Kamis, Juli 26, 2007

pendidikan islam antrirealitas?

PENDIDIKAN ISLAM ANTI REALITAS?
Perlunya Transformasi Pendidikan Islam Profetik[1]
Muqowim[2]

Preliminary Remark
Tantangan modernitas yang semakin complicated dan massive agaknya belum sepenuhnya disadari dan direspon oleh kalangan praktisi dan pemerhati pendidikan Islam. Untuk menyebut beberapa tantangan modernitas adalah pluralisme agama dan etnik, globalisasi, radikalisme agama, dan konflik bernuansa SARA. Ada kesan, praktek dan proses pendidikan Islam steril dari konteks realitas, sehingga tidak mampu memberikan kontribusi yang jelas terhadap berbagai problem yang muncul. Bahkan, muncul kritik yang lebih pedas lagi terhadap pola pendidikan Islam yang selama ini berjalan, bahwa merebaknya berbagai konflik dan kekerasan bernuansa agama antara lain merupakan pengaruh dan andil dari proses dan praktek pendidikan agama yang berjalan sekian lama sehingga sudah terinternalisasi dalam diri peserta didik. Praktek pendidikan Islam yang dianggap misleading ini bersumber dari belum adanya pengembangan konsep dan implementasi pendidikan Islam dalam era kontemporer. Pendidikan Islam banyak mengalami reduksi, baik dari aspek makna maupun prakteknya.
Tidak berdayanya (powerlessness) pendidikan Islam tersebut menjadi keprihatinan bersama, mulai dari pakar dan praktisi pendidikan di lembaga pendidikan formal, tokoh masyarakat hingga orang tua di rumah. Pendidikan (khususnya agama) dianggap tidak cukup efektif memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah. Karena itu, banyak gagasan muncul tentang perlunya melakukan interpretasi dan orientasi ulang, termasuk melakukan perubahan paradigma dari praktek pendidikan yang selama ini berjalan. Perubahan paradigma tersebut antara lain berkaitan tentang pendidikan yang harus diselenggarakan dengan pendekatan akademis, bukan birokratis, pendidikan harus berorientasi mencetak peserta didik bermental mencari ilmu, bukan menunggu ilmu, peserta didik harus dididik mencari orang aktif, bukan pasif, pendidikan harus berorientasi pada peserta didik (student-oriented), bukan pendidik atau negara (teacher and state-oriented), manusia harus dilihat secara antroposentris yang teosentrik, bukan hanya antroposentris, pengelolaan pendidikan tidak boleh tersentralisasi, tapi harus terdesentralisasi, pendidikan agama tidak boleh disampaikan secara dogmatis saja, dan pendidikan harus bersifat inklusif, integralistik dan holistik.[3]
Yang jelas, pola pendidikan Islam yang selama ini berjalan harus diubah menjadi pola lain yang lebih membumi terhadap realitas empirik. Pola baru ini bisa disebut sebagai sebuah pendidikan Islam transformatif. Terma transformatif mengimplikasikan perlunya melakukan pergeseran, atau bahkan, merubah dari pola pendidikan Islam konvensional, menjadi pola baru yang mampu menjawab tantangan zaman.[4] Hanya saja, perubahan ini tidak akan berjalan efektif jika dilakukan secara ad hoc dan fragmental, namun harus secara integrated dan holistik, dalam arti bahwa peninjauan harus dilakukan secara menyeluruh terhadap aspek-aspek dalam pendidikan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan ulasan secara utuh terhadap persoalan perubahan paradigma, namun hanya sebatas sebagai bahan awal untuk mengurai benang kusut problem pendidikan Islam, khususnya di Indonesia.

State of the Arts: Praktek Pendidikan Islam
Munculnya banyak kritikan yang ditujukan kepada pendidikan Islam oleh para pemerhati dan praktisi pendidikan belakangan ini lebih dikarenakan ia dianggap tidak mampu mencetak individu muslim yang diidealkan, antara lain yang berakhlak mulia, beriman kuat, mempunyai ketrampilan sosial tinggi, dan ready to work. Selain itu, dari sisi outcome, alumni lembaga pendidikan Islam juga mempunyai kemampuan rata-rata atau bahkan lebih rendah jika dibandingkan dengan outcome lembaga pendidikan non-Islam. Lebih jauh, kritik juga ditujukan pada beberapa komponen pendidikan yang dianggap kurang memadai, seperti kurikulum yang out-of-date dan tidak kontekstual, tenaga kependidikan yang kurang qualified, sarana dan prasarana yang kurang mendukung, dan lemahnya political bargaining dalam menentukan nasib lembaga pendidikan Islam sehingga dalam setiap pengambilan keputusan tentang legislasi pendidikan, pendidikan Islam relatif dinomorduakan.[5] Berbagai kritik dan evaluasi tersebut pada dasarnya merupakan bentuk introspeksi terhadap realitas pendidikan Islam yang masih ada ketimpangan yang sangat tajam antara das Sein dengan das Sollen, antara is dan ought-to. Pendidikan Islam yang diharapkan mampu mencetak pribadi muslim yang optimal secara fisik, ruhani, intelektual dan sosial ternyata masih jauh panggang dari api.[6] Di samping persoalan tersebut, adanya fenomena dualisme sistem pendidikan juga merupakan persoalan akut yang terjadi hampir di semua Dunia Islam.[7] Problem dualisme sebenarnya merupakan manifestasi cara pandang terhadap ilmu yang masih dikotomik, dimana ada ilmu agama di satu sisi dan ada ilmu umum di sisi lain.[8] Ada ilmu agama yang dianggap dapat ‘mengantarkan manusia menuju surga’ dan ada ilmu umum yang dianggap dapat ‘menghambat orang meraih surga’.[9] Kondisi yang demikian sebenarnya sudah ada sejak peradaban Islam mengalami era kemunduran secara politik dan intelektual yang ditandai dengan adanya stagnasi berpikir di kalangan umat Islam.[10]
Sebenarnya, ketika berbicara tentang terma pendidikan Islam ada persoalan serius yang perlu dicermati dalam praktek. Hal ini terkait dengan makna pendidikan Islam yang mengalami reduksi. Paling tidak reduksi ini dapat dilihat dari beberapa sudut. Pertama, secara kelembagaan, selama ini pendidikan Islam cenderung dipahami sebagai institusi pendidikan yang berlabel Islam atau lembaga yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam pengertian ‘ulum al-naqliyyah. Karena itu, yang termasuk kategori ini adalah pondok pesantren, madrasah, sekolah dengan label Islam atau IAIN. Kedua, pendidikan Islam lebih diartikan sebagai pendidikan tentang ilmu agama, sementara yang dimaksud dengan ilmu agama adalah ilmu-ilmu yang selama ini masuk kategori ilmu naqliyyah seperti fiqih, tafsir, hadis, akhlak, aqidah dan bahasa Arab, untuk tidak menyebut semuanya secara rinci. Lebih reduksi lagi, pendidikan Islam dimaknai sebagai mata pelajaran di sekolah umum yang hanya berbobot 2 atau 3 sks. Dengan pemahaman ini mata pelajaran non-agama bukan bagian dari pendidikan Islam. Selain itu, pendidikan di Fakultas Tarbiyah lebih dimaknai sebagai upaya mencetak tenaga pengajar, bukan mengkaji berbagai persoalan pendidikan Islam, mulai dataran konseptual hingga praxis. Sebab, guru pada dasarnya hanya merupakan bagian kecil dari proses pendidikan.
Di samping berbagai persoalan tersebut, pada era otonomi ini problem yang dihadapi oleh pendidikan Islam tidak kunjung berkurang. Misalnya, problem pengelolaan pendidikan dengan sistem dua kamar (Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama) yang berimplikasi pada banyak hal, antara lain dalam hal pendanaan dan pengadaan tenaga guru, rendahnya kualitas tenaga pendidik di lembaga pendidikan madrasah, dan manajemen yang asal-asalan oleh pengelola lembaga pendidikan Islam.

Pendidikan Islam: Konvensional versus Transformatif
Istilah pendidikan Islam konvensional (PIK) dipakai untuk menunjukkan pola dan praktek pendidikan yang berjalan secara monoton, top-down, guruisme, sentralistik, uniform, eksklusif, formalis, dan indoktrinatif. Praktek pendidikan tersebut dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman dan terkesan menjadikan pendidikan Islam anti realitas. Bahkan, ada anggapan bahwa pola semacam inilah yang menjadikan dan membentuk perilaku masyarakat Islam eksklusif dan gagap terhadap perubahan dan perbedaan. Karena itu, pendidikan Islam transformatif (PIT), sebuah istilah tentatif sebagai counternarrative dari PIK, perlu dimunculkan sebagai pembanding dan teman dialog untuk ‘menghidupkan dan membumikan’ pendidikan Islam dalam konteks hereness dan nowness. Istilah transformasi itu sendiri seringkali dimunculkan oleh Lyotard ketika membahas wacana posmodernisme sebagai lawan dari modernisme. Posmodernisme merupakan kondisi budaya yang memunculkan banyak transformasi yang mengubah rule of the game dalam bidang sains, sastra, dan seni. Di bidang pendidikan, transformasi berupa perubahan aturan main dalam hal aspek, praktek, dan institusi pendidikan yang bertanggung jawab dan mentransmisikan ilmu pengetahuan dan seni.[11] Dengan menggunakan kerangka semacam ini, bagaimana pola pendidikan Islam mampu melakukan transformasi dari praktek pendidikan yang telah ada menuju kondisi yang lebih baik, mulai dari aspek konseptualisasi hingga implementasi, seperti kelembagaan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan penyediaan SDM.
PIT mengharuskan adanya perubahan cara pandang terhadap proses pendidikan dalam faktor-faktor pendidikan. Dalam hal tujuan, pendidikan harus diorientasikan untuk mencetak individu yang berkesadaran kenabian, yang mempunyai misi liberatif terhadap berbagai persoalan sosial. Pendidikan dianggap berhasil jika mampu mencetak individu yang kritis terhadap persoalan lingkungan dengan spiritualitas Islam. Untuk menghasilkan pribadi yang semacam itu, berbagai elemen pendidikan harus ditinjau ulang. Kurikulum harus lebih terkait dengan current issues sehingga dapat memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman kepada peserta didik tentang problem riil di masyarakat. Strategi pembelajaran harus diorientasikan untuk menghargai dan mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, evaluasi pendidikan harus lebih berpijak pada potensi kemanusiaan peserta didik, bukan uniform yang dipaksakan oleh pendidik. Dalam hal pengelolaan, pengelola lembaga pendidikan harus mampu menggerakkan dan mengaktifkan setiap potensi yang ada di sekitarnya untuk ikut memikirkan persoalan pendidikan. Akhirnya, pendidikan tidak harus dimaknai sebagai proses yang berlangsung di ruang kelas saja, namun juga terjadi di luar kelas. Karena itu, upaya mensinergikan antara unit keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu dilakukan.

Praktek Pendidikan Islam Awal: Sebuah Upaya Rekonstruksi
Sebuah pencarian format pendidikan Islam yang ideal akan mengalami kesulitan, untuk tidak mengatakan gagal, jika tidak disertai dengan upaya rekonstruksi sejarah ketika pola pendidikan Islam dipraktekkan oleh generasi Islam awal. Hal ini bukan berarti sebagai bentuk romantisme sejarah, namun sosok ideal pendidikan Islam ketika itu memang dipraktekkan. Tentu hal ini tidak ada pretensi untuk kembali ke masa lalu secara letterlick, namun tetap berpijak pada konteks realitas moderen. Meminjam istilah Rahman, upaya historical criticism harus tetap dilakukan. Yang pertama harus dicermati adalah praktek pendidikan Islam oleh Rasulullah. Ketika itu Rasulullah tampil sebagai raushan fikr yang mampu mereformasi secara total terhadap tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan jahiliyah[12] yang menyimpang. Paling tidak, secara umum misi kenabian Muhammad saw dapat dibagi ke dalam dua hal, yakni sebagai respon terhadap penyimpangan tauhid dan ketimpangan sosial (social discrepancy).[13] Kedatangan Islam berada dalam konteks realitas yang ketika itu ada persoalan yang harus segera mendapat jawaban. Sosok Nabi hadir sebagai individu paripurna yang mempunyai kesadaran eksistensialis-teistik dan liberatif, yakni adanya kesadaran vertikal dan horisontal.[14] Living sunnah yang dipraktekkan oleh Nabi inilah yang pertama harus dilihat. Islam hadir bukan sebagai agama yang teralienasi dari konteks, tapi involved dalam penyelesaian problem realitas.
Dengan mencermati misi profetik yang merupakan inti orientasi pendidikan dalam Islam di atas, maka proses pendidikan seharusnya diorientasikan pada pembentukan kepribadian muslim yang mempunyai prophetic consciousness, dimana ia mempunyai kesadaran eksistensialis yang teistik, bahwa ia harus mempunyai kesadaran vertikal (vertical consciousness) sekaligus horisontal (horizontal consciousness). Kesadaran pertama mempunyai makna bahwa setiap individu harus sadar tentang relasi antara dirinya sebagai makhluq dan khaliq-Nya sehingga ia menyadari kewajiban yang harus dipenuhi sebagai ‘abid. Sedangkan kesadaran kedua mempunyai pengertian bahwa individu harus sadar terhadap konteks realitas sosial yang ada di sekitarnya. Dengan kesadaran ini ia hendaknya aktif memberikan kontribusi terhadap penyelesaian problem sosial, bukan lari dari masalah. Kedua kesadaran tersebut bukan berdiri sendiri-sendiri, namun terkait secara padu.[15]
Momen lain yang juga perlu dicermati dari sejarah pendidikan Islam adalah ketika peradaban Islam mengalami masa kejayaan yang antara lain ditandai oleh semaraknya berbagai temuan dalam bidang ilmu pengetahuan,[16] baik termasuk al-‘ulum al-naqliyyah maupun al-‘ulum al-‘aqliyyah.[17] Periode ini terjadi ketika peradaban Islam berada di bawah pemerintahan Dinasti Abbasiyah, khususnya masa Harun al-Rasyid dan al-Makmun.[18] Ketika itu khalifah turun tangan langsung menggerakkan berbagai kajian ilmu, yang tidak terbatas pada ilmu-ilmu ‘agama’ saja namun juga ilmu-ilmu ‘non-keagamaan’. Di tangan kedua khalifah tersebut kemajuan ilmu pengetahuan mendapatkan momentumnya. Banyak upaya dilakukan oleh khalifah untuk menggairahkan kajian ilmu pengetahuan, misalnya melakukan kontak dengan kerajaan lain yang kaya akan tradisi intelektualnya, misalnya dari tradisi keilmuan Yunani, Persia, dan India.
Dinamika dan gairah keilmuan ini paling tidak didorong oleh dua motivasi. Pertama, motivasi normatif, yakni semangat ajaran Islam, baik yang terkandung dalam al-Qur’an[19] maupun al-Hadis,[20] yang sangat mendorong umatnya untuk menuntut dan menguasai ilmu. Kedua, motivasi dan respon sejarah, bahwa umat Islam harus mampu membumikan ajaran Islam sehingga ia benar-benar dapat menjadi rahmat bagi seluruh alam. Untuk itu, satu-satunya jalan adalah harus terlibat dalam percaturan ilmu dan merespon tantangan realitas. Hal ini terbukti dengan banyaknya ilmuwan muslim yang mengadakan kajian intensif dalam pengembangan ilmu yang ketika itu dipusatkan di Baghdad.[21] Di antara tokoh yang terlibat aktif di pusat ilmu tersebut adalah al-Kindi, al-Razi, dan al-Farabi.[22] Mereka datang dari berbagai penjuru, misalnya Khwaraizm, Nishapur, Tus, Samarqand, Kufah, dan Shiraz.[23] Di pusat keilmuan inilah mereka mendialogkan temuan-temuannya, sebagaimana Muhammad al-Khawarizmi yang mendialogkan temuan angka nolnya dengan ilmuwan lain di Baghdad. Yang perlu dicermati juga adalah bahwa dialog keilmuan tidak terbatas antar ilmuwan muslim saja, namun juga dengan ilmuwan non-muslim. Tidak mengherankan jika dilihat dari sanad keilmuan (intellectual genealogy) banyak guru ilmuwan muslim yang beragama Kristen, Yahudi bahkan Majusi.[24] Karena itu, belajar terhadap peradaban lain tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang ‘haram’ dilakukan, namun justru dianjurkan.[25] Tidak heran jika masyarakat pada era ini dijuluki sebagai masyarakat pembelajar (learning society), yakni hampir semua anggota masyarakat tergerak untuk terlibat dalam pengembangan ilmu.
Yang menarik untuk dicermati, sebagaimana pernah dikaji oleh sejarawan Barat maupun muslim, bahwa ilmu pengetahuan dan ilmuwan yang lahir pada periode keemasan itu bukan merupakan produk ‘lembaga pendidikan formal’ sebagaimana yang dikenal pada periode modern. Ilmu pengetahuan, baik yang tergolong ‘ilmu-ilmu agama’ maupun ilmu sains muncul sebagai hasil kajian intensif ilmuwan muslim secara individual atau paling tidak melalui dialog keilmuan yang diselenggarakan di rumah-rumah ilmuwan itu sendiri. Yang lebih menonjol adalah semangat individual studies. Justru ketika lembaga pendidikan formal muncul seperti madrasah, dinamika keilmuan Islam mulai redup seiring dengan saratnya muatan politik dalam pendirian sebuah lembaga pendidikan. Madrasah lebih dijadikan sebagai media untuk melanggengkan kekuasaan, atau paling tidak memperkuat paham ortodoksi sebagaimana yang dianut oleh penguasa.[26] Karena itu, hampir dapat dipastikan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya sains bukan lahir dari lembaga pendidikan madrasah.[27]
Semaraknya kajian ilmu ketika itu berkembang karena disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, konteks masyarakat yang kosmopolit, dimana semua umat Islam dari berbagai latar belakang diberi ruang untuk berkreasi dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan bersuara sangat dihargai, bahkan majlis-majlis perdebatan (majlis al-mujadalah) banyak difasilitasi.[28] Dalam catatan sejarah pola kebijakan pemerintahan Bani Umayah sangat berbeda dengan Bani Abbasiyah dalam pensikapan terhadap etnis. Yang pertama cenderung Arab sentris yang lebih menganakemaskan orang-orang keturunan Arab, sementara yang kedua lebih bercorak terbuka dan toleran, sehingga semua etnis diperlakukan sama, baik dari etnis Turki, Arab, Persi, India, dan etnis lain.[29] Bahkan, semangat menghargai ini juga diberlakukan terhadap orang-orang non-Islam. Kedua, peran khalifah yang cinta terhadap ilmu pengetahuan juga mendorong perkembangan ilmu dalam Islam. Tentu tidak semua khalifah pada Masa Abbasiyah peduli terhadap persoalan ini, namun the golden ages memang dicapai ketika pemerintahan Islam diatur oleh khalifah yang cinta ilmu seperti Harun al-Rasyid dan al-Makmun.[30] Ketiga, secara geografis Baghdad menjadi titik pertemuan jalur-jalur pedagangan dan keilmuan.[31]

Darimana Kita Memulai?
Proses pendidikan melibatkan banyak unsur yang satu sama lain saling terkait. Karena itu, pemaknaan dan pengembangan proses tersebut harus dilihat secara komprehensif. Sebab, penekanan satu aspek dan pengabaian aspek yang lain hanya akan mengakibatkan kepincangan dan efek domino yang lebih parah. Dengan pemikiran ini, maka yang pertama perlu dilakukan adalah melakukan brainstorming dan identifikasi persoalan dari setiap aspek dalam pendidikan. Paling tidak, aspek yang harus dicermati dalam proses pendidikan adalah orientasi, peserta didik, pendidik, kurikulum, strategi pembelajaran, sumber belajar, evaluasi, kelembagaan, kebijakan dan lingkungan. Yang juga tidak kalah penting adalah pemaknaan terhadap terma pendidikan dan belajar oleh pelaku pendidikan. Sebab, praktek pendidikan pada dasarnya merupakan cermin dari pemahaman dan pemaknaan sang pelaku terhadap dua istilah tersebut. Akhirnya, karena terkait dengan pendidikan Islam, maka orientasi semangat profetik dalam pendidikan juga perlu mendapat perhatian. Hal ini perlu dilakukan karena pada dasarnya proses pendidikan Islam adalah upaya mencetak manusia yang berkesadaran kenabian.
Berpijak pada pemikiran tersebut, maka PIT merupakan konsep yang berusaha menggeser atau merubah pola pemaknaan pendidikan ‘tempo doeloe’ menjadi pola baru yang lebih dinamis, kontekstual, dan humanis. Upaya ini akan berjalan sia-sia tanpa didahului pencermatan setiap anomali yang ada pada setiap komponen pendidikan, mulai dari dataran konseptual sampai ke prakteknya. Sebab, seringkali pendidikan Islam justru gagal ketika dalam konteks realitas, seakan ia ‘pelo’ dalam menjawab setiap persoalan yang muncul dalam masyarakat. Meskipun demikian, bukan berarti dari konteks teoritis pendidikan Islam bukannya tak bermasalah, sebab jika dicermati dengan seksama stagnannya pemikiran pendidikan Islam, yang antara lain ditandai oleh miskinnya produk pemikiran pendidikan Islam, merupakan cermin dari miskinnya pengembangan konsep pendidikan Islam. Karena itu, dua ranah tersebut, konsep dan praktek, harus dilihat secara simultan.
Dalam era kontemporer dengan segenap permasalahan di dalamnya, idealnya pendidikan Islam mampu memberikan sumbangan konkret dalam penyelesaian setiap persoalan. Namun, yang terjadi pendidikan Islam justru terkesan voiceless dan powerless dalam menghadapi persoalan kemodernan. Karena itu, pembongkaran terhadap praktek pendidikan Islam agaknya menjadi prioritas dalam proyek PIT. Hal ini harus dilakukan dan direncanakan secara matang dan terpadu yang melibatkan semua stakeholder pendidikan Islam.

Kata Akhir
Fazlur Rahman dalam salah satu tulisannya mengatakan bahwa al-Qur’an lebih menekankan pada tindakan (amal) ketimbang kata (teori). Ini berarti sebaik apapun konsep jika tidak disertai dan dibarengi dengan upaya konkret hanya ibarat sampah saja. Karena itu, dialektika konteks teoritis dengan konteks realitas harus selalu dilakukan dalam upaya mengubah paradigma pendidikan Islam dari konvensional menuju transformatif. Tanpa hal tersebut, pendidikan Islam hanya ibarat gundukan konsep yang tak bermakna, sebab kebermaknaan sesuatu sangat ditentukan dan tergantung pada aspek kegunaan bagi dunia empirik.
Pada dasarnya ada tiga hal yang harus dipertimbangkan oleh praktisi atau pemerhati pendidikan ketika akan melakukan sebuah perubahan terhadap praktek pendidikan Islam dewasa ini. Ketiga hal ini yang akan menentukan corak dan arah lembaga pendidikan yang akan dikelolanya. Pertama, pandangan tentang peserta didik. Peserta didik tidak harus dimaknai atau identik dengan anak usia sekolah dengan usia kronologis tertentu, sebab hal ini tidak sesuai dengan pandangan Islam yang menempatkan setiap individu muslim sebagai pembelajar, mulai dari ayunan hingga meninggal dunia. Dengan pengertian ini, life-long education justru ditekankan. Implikasi lain dari pengertian tersebut adalah pandangan Islam sangat relevan terhadap paradigma baru pendidikan yang menempatkan murid dan guru sebagai obyek dan subyek sekaligus. Hal ini mengimplikasikan bahwa keduanya sama-sama sebagai makhluk pembelajar (learner). Arti penting lain dari pemaknaan kembali peserta didik adalah bahwa fokus utama proses pendidikan adalah untuk dan demi kepentingan peserta didik itu sendiri. Karena itu, cara pandang secara holistik terhadap potensi dan sosok peserta didik mutlak diperlukan, sebab dari sinilah treatment pendidikan akan dilakukan. Pandangan tentang peserta didik akan menentukan bentuk kurikulum, evaluasi, dan metode pembelajaran. Kedua, cara pandang terhadap ilmu. Bahwa proses pendidikan dilakukan antara lain untuk transfer dan pengembangan ilmu. Ketiga, respon terhadap perubahan dan perkembangan sosial. Ketidaktahuan terhadap problem ini hanya akan membuat output pendidikan misleading dan tidak fungsional terhadap konteks (functional illiteracy). Keempat, perlunya kesadaran akan misi profetik yang diemban oleh pendidikan Islam.
Akhirnya, sebuah upaya evaluasi tentang kelebihan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan tantangan (threat) dari pendidikan Islam perlu dilakukan. Dua analisis pertama, kelebihan dan kelemahan, lebih menitikberatkan pada evaluasi internal pendidikan Islam, sementara dua yang terakhir, peluang dan tantangan, lebih pada kondisi eksternal. Secara konseptual, pendidikan Islam sebenarnya cukup kaya, bahkan sangat ideal, dalam pengembangan individu untuk mencapai taraf konsientasi vertikal dan horizontal. Hanya saja, banyak di antara umat Islam yang belum memahami karakter dasar pendidikan Islam, sehingga dalam prakteknya umat Islam justru banyak mengadopsi cara pandang Barat dalam proses pendidikan yang ternyata sangat dikotomik. Saat ini, konsep pendidikan dalam Islam dapat menjadi pendidikan alternatif dari praktek-praktek pendidikan yang selama ini ada. Hanya saja, upaya memformulasi konsep pendidikan Islam dalam konteks praktis perlu dikaji secara komprehensif, sebab justru pada taraf inilah banyak hal yang perlu dipertimbangkan ketika berhadapan dengan realitas empirik. Jangan sampai, pendidikan Islam tampil sebagai sosok pendidikan yang elitis, eksklusif, dan ahistoris.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Kotagede, fin du desembre 2002
Lampiran:
Tema-tema Kajian Pendidikan Islam Transformatif (Tentatif)

No
TEMA
SUB TEMA
TUJUAN
1.
Konsep Manusia
1. Tinjauan al-Qur’an
2. Tinjauan Filosofis
3. Tinjauan Psikologis
4. Tinjauan Sosiologis
5. Tinjauan Antropologis
Mengkaji konsep manusia dari berbagai aspeknya
2.
Reorientasi Pendidikan dalam Islam
1. Pendidikan Berbasis Potensi
2. Misi Profetik dalam Pendidikan
3. Kesadaran Eksistensialis-Teistik
Meninjau kembali orientasi awal pendidikan dalam Islam
3.
Islam dan Ilmu Pengetahuan
1. Makna Ilmu Pengetahuan
2. Sumber Ilmu Pengetahuan
3. Struktur Ilmu Pengetahuan
4. Misi Ilmu Pengetahuan
5. Arkeologi Nalar
Memahami konsep ilmu pengetahuan dalam Islam
4.
Pendidikan Islam sebagai Disiplin Keilmuan
1. Tinjauan Ontologis
2. Tinjauan Epistemologis
3. Tinjauan Aksiologis
Mengkaji pendidikan Islam sebagai sebuah disiplin keilmuan yang dinamis
5.
Konsep Belajar
1. Makna Belajar
2. Tujuan Belajar
3. Manusia sebagai Pembelajar
Mengkaji makna belajar dalam Islam
6.
Konsep Kecerdasan
1. Makna Kecerdasan
2. Macam-macam Kecerdasan
Memahami konsep kecerdasan
7.
Kurikulum Dinamis
1. Hakekat Kurikulum
2. Dasar Pengembangan Kurikulum
3. Kurikulum Berbasis Kompetensi
Mengkaji makna kurikulum dan misi utama kurikulum
8.
Strategi Pembelajaran yang Humanis
1. Urgensi Strategi
2. Dasar-dasar Pengembangan Strategi
3. Efektifitas Penerapan Strategi
Mengelaborasi arti pentingnya strategi pembelajaran sebagai upaya penyadaran manusia
9.
Sumber-sumber Belajar yang Mencerahkan
1. Keluarga sebagai Basis
2. Sekolah sebagai Partner
3. Masyarakat sebagai Pengawas
Membahas sumber-sumber belajar yang dapat membawa manusia ke arah kesadaran dan aktualisasi diri
10.
Rekonstruksi Sejarah Pendidikan dalam Islam
1. Misi Liberatif Muhammad saw
2. Khalifah Empat: Periode Formatif
3. Umayyah: Persinggungan Awal dengan Tradisi Keilmuan Lain
4. Abbasiyyah: Era Dinamis Pengembangan Ilmu
5. Baghdad, Nishapur, dan Cordova
6. Abad Tengah Islam: Era Stagnasi
7. Abad Modern: Awal Kebangkitan Kembali
Mengkaji kembali perjalanan pendidikan Islam dalam konteks menyejarah
11.
Pendidikan Perbandingan: Studi Kawasan
1. Indo-Pakistan
2. Mesir
3. Malaysia
4. Iran
5. Turki
6. Saudi Arabia
Memahami praktek pendidikan di berbagai wilayah berpenduduk mayoritas Islam
12.
Pendidikan Keindonesiaan
1. Rekonstruksi sejarah
2. Pesantren sebagai Institusi Asli
3. Kelembagaan Pendidikan
4. Politik Pendidikan
5. Otonomi dan Desentralisasi Pendidikan
Memahami kondisi pendidikan Islam di Indonesia
13.
Kajian Tokoh Pendidikan dalam Islam
1. Muhammad sebagai Figur Sentral
2. Al-Ghazali
3. Muhammad Iqbal
4. Muhammad Abduh
5. Syah Waliyullah
6. Ibnu Khaldun
7. Dll.
Membahas figur-figur pendidikan dalam tradisi Islam
14.
Manajemen Pendidikan Partisipatif
1. Makna Manajemen
2. Total Quality Management dalam Pendidikan
Mengkaji makna manajemen dalam konteks pendidikan
15.
Pendidikan Pembebasan


16.
Pendidikan Pluralis
1. Paradigma Learning to Live Together
2. Mutual Uderstanding

17.
Hot Educational Issues
1. Multiple Intelligence: IQ, EI, SQ
2. Accelerated Learning
3. Learning Revolution
4. Active Learning
5. Quantum Learning
6. Quantum Teaching
7. Mind Map
8. Community Based Education
9. School Based Management
10. Jender dan Pendidikan
11. Dll.

18.
Universitas Islam?
Model Institusi Pendidikan Islam
Membahas tipe dan karakter lembaga pendidikan Islam

[1] Pointers ini pernah disampaikan dalam Forum Pertemuan Mahasiswa Jurusan PAI se-Jawa di Aula II IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 28 Desember 2002.
[2] Muqowim lahir di Karanganyar, 10 Maret 1973. Setelah menyelesaikan Program S-1-nya di Fakultas Tarbiyah (PAI) pada 1996, ia melanjutkan studi S-2-nya di IAIN yang sama dengan mengambil Konsentrasi Pemikiran Pendidikan Islam dan lulus tahun 1999. Di lembaga yang sama, sejak 1999 ia mengambil Program Doktor. Selain sebagai dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, saat ini ia juga sebagai Sekretaris Program Studi Pendidikan Islam Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga. Berbagai gagasannya dapat dijumpai di berbagai jurnal akademik, seperti Jurnal Al-Jami’ah, Profetika, Hermeneia, Essensia, Jurnal Ilmu Dakwah, Jurnal Ta’dib, dan Jurnal Ilmu Pendidikan Islam. Selain sebagai dewan redaksi Al-Jami’ah dan sekretaris redaksi Jurnal Hermeneia, ia juga menjadi staf peneliti pada Islamic Studies Forum (ISF) Yogyakarta. Kontak person Telp dan Fax. Kantor PPs. IAIN Sunan Kalijaga (0274) 519709, HP: 0818256675, e-mail: qowim11@lycos.com dan isfjogja@lycos.com.

[3] Gagasan Mastuhu ini dapat dilihat dalam Mastuhu, “Pendidikan Islam di Indonesia Masih Berkutat pada Nalar Islami Klasik” dalam Tashfirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, No. 11 Tahun 2001: 77-83.
[4] Di antara tulisan yang mencoba menitikberatkan pada pencarian format baru pendidikan Islam adalah artikel penulis dalam Jurnal Ta’dib dengan judul “Mencari Format Baru Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural”, Vol. IV No. 02, September 2001: 89-113 dan “Shifting Paradigm Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural” dalam M. Amin Abdullah dkk., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multikultural (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga dan KLS, 2002), 345-374.
[5] Hal ini dapat dilihat dari adanya sinyalemen bahwa anggaran untuk satu universitas di lingkungan Diknas ekuivalen dengan anggaran 14 IAIN. Ibarat fenomena gunung es, kondisi ini adalah di puncaknya, di bawahnya jaug lebih paeah.
[6] Tujuan pendidikan ini dapat dilihat dari tulisan Abdurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory: A Qur’anic Outlook (Makkah al-Mukarramah: Educational and Psychological Research Center, 1982).
[7] Kasus al-Azhar University Kairo sebenarnya merupakan salah bukti konkret adanya dikotomi ilmu, kecuali setelah tahun 1961 dimana mulai ada upaya mengintegrasikan kedua bidang keilmuan tersebut, meskipun sudah sangat terlambat. Lebih jauh tentang dinamika keilmuan di al-Azhar, baca Bayard Dodge, Al-Azhar: A Millenium of Muslim Learning, (Washington, D.C., 1961).
[8] Sinyelemen ini antara lain dikemukakan oleh Rahman dalam salah satu tulisannya. Lihat, Fazlur Rahman, “The Qur’anic Solution of Pakistan’s Educational Problem,” dalam Islamic Studies 6, 4, 1967.
[9] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta: Logos, 1999), ix.
[10] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI-Press, 1984), 76.
[11] Untuk selanjutnya, lihat tulisan Michael Peters dan Colin Lankshear, “Postmodern Counternarratives” dalam Henry Giroux, et al., Counternarratives Cultural Studies and Critical Pedagogies in Postmodern Spaces (New York & London: Routledge, 1996), 9.
[12] Terma ini sering digunakan untuk memaknai periode sejarah Arab pra-Islam. Sebenatnya, istilah tersebut tidak bisa dimaknai sebagai ‘zaman kebodohan’ atau ‘kebodohan’ yang dilawankan dengan kepandaian. Namun, ia lebih berarti sebagai masa dimana banyak praktek barbarian, perilaku buas, kesombongan suku, kultus/tradisi balas dendam perilaku pagan dilakukan oleh orang Arab. Lihat Duncan B. Macdonald, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, (New York: Charles Scribner’s Sons, 1903), 8; Ignaz Goldziher, Mohammedanische Studien, Halle: 1971, 223; dan Munir-ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholars’ Social Status, (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1965), 25.
[13] Dua misi besar kenabian ini antara lain dapat dilihat dalam Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1991), 29; lihat juga Muqowim, “Kenabian dalam al-Qur’an,” dalam Jurnal Dakwah, No. 3 Tahun II, Juli-Desember 2001: 113-129.
[14] Gambaran tentang figur Nabi yang membawa semangat pembebasan ini diulas secara agak panjang lebar oleh Engineer. Selanjutnya lihat, Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro, cet. II (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), 41-56.
[15] Iqbal, seorang penyair dan filosof asal Indo-Pakistan, membagi kesadaran menjadi dua, yakni kesadaran kenabian dan kesadaran mistik. Lebih jauh ia menggambarkan kedua kesadaran tersebut dalam salah satu syairnya, bahwa orang yang mempunyai kesadaran kenabian ditandai oleh keterlibatannya secara aktif dalam realitas alam semesta. Cakrawala berada dalam genggamannya. Sementara itu, orang yang mempunyai kesadaran mistik ditandai dengan larutnya ia dalam cakrawala, ia cenderung lari dan mengasingkan diri dari problem realitas untuk mengejar kesalehan individual.
[16] Sebuah kajian cukup mendalam dilakukan oleh Fazlur Rahman tentang dinamika intelektual Islam sejak periode Islam awal hingga kurun modern. Selanjutnya, lihat Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982).
[17] Karya yang banyak mengungkap tradisi keilmuan Islam pada era ini antara lain A.S. Tritton, Materials on Muslim Education in the Middle Ages, (London: Luzac, 1957); C. Michael Stanton, Higher Learning in Islam: The Classical Ages A.D. 700-1300, (New York: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 1991); Ahmad Shalaby, History of Muslim Education, (Beirut: Dar al-Rashshaf, 1954); Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago: University of Chicago Press, 1982); George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981); dan S.H. Nasr, Science and Civilization in Islam, (New York: New American Library, 1968).
[18] Lihat Philip K. Hitty, History of the Arabs, (London: Macmillan, 1974), 297-316.
[19] Di antara ayat al-Qur’an yang mendorong umat Islam untuk mencari ilmu adalah Q.S. al-‘Alaq (96): 1-5; Q.S. al-Mujadalah (58): 11; Q.S. al-Tawbah (9): 122; Q.S. al-Nahl (16): 43; Q.S. al-Zumar (39): 9; dan Q.S. Taha (20): 114.
[20] Banyak di antara matan Hadis yang menyebutkan tentang perlunya mempunyai dan mencari ilmu, misalnya “carilah ilmu walau sampai ke negeri China,” “menuntut ilmu diwajibkan bagi orang muslim laki-laki (dan perempuan), dan sebagainya.
[21] Ibrahim Madkour, “Al-Farabi,” dalam M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low Price Publications, 1961), 451.
[22] Ulasan secara panjang lebar tentang ilmuwan muslim ditulis oleh banyak pemikir Islam modern. Lihat karya M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. I (Delhi: Low Price Publications, 1961) yang terdiri dari dua volume. Hal yang sama juga dilakukan oleh Seyyed Hossein Nasr (ed.), History of Islamic Philosophy (London & New York: Routledge, 1996) yang juga terdiri dari dua volume.
[23] Bulliet pernah melakukan kajian khusus tentang dinamika keilmuan di wilayah kekuasaan Islam, khususnya di daerah Nishapur. Lihat Bulliet, Richard W., The Patricians of Nishapur: A Study in Medieval Islamic Social History, (Cambridge, 1972).
[24] Hal ini tampak dari sinyalemen yang dikemukakan oleh Bernard Lewis, seorang ilmuwan Barat yang menekuni sejarah peradaban Islam. Lihat Bernard Lewis, The Jews of Islam (Princeton: Princeton University Press, 1987), 3-4; lebih jauh lihat Muqowim, ”Mencari Format Baru Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural,” dalam Jurnal Ta’dib, Vol. IV No. 02, September 2001: 89-113.
[25] Hal ini tampak dari upaya khalifah al-Makmun yang mempekerjakan tokoh-tokoh non-Islam untuk memimpin proyek penerjemahan dari tradisi keilmuan Yunani ke Islam (bahasa Arab). Tokoh Hunain bin Ishaq, Thabit bin Qurrah, dan Ishaq bin Hunain adalah di antara ilmuwan non-muslim yang terlibat sangat intens dalam program ini. Selanjutnya baca Philip K. Hitty, History, 297-316.
[26] Selanjutnya baca George Makdisi, The Rise of Colleges, 9-15; The Rise of Humanism (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990); Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, ix.
[27] Fazlur Rahman, Islam, khususnya “Bagian Pendidikan” terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1994), 263-281.
[28] Laporan tentang hal ini banyak dijumpai dalam karya Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad. Lihat juga Muniruddin Ahmed, Muslim Education, 59-72.
[29] Perbandingan tentang kedua pola pemerintahan tersebut dapat dilihat secara lebih rinci dalam Hitty, History, terutama Bab 17 sampai 33: 189-492.
[30] Ibid., 297-316.
[31] Baghdad sebagai pusat keilmuan antara lain tercermin dari karya Tabaqat yang dibuat oleh al-Khatib al-Baghdady, Tarikh Baghdad, 14 Vol. (Mesir: Maktabat al-Khandji, 1349/1931). Karya ini diulas secara panjang lebar oleh Muniruddin Ahmed terutama dari sisi Status Sosial Ilmuwan Muslim. Untuk selanjutnya, lihat Munir-ud-Din Ahmed, Muslim Education and the Scholars’ Social Status, (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1965).

Tidak ada komentar: