gejala ini tidak hanya dijumpai pada sikap beragama pemeluk agama terhadap agama lain, namun juga terjadi pada pemeluk agama dalam satu agama. Kenyataan ini patut disayangkan mengingat terjadinya perbedaan tingkat religiusitas seseorang pada dasarnya merupakan sesuatu hal yang wajar. Sebab, being religious process ini sangat ditentukan oleh perbedaan tingkat pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh setiap orang serta setting sosial yang dihadapinya.
Gejala truth claim dan pengerasan sikap keagamaan tersebut tidak perlu terjadi ketika ada kesadaran bersama bahwa sebaik apapun hasil pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh setiap orang dalam beragama adalah bersifat dzanny, relatif, yang sama-sama menuju kepada kebenaran yang absolut, Tuhan itu sendiri. Karena itu, sikap saling menghormati dan menghargai antar pemeluk, baik itern maupun antar agama, harus ditanamkan sejak dini pada setiap orang. Proses ini sangat efektif dilakukan melalui lembaga pendidikan, baik formal, informal, maupun non-formal.

Penyakit-penyakit Pendidikan
Pada bagian ini perlu dikemukakan beberapa penyakit yang diidap dunia pendidikan, khususnya di Barat namun juga menjangkiti negara-negara berkembang. Dave Meier dalam bukunya The Accelerated Learning Handbook menyebutkan adanya beberapa penyakit pendidikan yang berkembang di Barat. Penyakit-penyakit tersebut harus segera disembuhkan jika tidak ingin menjangkiti seluruh generasi umat manusia. Ada tujuh penyakit yang diidentifikasi, yaitu puritanisme, individualisme, model pabrik, pemikiran ilmiah Barat, pemisahan pikiran dan tubuh, dominasi pria, dan barang tercetak. Ketujuh hal tersebut diberikan obatnya oleh Meier.
Penyakit puritanisme mempunyai gejala bahwa pendidikan bersifat serius, redup, kering, kaku, dan terpusat pada guru. Menurut kaum Puritan, belajar merupakan bentuk indoktrinasi, sehingga posisi pendidik sebagai orang yang ‘maha’ tahu. Untuk mengobati penyakit ini, ia berpendapat bahwa belajar adalah sesuatu yang menyenangkan, mengasuh, dan terpusat pada peserta didik. Dalam hal ini peserta didik dipandang sebagai subyek aktif yang punyai potensi, kebutuhan dan unik, sehingga cara memperlakukannya juga harus sesuai dengan karakternya.
Individualisme sebagai bentuk penyakit pendidikan yang kedua mempunyai beberapa gejala, yakni adanya kompetisi di antara peserta didik dan adanya pemisahan serta keterputusan antar mereka. Peserta didik berlomba-lomba mengejar prestasi dalam bentuk nilai untuk dirinya sendiri, sehingga mereka menganggap kawan sebagai kompetitor, bahkan ‘musuh’ yang harus dikalahkan. Hal ini berdampak pada sikap mementingkan diri sendiri dan tidak ada jiwa kerjasama. Untuk mengobati hal ini semangat kerjasama harus dikembangkan antar peserta didik. Orang harus disadarkan bahwa hasil belajar tidak akan maksimal tanpa adanya kerja kelompok dan saling membantu. Yang terpenting adalah bagaimana membudayakan dialog dan kerjasama antar pembelajar dalam sebuah komunitas belajar.
Penyakit pendidikan ketiga adalah pendidikan model pabrik. Gejala yang muncul adalah adanya uniformitas dalam pendidikan, satu ukuran diterapkan untuk semua (one-size-fits all). Segala sesuatu diurutkan, dikontrol, dikompartementalisasi, dan distandarkan oleh kantor pusat. Padahal, peserta didik bukan benda mati yang dapat disamakan keinginannya. Mereka adalah makhluk unik yang mempunyai karakter unik, yang berbeda antara satu orang dengan yang lain (individual differences). Untuk mengobati penyakit ini pendidikan harus diganti dengan sebuah smorgasbord untuk mengoptimalkan proses belajar bagi setiap orang. Tidak ada satu cara terbaik, tapi banyak. Yang terpenting adalah membawa proses pendidikan menuju hasil yang kreatif dan dinamis bagi peserta didik.
Penyakit pendidikan keempat yang harus segera disembuhkan adalah pemikiran ilmiah Barat. Gejala penyakit ini adalah adanya pendekatan terhadap proses belajar yang cenderung linear, mekanis, dan kompartemen. Gejala ini ditandai dengan adanya pemisahan dunia fisik dan non-fisik, pikiran dan tubuh secara kaku. Pandangan dunia yang mekanis juga cenderung menuju proses despiritualisasi dunia, eksploitasi alam, individualisme kompetitif yang berlebihan, dehumanisasi kehidupan dan alienasi manusia pada semua tingkatan. Untuk menyembuhkan hal ini, pendekatan pendidikan harus diubah dengan cara holistik, kontekstual, dan saling terkait. Peserta didik harus lebih banyak dilibatkan dalam proses pembelajaran sehingga pengalaman langsung lebih ditekankan. Experience is the greatest teacher. Dalam hal ini penulis terpengaruh oleh gagasan Freire tentang pendidikan,[15] bahwa pendidikan hendaknya memberikan problem untuk diatasi ketimbang memberikan jawaban kepada mereka untuk dihafalkan.
Pemisahan pikiran dan tubuh merupakan jenis penyakit kelima dalam pendidikan. Gejala dari penyakit ini adalah proses belajar yang cenderung kognitif, verbal, menekankan pada otak kiri, dan secara fisik pasif. Untuk mengobati penyakit ini penulis mengajukan hasil penelitian mutakhir tentang ketidakakuratan gagasan tentang pemisahan pikiran dan tubuh.[16] Kedua hal tersebut, pikiran dan tubuh, bukan dua entitas yang terpisah, keduanya tidak dapat dipisahkan dan terpadu. Berpikir dan bergerak saling terkait di dalam otak.
Adanya dominasi kaum pria merupakan bentuk penyakit pendidikan yang keenam. Gejala dari penyakit ini adalah munculnya penekanan pada kontrol, kecerdasan rasional, dan proses sekuensial. Peradaban Barat dan Timur secara umum bersifat paternalistik yang cenderung menekankan sensibilitas ‘laki-laki’. Hal ini ternyata berpengaruh ke semua lembaga pendidikan. Untuk menghindari adanya dikotomi gender terlalu simplistis ini, Meier menggunakan metafor hormon testosteron dan estrogen. Kedua hormon tersebut mempunyai sifat berbeda. Hormon pertama lebih banyak dijumpai pada diri pria, dan hormon kedua pada diri wanita. Hormon testosteron mempunyai sifat eksklusif, kompetitif, terlalu hirarkis, perilaku dominan, berpikir sekuensial, logis, satu arah, kaku, dan dogmatik, sementara hormon estrogen mempunyai sifat inklusif, kolaboratif, menekankan komunitas, perilaku mengasuh, berpikir simultan, intuisi, banyak arah, fleksibel, dan kondisional. Untuk mengobati penyakit dominasi pria ini proses pendidikan harus lebih ditekankan pada pola pengasuhan, kecerdasan seluruh otak, dan proses pendidikan secara simultan.
Akhirnya, penyakit ketujuh dalam pendidikan adalah berupa munculnya media cetak (printing press). Gejala penyakit ini adalah adanya konsep kata dan abstrak sebagai dasar pembelajaran. Setelah ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg pada tahun 1440-an, gejala yang muncul dalam dunia pendidikan antara lain terlalu menekankan pada kata, proses belajar yang linear, menekankan konsep abstrak ketimbang pengalaman konkret, meningkatkan otak kiri yang ‘maskulin’ ketimbang otak kanan yang ‘feminin’, dan mendukung individualisme ketimbang kolaborasi dalam pendidikan. Untuk mengobati penyakit ini pendidikan harus lebih ditekankan pada pengalaman konkret sebagai dasar pembelajaran, learning by doing, belajar dalam konteks, dan belajar secara kolaboratif..

Perlunya Paradigma Baru dalam Pendidikan Islam
Seperti disinggung sebelumnya bahwa problem pengerasan sikap keagamaan dan klaim kebenaran juga terjadi di kalangan internal umat Islam. Hal ini tentu menjadi keprihatinan bersama, sebab jangankan Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam, menjadi rahmat bagi umat Islam sendiri pun belum, sebab di antara pemeluk Islam pun belum dapat menghargai perbedaan. Melihat kondisi demikian, benar kata Abduh bahwa al-Islam mahjubun bi al-muslimin. Fenomena ini seakan menggambarkan betapa di kalangan umat Islam sendiri belum ada semangat saling menghormati, menghargai dan menerima adanya perbedaan. Selain itu, klaim kebenaran (truth claim), yakni merasa paling benar dan menyalahkan pihak lain sebagai salah dan dosa, di kalangan pemeluk Islam masih terasa. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan tantangan yang dihadapi umat Islam dalam era global yang semakin rumit dan complicated. Bagaimana bisa bersaing dengan peradaban bangsa lain jika masih disibukkan oleh persoalan intern yang tidak kunjung, dan tidak mungkin, usai.
Persoalan tersebut mengingatkan pada proses pendidikan yang selama ini dilakukan umat Islam, sebab sikap dan karakter seseorang merupakan akumulasi dari pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil dari proses belajar. Adalah menarik mencermati sebuah sajak yang ditulis oleh Dorothy Law Nolte, seperti dikutip dari Jalaluddin Rakhmat, tentang bagaimana seorang anak belajar dari kehidupannya. Tentu anak di sini bukan hanya berarti anak dalam pengertian sempit, namun lebih bermakna setiap individu pembelajar (learner). Sajak tersebut adalah sebagai berikut:
If a child lives with criticism, he learns to condemn.
If a child lives with hostility, he learns to fight.
If a child lives with ridicule, he learns to be shy.
If a child lives with shame, he learns to feel guilty.
If a child lives with tolerance, he learns to be patience.
If a child lives with encouragement, he learns to be confident.
If a child lives with praise, he learns to appreciate.
If a child lives with fairness, he learns justice
If a child lives with security, he learns to have faith.
If a child lives with approval, he learns to like himself.
If a child lives with acceptance and frienship, he learns to find love in the world.[17]
Menurut Rakhmat, orang belajar dari komunitas yang dekat dengannya. Yang paling banyak mempengaruhi pribadi seseorang adalah orang yang mempunyai makna baginya, meminjam istilah George Herbert Mead dengan significant others.[18] Ketika seseorang masih kecil, maka significant others adalah orang tua, saudara, dan orang-orang yang tinggal serumah. Richard Dewey dan W.J. Humber menyebut istilah tersebut dengan affective others, yakni orang lain yang dengan mereka seseorang mempunyai ikatan emosional. Dari merekalah seseorang membentuk konsep tentang dirinya. Senyuman, pujian, penghargaan, dan pelukan menyebabkannya menilai diri sendiri secara positif. Sebaliknya, ejekan, cemoohan, dan hardikan membuat seseorang memandang dirinya secara negatif. Dalam perkembangan selanjutnya significant others ini tentu mengalami perubahan. Hal ini karena lingkungan pergaulan mulai melebar. Dari lingkup keluarga ke sekolah dan masyarakat sekitar. Karena itu yang membentuk karakter seseorang juga sangat variatif tergantung pada lingkungan tempat orang bergaul.
Yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana proses pendidikan yang selama ini dilakukan oleh umat Islam sehingga menjadikan mereka memiliki karakter seperti di atas. Hal ini sebenarnya dapat dilacak dari konsep pendidikan yang dikembangkan oleh umat Islam. Meski harus diakui bahwa meski secara normatif-konseptual ajaran Islam sangat ideal, namun dalam pelaksanaannya, konsep tersebut belum dapat berjalan optimal dan kurang fungsional dan unworkable. Malah, pada kenyataannya banyak terjadi penyimpangan dari yang diidealkan itu.
Dengan perspektifnya masing-masing, banyak pakar memberikan definisi tentang pendidikan Islam. Yusuf al-Qardhawi,[19] misalnya, berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Sedangkan Langgulung memberikan definisi pendidikan Islam sebagai proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat.[20] Dari pengertian ini tampak bahwa dalam pendidikan Islam ada proses pemindahan nilai-nilai Islam. Tentunya nilai-nilai ini apa yang tekandung di dalam al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad para ulama.
Dari pengertian di atas terkandung adanya tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan Islam. Terbentuknya kepribadian yang utama berdasarkan nilai-nilai dan ukuran Islam merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam. Sebenarnya tujuan pendidikan Islam dapat dibedakan ke dalam dua kelompok, yakni tujuan antara dan tujuan akhir yang lebih jauh.[21] Tujuan antara menyangkut perubahan yang diinginkan dalam proses pendidikan Islam, baik berkenaan dengan pribadi anak didik, masyarakat maupun lingkungan tempat tinggalnya. Tujuan antara ini dapat diukur tingkat keberhasilannya.
Dalam kerangka tujuan antara tersebut al-Syaibani menyebutkan adanya tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan Islam.[22] Pertama, tujuan individual yang berkaitan dengan individu, pelajaran dan dengan pribadi-pribadi mereka, dan apa yang berkaitan dengan individu tersebut pada perubahan yang diinginkan pada tingkah laku, aktifitas dan pencapaiannya. Selain itu, juga berkaitan dengan berbagai persiapan mereka dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Kedua, tujuan social yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Ketiga, tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, seni, profesi dan sebagai suatu aktifitas dalam masyarakat.
Ketika membandingkan pendidikan Islam dengan pendidikan secara umum (Barat), Azyumardi Azra menyebutkan adanya tujuh karakteristik yang dimiliki pendidikan Islam.[23] Pertama, penguasaan ilmu pengetahuan. Bahwa ajaran dasar Islam mewajibkan umatnya mencari ilmu pengetahuan. Kedua, pengembangan ilmu pengetahuan. Ilmu yang telah dikuasai harus diberikan dan dikembangkan kepada orang lain. Ketiga, penekanan pada nilai-nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Keempat, penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan tersebut hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum. Kelima, penyesuaian pada perkembangan anak. Pendidikan diberikan sesuai dengan umur, kemampuan, perkembangan jiwa dan bakat anak. Keenam, pengembangan kepribadian. Pengembangan ini berkeitan dengan seluruh nilai dan system Islam, sehingga setiap peserta didik diarahkan untuk mencapai tujuan Islam. Dan ketujuh, penekanan pada amal saleh dan tanggung jawab. Setiap peserta didik diberikan semangat dan dorongan untuk mengamalkan ilmunya sehingga benar-benar bermanfaat bagi diri, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam konteks das Sein pendidikan Islam banyak dipertanyakan tentang peran yang seharusnya diemban, terutama peran yang harus dimainkan dalam masyarakat global dan plural. Yang sering terjadi justru ketika terjadi kasus kekerasan atau kerusuhan masa adalah di wilayah di mana merupakan basis masyarakat Islam. Meskipun secara teoritik konsep pendidikan Islam sangat ideal seperti diuraikan di atas, namun ketika dilihat dari segi output-nya seakan konsep ideal tersebut tidak ada gunanya, atau tidak berbekas. Kritik semacam ini wajar jika dikaitkan dengan realitas umat Islam yang menunjukkan kondisi berbeda dengan yang dikonseptualisasikan. Discrepancy antara idealitas dan realitas ini dapat dilihat dari segi minimnya penguasaan iptek di kalangan umat Islam. Selain itu, munculnya realitas perpecahan di kalangan umat Islam sendiri yang berawal dari persoalan khilafiyah dan perbedaan dalam kepentingan.
Kondisi di atas tentu saja disebabkan oleh banyak faktor. Di antara penyebab yang dapat diidentifikasi adalah adanya pemahaman sempit tentang pendidikan Islam, baik secara kelembagaan maupun muatan ilmu yang menjadi cakupannya. Secara institusional, pendidikan Islam lebih dipahami sebagai pendidikan yang dilaksanakan dalam lembaga pendidikan formal seperti sekolah ataupuan madrasah saja. Seolah-olah institusi lain seperti keluarga yang merupakan bentuk pendidikan in-formal dan masyarakat yang membentuk lembaga-lembaga pendidikan non-formal semacam majlis ta’lim, karang taruna, dan sebagainya, bukan menjadi bagian dari lembaga dalam pendidikan Islam.
Pemahaman yang keliru tentang muatan ilmu yang seharusnya diberikan dalam pendidikan Islam juga menjadi penyebab tidak fungsionalnya proses pendidikan Islam. Sebagian umat Islam beranggapan bahwa ilmu yang seharusnya dipelajari dan diajarkan dalam pendidikan Islam adalah ilmu-ilmu agama dalam pengertian sempit seperti fiqh, tafsir, dan hadis.[24] Hanya ilmu-ilmu semacam inilah yang dianggap dapat mengantarkan seseorang masuk surga. Disiplin ilmu lain seperti sains dan teknologi tidak diperhatikan karena dianggap sebagai ilmu profran yang belum tentu bisa mengantar seseorang masuk surga, bahkan lebih banyak madharatnya.
Menurut Azra pendapat sebagian umat Islam tentang supremasi ilmu-ilmu agama di atas menimbulkan dampak yang amat substansial, bukan saja pada perkembangan ilmu pengetahuan Islam, namun juga bagi peradaban Islam secara keseluruhan.[25] Secara keilmuan, perkembangan semacam ini menciptakan dikotomisasi dan antagonisasi berbagai cabang ilmu. Padahal, sebagaimana diungkapkan oleh Nasr, berbagai cabang ilmu atau bentuk-bentuk pengetahuan dipandang dari perspektif Islam pada akhirnya adalah satu. Dalam Islam tidak dikenal adanya ilmu agama dan ilmu profan. Tidak ada dikotomi ilmu dalam Islam. Yang ada hanyalah system hirarki di mana semua ilmu bermuara pada pengetahuan tentang “Yang Maha Tunggal,” Allah swt.[26]
Sebagai konsekuensi dari kenyataan di atas, bahwa ilmu yang seharusnya dipelajari hanyalah ilmu-ilmu agama saja, adalah tradisi keilmuan dalam Islam yang relatif terbatas pada pengembangan al-‘ulum al-naqliyyah saja. Lebih memprihatinkan lagi, ilmu-ilmu agama yang boleh diajarkan dan disebarluaskan adalah yang sesuai dengan mazhab yang dianutnya. Ilmu agama yang dikembangkan oleh aliran lain tidak diajarkan. Kalaupun toh diberikan, hal itu hanya untuk menunjukan supremasi mazhabnya saja. Kondisi yang demikian bukannya salah, namun hal itu tidak membrikan pemikiran alternatif yang dapat merangsang peserta didik untuk mengeksplorasi berbagai keilmuan yang ada.
Pada era globalisasi, proses pendidikan Islam seperti diuraikan tersebut semakin mendapat tantangan cukup berat, terutama jika dikaitkan dengan situasi masyarakat yang sangat majemuk (plural) yang menuntut adanya kedewasaan berpikir dan saling menghargai pendapat orang. Tampaknya jika pendidikan Islam ingin kontekstual dengan perkembangan jaman, maka paradigma pendidikan yang selama ini dikembangkan harus diubah. Menurut Mastuhu, perubahan paradigma yang dimaksud adalah mengubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah, dari hafalan ke dialog, dari pasif ke heuristic, dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi, dari mekanis ke kreatif, dari memandang dan menerima ilmu sebagai hasil final yang mapan menjadi memandang dan menerima ilmu dalam dimensi proses, dan fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, namun mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan ketrampilan.[27]
Berkaitan dengan perubahan paradigma dalam pendidikan tersebut, Djohar,[28] dengan mengutip Peter Schwarts dan James Ogilvy, menyatakan bahwa perubahan paradigma yang dimaksud dalam dunia pendidikan adalah dari simplisitas ke kompleksitas, dari hirarki ke heterarki, dari mekanik ke holografik, dari determined ke indetermined, dari linearly causal ke mutual causal, dari assembly ke morfogenesis, dan dari obyektif ke perspektif.
Sementara itu, untuk menghadapi masyarakat modern yang semakin kompleks dan plural agaknya paradigma pendidikan yang ditawarkan oleh UNESCO perlu dicermati oleh para pelaku dan pemerhati pendidikan Islam. Paradigma yang ditawarkan tersebut adalah bahwa proses pendidikan bukan hanya mengarahkan dan membimbing peserta didik untuk learning to think (berpikir), learning to do (berbuat), dan learning to be (menjadi) saja, namun proses pendidikan juga hendaknya dapat membentuk peserta didik untuk learning to live together (hidup bersama) dengan orang lain.[29] Tiga paradigma pertama cenderung mengoptimalkan peserta didik sebagai individu, baik yang menyangkut ranah kognitif, afektif, maupun psiko-motoris. Sedangkan paradigma yang keempat adalah upaya mengoptimalkan potensi social. Bahwa manusia hidup tidak sendirian. Di sekitarnya banyak orang yang juga mempunyai kedudukan yang sama di dunia meskipun berbeda jenis kelamin, agama, warna kulit ataupun etnis. Inilah sebenarnya menjadi tantangan paling serius bagi pendidikan Islam pada era globalisasi.
Ketika proses pendidikan Islam sudah diarahkan untuk membentuk individu muslim yang mempunyai kesalehan individual dan kesalehan sosial, maka berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam relatif mudah dipecahkan dan kompleksitas persoalan modern beserta masyarakat majemuknya dapat dijadikan sebagai sebuah potensi yang harus dikelola dengan baik. Tentu semua ini sepenuhnya kembali pada umat Islam sendiri, mau tidak merubah pola pikir yang selama ini sudah mentradisi secara turun-temurun.

Pendidikan Islam dalam Masyarakat Multikultural dan Multirelijius
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Parathazham dari Jnana-Deepa Vidyapeeth, India, tentang komunalisme dan konflik antaragama, ada tiga kesimpulan yang dapat diperoleh. Pertama, kebanyakan kasus konflik antar umat beragama terjadi karena diprovokasi dan disulut oleh para politisi demi kepentingan suara dalam pemilihan umum. Kedua, semakin terdidik umat beragama, semakin terbuka dan toleran sikap mereka. Ketiga, semakin mereka mengenal agama-agama lain, semakin terbuka dan toleran sikap umat beragama.[30] Meskipun penelitian itu skopnya terbatas, namun ketiga kesimpulan yang dihasilkan cukup menarik untuk dicermati, terutama untuk masyarakat Indonesia yang kondisinya tidak jauh berbeda dengan di India yang sama-sama majemuk.
Kesimpulan yang pertama menunjukkan betapa sulitnya memisahkan persoalan agama dengan non-agama, seperti politik. Menggunakan baju agama dipandang sebagai cara paling efektif untuk mencari dukungan politik di tingkat akar rumput (grassroot) daripada menggunakan politik murni, terlebih dalam masyarakat yang tingkat pendidikan dan wawasannya relatif rendah. Sementara itu, yang dapat dipelajari dari kesimpulan yang kedua adalah bahwa hanya masyarakat yang kurang terdidiklah yang relatif mudah terprovokasi dan terjerumus ke dalam tindakan kekerasan yang bernuansa SARA, sementara bagi masyarakat yang terdidik tidak mudah terperosok ke dalam konflik-konflik tersebut. Namun demikian, tidak berarti semua orang yang terdidik bukan sebagai penyebab munculnya kasus-kasus kerusuhan berbaju agama. Malah, sebagaimana kesimpulan yang pertama, orang terdidik yang mempunyai kepentingan politik tertentu justru sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya kasus-kasus kerusuhan. Karena itu, yang dimaksudkan dengan kesimpulan yang kedua tentu saja bagi mereka yang mempunyai kesadaran publik akan pentingnya hidup secara damai dengan “others”, baik dari segi agama, budaya, etnis, ataupun bahasa. Adapun kesimpulan yang ketiga menunjukkan bahwa kasus kerusuhan terjadi karena tidak adanya pengetahuan dan pengalaman tentang others yang manjadi encounter-nya. Dengan demikian, yang terjadi adalah klaim-klaim kebenaran (truth claims), paradigma minna-minhum, al-ana dengan al-akhar. Seakan-akan kebenaran yang sama-sama diperoleh melalui penalaran dapat dipilah dengan Aristotelian logic, hitam-putih, padahal ia bersifat nisbi dan dapat didialogkan.
Kasus lain yang cukup menarik untuk dijadikan sebagai bahan perbandingan adalah pendirian tempat ibadah (masjid) di Rochester dan Brighton serta pendirian Islamic Center di San Fransisco, USA.[31] Kasus pendirian masjid di daerah Rochester gagal karena mendapat tantangan cukup keras dari masyarakat sekitar yang mayoritas termasuk kelas menengah ke bawah, sementara pendirian masjid di Brighton berhasil karena masyarakat sekitarnya yang nota bene kelas menengah ke atas dengan tingkat pendidikan relatif maju dibandingkan dengan masyarakat di wilayah Rochester welcome terhadap pendirian tempat ibadah tersebut. Sedangkan pendirian Islamic Center di San Fransisco yang berdampingan dengan Persatuan Gereja Metodis menjadi kenyataan karena adanya pendekatan dan dialog antar panitia pembangunan dari kedua tempat ibadah tersebut. Makna dari semua ini adalah bahwa keharmonisan hubungan antar umat beragama relatif cepat terwujud ketika sebuah masyarakat cukup terdidik dan adanya komunikasi serta dialog antar berbagai pihak yang berbeda baju.
Nah, berpijak pada beberapa kasus di atas, maka proses pendidikan mempunyai pengaruh cukup efektif dalam mengerem, untuk tidak mengatakan mengurangi dan bahkan menghentikan, berbagai kasus kerusuhan dan kekerasan masa yang bernuansa SARA dalam masyarakat plural seperti halnya Indonesia. Paradigma pendidikan keempat UNESCO, yakni learning to live together, seperti telah disinggung sebelumnya, perlu segera disosialisasikan kepada seluruh masyarakat melalui proses pendidikan, baik lembaga-lembaga sekolah maupun luar sekolah.
Peran pendidikan yang paling penting dilakukan adalah memberikan bekal kepada peserta didik dalam hal kerangka berpikir (mode of thought), yakni berpikir kritis, obyektif, dan rasional. Karena itu, pernyataan Fazlur Rahman tentang perlunya berpikir filosofis perlu dicermati, yakni untuk melatih berpikir kritis-analitis dan menjadi alat intelektual untuk pengembangan berbagai keilmuan termasuk agama.[32] Berkaitan dengan pendapat ini Amin Abdullah memberikan komentar bahwa yang dimaksud oleh Rahman tersebut adalah perlunya metodologi berpikir, yakni berpikir kritis-analisis dan sistematis. Ia lebih mencerminkan proses berpikir, bukan sekedar produk berpikir.[33]
Untuk mencapai kerangka berpikir kritis-analitis seperti yang diharapkan oleh Rahman dan Amin tersebut, maka setiap komponen dalam proses pendidikan harus dipersiapkan secara terpadu, seperti kurikulum, tenaga pengajar, dan metode pembelajarannya. Tentu saja masih ada komponen pendidikan lain yang perlu dikaji juga, seperti peserta didik, media ataupun lingkungan pendidikan. Namun, tulisan ini mencoba membahas peran dan fungsi dari ketiga komponen yang pertama dalam pendidikan tersebut, dengan alas an bahwa ketiganya menjadi factor penting dalam pembentukan sikap dan karakter peserta didik.
Dari segi kurikulum, sejak dini peserta didik harus diajarkan dan dibiasakan tidak hanya dengan materi pelajaran yang bersifat normatif-doktrinal-deduktif, namun juga materi yang bersifat historis-empiris-induktif. Hal ini mengindikasikan perlunya perimbangan antara materi yang berupa teks dan konteks. Bahwa teks berisi ajaran normatif yang masih bersifat umum, sementara konteks berupa realitas empirik-faktual yang bersifat partikular. Persoalan seringkali muncul justru ketika teks berhadapan dengan realitas partikular yang heterogen tersebut. Karena itu, materi pelajaran justru harus berisi realitas yang dihadapi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu, meskipun materi yang diberikan memuat teks-teks normatif, namun ia juga harus berisikan kasus-kasus konkrit di masyarakat sehingga anak sadar bahwa ia hidup dalam situasi nyata yang penuh perbedaan.
Kurikulum yang diajarkan hendaknya memasukkan keragaman agama dan budaya. Untuk muatan keragaman budaya, harus disadari tentang hakikat dari budaya tersebut. Bahwa ia didefinisikan sebagai berbagai kegiatan sosial dari sebuah kelompok yang dipelajari, dirasakan bersama, dan ditransmisikan. Ia merupakan bagian yang dibuat manusia dari lingkungan untuk memuaskan semua kebutuhan dasar dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup dan adaptasi terhadap lingkungan.[34] Sementara itu, Cushner, McClelland, dan Safford (1993) menguji banyak definisi budaya dan mengidentifikasi adanya tiga tema budaya, yaitu: 1. budaya sebagai fenomena dinamis dan dikonstruk secara sosial; 2. budaya sebagai sesuatu yang di-share oleh sebuah kelompok yang memutuskan melalui sebuah proses interaksi tentang ide, sikap, makna, dan hirarki apa yang dimiliki oleh kelompok tersebut; dan, 3. budaya sebagai sejumlah ide yang disampaikan kepada generasi muda sebagai alat untuk menjaga generasi selanjutnya”[35] Dengan definisi tersebut, budaya terbentuk dan muncul berdasarkan kesepakatan bersama dari suatu masyarakat. Karena itu, keragaman budaya harus disadari dan diterima oleh setiap pengelola atau komunitas pendidikan, sehingga sejak dini anak sudah terbiasa dengan perbedaan dan saling menghargai perbedaan itu.
Meskipun semua kebudayaan dari semua bagian dunia yang berbeda mempunyai karaketristik umum termasuk bahasa, pola komunikasi, bentuk-bentuk ekspresi estetika, dan sistem-sistem sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan, namun ada banyak kebudayaan di dalam tiap kebudayaan. Pasch, Sparks-Langer, Gardner, Starko, dan Moody (1991) membedakan antara macroculture dengan microculture. Makrokultur didefinisikan sebagai budaya yang dominan, seperti kalau di USA ada Eropa Anglo-Saxon, sementara mikrokultur diartikan sebagai kebudayaan khas yang dimiliki oleh kelompok orang yang ada dalam negara tersebut. Kelompok orang pembentuk mikrokultur tersebut dibentuk berdasarkan ras, agama, atau kebangsaan yang sama dengan budaya yang sama. Untuk kasus di Amerika, warga Amerika-Afrika, Amerika-Yahudi, dan orang-orang Latin termasuk dalam kelompok mikrokultur. Sebagai bahan perbandingan, meskipun tidak persis sama dan masih debatable, di Indonesia ada budaya yang disepakati secara nasional, tetapi ada budaya yang tumbuh dan berkembang dalam setiap etnis yang satu sama lain berbeda.
Sebagai bangsa dengan masyarakat yang pluralistik secara budaya atau multikultural, di mana kelompok-kelompok ras dan etnik yang berbeda didorong untuk menjaga kebudayaannya sendiri di dalam kebudayaan yang lebih luas, Indonesia mempunyai potensi, sekaligus, tantangan, untuk membina keragaman budaya tersebut agar dapat dijadikan sebagai kekuatan bangsa. Dalam hal ini, lembaga pendidikan mempunyai peran penting dalam mewujudkan integrasi bangsa dan pemahaman bersama tentang kemajemukan tersebut. Istilah melting pot bisa digunakan untuk menggambarkan proses kelompok-kelompok etnis yang berbeda untuk menyerahkan karakteristik kebudayaan mereka menjadi warga Indonesia baru. Pluralisme budaya menerima, mendorong, dan menghormati adanya perbedaan budaya. Sementara orang tetap menjaga identitas khasnya, mereka juga mengadopsi sifat-sifat kebudayaan yang lebih luas. Ada keseimbangan antara persamaan dan perbedaan budaya, dan warisan dilihat sebagai sumber kekuatan bangsa. Mengenai peran pendidikan dalam proses ini, Banks (1993) menyarankan bahwa tujuan utama yang diperlukan untuk merubah seluruh lingkungan pendidikan adalah agar lingkungan tersebut mengembangkan penghargaan terhadap jangkauan kelompok budaya yang luas dan menjamin kesempatan pendidikan yang sama bagi semua kelompok mikrokultur.
Berkaitan dengan peran sekolah, Cushner et al., menyatakan bahwa sekolah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan anak-anak dan generasi muda dari berbagai macam latar belakang. Pada saat yang sama, sekolah harus menyiapkan generasi muda dengan perspektif, sikap, pengetahuan, dan ketrampilan yang akan memungkinkan mereka berinteraksi secara efektif, memuaskan kebutuhan mereka sendiri, serta bekerja dengan kelompok lain untuk mengatasi persoalan umum yang dihadapi masyarakat global yang saling bergantung satu sama lain. Pada dasarnya, para guru sendiri mau tidak mau akan menghadapi orang-orang yang tidak sama dengan mereka sendiri. Perbedaan ini dapat berupa perbedaan budaya, namun juga perbedaan dalam hal etnisitas, kelas, ras, agama, gender, kekhasan, dan pola hidup serta mobilitas.[36] Karena itu, hal ini menuntut adanya kesadaran dan kedewasaan guru untuk menghadapi adanya keragaman di luar dirinya.
Berkaitan dengan program pendidikan yang menekankan pemahaman dan pertumbuhan interkultural, menurut Martorella, pendidikan bisa memadukan pengalaman-pengalaman berikut, yakni mempelajari bagaimana dan di/ke mana memperoleh tujuan, informasi yang akurat mengenai kelompok budaya lain; mengidentifikasi dan menguji pandangan (account) yang positif dari kelompok atau individu yang berbudaya lain; mempelajari toleransi terhadap keragaman melalui eksperimentasi di sekolah dan ruang kelas dengan kebiasaan dan praktek alternatif; menghadapi, di mana mungkin, pengalaman positif dari tangan pertama dengan kelompok budaya yang berbeda; mengembangkan perilaku empatik melalui bermain peran dan simulasi; dan mempraktekkan menggunakan “kaca mata perspektif”, yaitu, dengan melihat sebuah peristiwa, kurun sejarah, atau isu melalui perspektif dari kelompok budaya lain.
Berkaitan dengan pendapat Martorella tersebut, pendidik dituntut untuk secara tepat memilih strategi pembelajaran dalam komunitas yang majemuk. Peserta didik harus dibiasakan melihat persoalan dari berbagai pendekatan dan perspektif. Ia harus dapat menjelaskan dan memberikan pengertian bahwa perbedaan dan keragaman merupakan hal yang biasa dan sebuah keniscayaan, upaya penyeragaman merupakan bentuk pengingkaran terhadap sunnatullah. Karena itu, pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran tidak monolitik; bahwa seolah-olah kebenaran pendapat hanya miliknya, seolah pendapat pihak lain yang kebetulan berbeda pendekatan adalah keliru dan sesat. Strategi pembelajaran ini harus diterapkan ketika guru membahas persoalan keagamaan maupun persoalan budaya.
Karena peserta didik mulai dari sekolah tingkat dasar sampai pendidikan tinggi mempunyai tingkat berpikir yang berbeda, maka strategi pembelajaran yang diterapkan pun berbeda, yakni harus disesuaikan dengan tingkat pemikiran anak. Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah “khatibu al-nas ‘ala qadri ‘uqulihim,” berbicaralah kepada suatu kaum (bangsa, kelompok masyarakat, audiens), sesuai dengan kadar kemampuannya. Karena itu, guru harus sadar dan tahu betul dengan audiens yang sedang dihadapi. Sebab, materi pelajaran dan strategi pembelajaran sebaik apapun tidak akan berhasil dan efektif jika tidak disertai dengan sumber daya manusia, yakni guru, yang memadai. Guru harus mempunyai visi dan misi yang jelas dalam mendidik anak dalam konteks masyarakat plural.
Akhirnya, pada bagian ini perlu dikemukakan hasil penelitian tentang pendidikan multikultural yang menunjukkan adanya lima wilayah persoalan besar dalam pendidikan dengan konteks multikultural.[37] Meskipun penelitian ini dilakukan dalam konteks masyarakat Amerika, namun secara substantif hasilnya dapat dijadikan sebagai pijakan awal untuk menghadapi problem serupa di Indonesia. Pertama, adanya keyakinan guru tentang peserta didik yang menyatakan bahwa para guru sering menganggap murid-murid Amerika-Afrika, warga Amerika keturunan Afrika, tidak mampu mencapai standar akademik yang tinggi. Sikap negatif dari guru tersebut dapat menyebabkan prestasi siswa dari warga keturunan minoritas dan kesempatan pendidikan mereka lebih rendah.[38]
Kedua, yang merupakan masalah krusial dalam pendidikan multikultural, yaitu berkaitan dengan isi dan bahan pelajaran (subject matter) yang digunakan. Perayaan hari-hari besar dan pahlawan-pahlawan etnis yang diselenggarakan oleh mikrokultur mempunyai peran dan pengaruh cukup besar dalam pendidikan multikultural. Alih-alih, penekanan multikultural perlu menjadi bagian yang terus dilaksanakan dalam kurikulum reguler.[39] Dalam penelitian ini ditemukan bahwa perilaku peserta didik dalam menghadapi perbedaan sangat dipengaruhi oleh isi materi pelajaran yang mereka pelajari di lembaga pendidikan. Karena itu, materi yang berkaitan dengan citra realistik tentang kelompok-kelompok etnis dan ras yang ada di Amerika harus diberikan dalam bentuk yang konsisten, natural, dan terpadu”.[40]
Ketiga, strategi atau pendekatan dalam pembelajaran yang tepat dapat menjamin keberhasilan dalam pendidikan multikultural. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa penggunaan metode mengajar yang tepat tidak akan mendiskriminasi suatu kelompok. Proses pembelajaran yang lebih melibatkan keaktifan belajar dari peserta didik yang berbeda latar belakang ternyata memberikan pengaruh positif daripada pola penyeragaman perlakuan terhadap mereka. Pola pembelajaran yang cenderung satu arah (monolitik) dari pihak guru justru menjadikan peserta didik jenuh dan kurang bisa menghargai pendapat temannya yang kebetulan berbeda dengan dirinya.
Keempat, wilayah yang berkaitan dengan setting pendidikan. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa meskipun (di Amerika) ada segregasi sekolah-sekolah berdasarkan warna kulit, namun kebanyakan siswa yang berbeda warna kulit mendaftar di sekolah-sekolah tersebut. Bahkan muncul fenomena menarik, bahwa mereka yang sekolah dalam setting yang disegregasi mempunyai kemampuan rendah.[41] Hal ini bisa jadi disebabkan oleh tidak adanya persaingan antar peserta didik, sehingga need for achievement-nya rendah.
Dan, wilayah yang terakhir, kelima, adalah pendidikan guru yang akan menangani dan berkecimpung dalam pendidikan multikultural perlu dilakukan, misalnya dengan pendidikan pre-service bagi mereka.[42] Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa para guru yang menerima sedikit informasi mengenai pendidikan multikultural mengekspresikan bias-bias mereka dengan cara yang diskriminatif melalui persepsi yang mereka miliki tentang siswa-siswa tanpa menyadari bahwa praktek yang mereka lakukan bisa menyebabkan perbedaan dalam sikap, penampilan dan prestasi para siswa.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, untuk konteks Indonesia di mana masyarakatnya sangat heterogen baik dari segi agama maupun budaya, maka perlu dilakukan upaya secara terpadu dan sistematis melalui lembaga pendidikan sebagai media paling efektif untuk mengelola (memanaj) keragaman tersebut agar menjadi kekuatan. Langkah ini, pada dasarnya tidak hanya di lembaga-lembaga pendidikan, namun juga proses pendidikan di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga dan masyarakat. Untuk konteks lembaga pendidikan, proses ini harus dilakukan dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi, secara sistematis, terpadu dan berkelanjutan. Sebab, perlakuan yang keliru terhadap kemajemukan itu dapat berakibat fatal bagi kelangsungan hidup bangsa, terlebih dalam era global di mana batas territorial tidak lagi menjadi hambatan untuk berinteraksi dan berkomunikasi antar anggota masyarakat dengan berbagai latar belakang dalam satu negara.

Kata Akhir
Berdasarkan uraian di atas, kesadaran akan pluralitas harus dimiliki oleh setiap orang, khususnya para pelaku pendidikan di lembaga pendidikan formal. Idealnya, proses pendidikan harus mampu membawa setiap orang mempunyai kesadaran bahwa ia hidup dalam konteks plural. Ketiadaan kesadaran ini hanya akan membuat orang bersikap dan bertindak secara fragmental untuk kepentingan dirinya, padahal ia hidup bersama orang lain yang juga punya banyak kepentingan. Di sinilah tantangan riil yang harus dijawab oleh proses pendidikan. Karena itu, ada beberapa agenda yang bisa dilakukan oleh dunia pendidikan. Pertama, perlunya merubah cara pandang proses pendidikan, bahwa pendidikan bukan media indoktrinasi untuk mengikuti keinginan pendidik. Peserta didik harus diberikan berbagai alternasi yang disertai dengan berbagai argumen sehingga mereka bisa memilih alternatif sesuai dengan minat dan potensinya. Kedua, sebagai konsekuensi dari yang pertama, perlu diciptakan sistem yang mendukung pencapaian misi pendidikan pluralis, seperti kurikulum yang berakar dari konteks praktis, strategi dan metode pembelajaran yang mencerahkan peserta didik untuk hidup dalam konteks masyarakat majemuk, dan pendidik yang melek wacana dan selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Hal ini perlu dilakukan sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Ketiga, perlunya merubah paradigma pendidikan yang selama ini dianut oleh umat Islam, sebab paradigma yang selama ini dijalankan ternyata lebih membentuk manusia muslim yang egois, close-minded, dan berorientasi pada kesalehan individual. Karena itu, menghadapi kehidupan di tengah masyarakat yang majemuk ini, selain pendidikan dengan paradigma to think, to do, dan to be, juga perlu paradigma to live together. Dengan paradigma ini, diharapkan lahir generasi yang memiliki semangat menghormati sesama, menghargai perbedaan pendapat, menyadari eksistensi dirinya sebagai ‘abdullah dan khalifatullah, dan akhirnya dapat menjadikan Islam benar-benar sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’lam bi al-sawab.

Kotagede, 6 Mei 2002
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

-------, Dinamika Islam Kultural Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Bandung: Mizan, 2000.

-------, “Kajian Ilmu Kalam,’’ dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed.), Problem dan Prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: Ditbinpertais Depag, 2001.

Andito (ed.), Atas Nama Agama Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik, Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.

Al-Attas, Syed Muhammad al-Naquib, Konsep Pendidikan dalam Islam, terj. Haidar Baqir, Bandung: Mizan, 1992.

Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1998.

-------, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.

Banks, J. “Multicultural Education for Young Children: Racial and Ethnic Attitudes and their Modification,” dalam B. Spodek (ed.), Handbook of Research on the Education of Young Children, New York: Macmillan, 1993.

Bennett, C.I., Comprehensive Multicultural Education: Theory and Practice, Boston: Allyn & Bacon, 1986.

Cushner, K., A. McClelland, & P. Safford, Human Diversity and Education: An Integrative Approach, New York: McGraw-Hill, 1993.

Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia, Yogyakarta: IKIP, 1999.

Geertz, Clifford, The Religion of Java, New York: The Free Press of Glencoe, 1960.

Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1980.

Jabali, Fuad, “Islam Klasik dan Kajian Islam di Masa Depan,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (eds.), Problem dan Prospek IAIN Antologi pendidikan Tinggi Islam, Jakarta: Ditbinpertais Depag, 2001.

Kindsvatter, Richard, William Wilen, dan Margaret Ishler, Dynamics of Effective Teaching, New York: Longman, 1996.

Lewis, Bernard, The Jews of Islam, Princeton: Princeton University Press, 1987.

Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.

Oakes, J. Keeping Track: How Schools Structure Inequality, New Haven, CT: Yale University Press, 1985.

Pranowo, M. Bambang, Islam Faktual Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998.

al-Qardhawy, Yusuf, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1980.

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tardition, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982.

Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.

Redfield, R., Peasant Society and Culture: An Anthropological Approach to Civilization, Chicago: The University of Chicago Press, 1956.

Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan dan Anteve, 1999.

al-Syaibani, Omar Mohammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Soedjatmoko, “Pengaruh Pendidikan Agama terhadap Kehidupan Sosial,” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam No. 2, Vol. I, 1991: 22-8.

Tilaar, H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1998.

Von Grunebaum, G.E. (ed.), Unity and Variety in Muslim Civilization, Chicago: The University of Chicago Press, 1955.

Woodward, Mark R. (ed.), Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung: Mizan, 1999.

Zamroni, “Pembaharuan Pendidikan Menuju Mengembangkan Paradigma Pendidikan Islam,” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam No. 2, Vol. I, 1991: 36-47.

Zeichner, K. Educating Teachers for Cultural Diversity, East Lansing, MI: National Center for Research in Teacher Learning, 1992.



[1] Artikel ini merupakan revisi dari makalah yang pernah dipresentasikan pada Dialog Publik “Rekonsientisasi Pendidikan Pluralis dalam Zona Mabuk Teknologi” yang diselenggarakan oleh Kelompok Studi Ilmu Pendidikan (KSiP) Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga pada tanggal 7 Mei 2002.
[2] Dilahirkan di Karanganyar pada tanggal 10 Maret 1973. Alumni Fakultas Tarbiyah (Jurusan PAI) pada tahun 1996 ini melanjutkan studi S2 di PPs IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1997 dengan mengambil Program Studi Pendidikan Islam, Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam dan lulus tahun 1999. Sejak tahun tersebut, ia melanjutkan studi di Program Doktor di lembaga yang sama. Saat ini ia sebagai Dosen Fakultas Tarbiyah dan Sekretaris Program Studi Pendidikan Islam Program Pascasarjana (PPs) IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[3] M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multirelijius, Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Filsafat yang disampaikan di hadapan Rapat Senat Terbuka IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 13 Mei 2000, 2.
[4] Nurcholish Madjid, “Mencari Akar-akar Islam bagi Pluralisme Modern: Pengalaman Indonesia,” dalam Mark R. Woorward (ed.), Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1999), 99-102.
[5] Ibid., 56.
[6] Mark R. Woodward (ed.), Jalan Baru Islam Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia (Bandung: Mizan, 1996), 103.
[7] Amin Abdullah, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).
[8] M. Dawam Rahardjo, “Islam Faktual: Antara Tradisi Besar dan Tradisi Kecil,” dalam M. Bambang Pranowo, Islam Faktua Antara Tradisi dan Relasi Kuasa (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998)l, vii.
[9] R. Redfield, Peasant Society and Culture: An Anthropological Approach to Civilization (Chicago: The University of Chicago Press, 1956), 70.
[10] Clifford Geertz, The Religion of Java (New York: The Free Press of Glencoe, 1960).
[11] M. Bambang Pranowo, Islam Faktual Antara Tradisi dan Relasi Kuasa (Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998), 3.
[12] G.E. Von Grunebaum (ed.), Unity and Variety in Muslim Civilization (Chicago: The University of Chicago Press, 1955).
[13] M. Dawam Rahardjo, “Islam Faktual”, viii,
[14] Lihat Fuad Jabali, “Islam Klasik dan Kajian Islam di Masa Depan,” dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (eds.), Problem dan Prospek IAIN Antologi pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Ditbinpertais Depag, 2001), 151-68.
[15] Karya yang digunakan Meier adalah Pedagogy of the Oppressed karya Paulo Freire.
[16] Penelitian yang dilakukan oleh Carla Hannaford dalam bukunya Smart Moves: Why Learning is Not All In Your Head.
[17] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), 102.
[18] Ibid., 101.
[19] Yusuf al-Qardhawy, Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan al-Banna, terj. Bustani A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 39.
[20] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran tentang Pendidikan Islam (Bandung: al-Ma’arif, 1980), 94.
[21] Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1998), 6-7.
[22] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, terj. Hasan Langgulung (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 399.
[23] Azyumardi Azra, Esei-esei, 12-4.
[24] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), ix.
[25] Ibid., xii.
[26] Seyyed Hossein Nasr, Islamic Science: An Illustrated Study (London, 1976), 13-4.
[27] Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 49.
[28] Djohar, Reformasi dan Masa Depan Pendidikan di Indonesia (Yogyakarta: IKIP, 1999), 211-2.
[29] H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi, 69.
[30] Sebagaimana dikutip oleh J.B. Banawiratma dalam Andito (ed.), Atas Nama Agama Wacana Agama dalam Dialog “Bebas” Konflik (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), 99.
[31] Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Mizan dan Anteve, 1999), 121-2.
[32] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tardition (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1982), 157-8.
[33] Amin Abdullah, “Kajian Ilmu Kalam,’’ dalam Komaruddin Hidayat dan Hendro Prasetyo (ed.), Problem dan Prospek IAIN Antologi Pendidikan Tinggi Islam (Jakarta: Ditbinpertais Depag, 2001), 241.
[34] C.I. Bennett, Comprehensive Multicultural Education: Theory and Practice (Boston: Allyn & Bacon, 1986), 7.
[35] K. Cushner, A. McClelland, & P. Safford, Human Diversity and Education: An Integrative Approach (New York: McGraw-Hill, 1993), 56.
[36] Ibid., 23.
[37] G. Ladson-Billing sebagaimana dikutip oleh Kindsvatter, 120.
[38] Hasil penelitian disertasi Lipman seperti dikutip oleh Kindsvatter, 120.
[39] Hasil penelitian yang dilakukan oleh G. Ladson-Billings tentang belajar dari hasil penelitian pendidikan multicultural sebagaimana dikutip oleh Richard Kindsvatter, William Wilen, dan Margaret Ishler, Dynamics of Effective Teaching (New York: Longman, 1996), 120.
[40] J. Banks, “Multicultural Education for Young Children: Racial and Ethnic Attitudes and their Modification,” dalam B. Spodek (ed.), Handbook of Research on the Education of Young Children (New York: Macmillan, 1993), 253.
[41] J. Oakes, Keeping Track: How Schools Structure Inequality (New Haven, CT: Yale University Press, 1985).
[42] K. Zeichner, Educating Teachers for Cultural Diversity (East Lansing, MI: National Center for Research in Teacher Learning, 1992).

Tidak ada komentar: