Kamis, Maret 19, 2009

WEDDIS FORUM PAI II

WEDDIS FORUM JURUSAN PAI
GENDER DALAM LINGKUNGAN SOSIAL PESANTREN
Pada tanggal 18 Maret 2009, Jurusan PAI kembali mengadakan WEDDIS FORUM ke-2. Pada diskusi kali ini bertindak selaku presenter adalah Dr. Hj. Ema Marhumah, M.Pd. atau Mbak Ema, begitu ia akrab dipanggil. Dosen PAI yang juga Direktur Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga ini menyampaikan hasil penelitian doktoralnya terkait dengan gender di pesantren. Judul yang dia bawakan adalah Gender dalam Lingkungan Sosial Pesantren (Studi tentang Peran Kiai dan Nyai dalam Sosialisasi Gender di Pesantren Al-Munawwir dan Pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta).
Menurut Mbak Ema, penelitian ini setidaknya didasari oleh tiga pertimbangan. Pertama, pesantren merupakan lembaga pendidikan dan proses sosialisasi nilai-nilai keagamaan. Kedua, proses sosialisasi gender di pesantren sebagai proses produksi dan reproduksi diskursus gender yang merepresentasikan perwujudan relasi kekuasaan tertentu antara peran-peran mereka. Ketiga, kajian tentang gender di pesantren sangat menarik sebab fokus peneliti terdahulu tentang indigenous institution ini belum menyentuh aspek gender.
Fokus penelitian Mbak Ema terkait dengan empat hal: [1] menggambarkan para agen sosialisasi gender di pesantren; [2] memahami peran kiai dan nyai dalam membentuk wacana gender di pesantren; [3] menganalisa proses dan praktik pendidikan dan pengajaran di pesantren; [4] menelaah metode dan materi ajar lewat mana norma-norma dan ideologi gender diperkenalkan, dikembangkan, dipraktikan, dan dilembagakan dalam pesantren. Untuk membahas berbagai persoalan tersebut, teori yang digunakan Mbak Ema ada empat, yaitu teori Peran, teori sosialisasi dan agen sosialisasi, teori kekuasaan dan diskursus gender, dan teori qat’i dan zanni dalam diskursus gender.
Dalam riset ini, beberapa temuan penting yang dihasilkan adalah:
1. Kiai dan nyai secara garis besar memainkan peran yang sangat besar dalam diskursus gender di lingkungan pesantren dan mempengaruhi pandangan para santri berkenaan dengan isu gender,
2. Selain kiai dan nyai, agen-agen sosialisasi gender di Pesantren juga termasuk guru dan teman sebaya santri.
3. Pada manajemen pengajaran sekolah dan struktur lembaga madrasah, terdapat ketimpangan peran antara guru laki-laki dan guru perempuan di mana guru laki-laki lebih dominan.
4. Guru laki-laki mengajar subjek yang lebih diutamakan dan menyangkut bagian-bagian pokok pengajaran di madrasah. Sedangkan, guru perempuan jauh lebih sedikit dan mereka mengajar subjek yang dianggap lebih ringan
5. Perilaku kiai, nyai dan badal menunjukkan dua tendensi dalam sosialisasi gender, yaitu bermaksud melanggengkan stereotipe gender tradisional, dan bermaksud mengadakan perubahan peran gender secara lebih setara.
6. Proses normativitas peran gender tradisional dalam pesantren merupakan arus utama dalam sosialisasi gender di Pesantren
7. Peran dan posisi kiai dan nyai dalam sosialisasi gender dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu maksimalis, medium dan moderat
8. Metode sosialisasi ada dua yaitu metode penguatan ajaran gender tradisional secara tekstual dan metode sosialisasi perubahan wacana gender secara kontekstual
9. Materi pembelajaran di pesantren [kitab] belum menunjukkan pola relasi yang setara.
10. Konstruksi penyampai materi ada yang menguatkan peran normatif gender dan pemaknaan terhadap gender antara normatif dan historis
11. Adanya ketegangan dalam proses sosialisasi gender, yaitu dominasi normativitas peran gender terhadap kontekstualisasi peran gender, dominasi strong model dalam sosialisasi gender di pesantren, dan relasi kekuasaan dalam diskursus gender di pesantren.
Rekomendasi yang ditawarkan Mbak Ema adalah perlunya upaya untuk membuka sikap tertutup para pemegang otoritas, perlunya model-model pendidikan dan pengajaran berbasis gender (gender inclusive teaching), perlunya manajemen berbasis gender dalam pendidikan (model gender sensitive management), dan perlunya mendorong agar model pembelajaran yang bercorak lebih dialogis dan diskursif.

Beberapa pertanyaan dan komentar yang muncul adalah:
n Tentang argumen yang pro dan kontra terhadap kesetaraan gender
n Sangat menarik karena studi lapangan ketimbang literatur
n Ada tiga tiga teori utama dalam antropologi, yaitu fungsional, struktural, konflik. Mengapa Mbak Ema cenderung menggunakan teori konflik.
n Di lapangan masih sering muncul salah pemahaman tentang terma gender bahwa gender sama dengan jenis kelamin. Apakah di pesantren juga sama?
n Apa pengaruh pembelajaran yang dilakukan antara kyai dan nyai? Kalau dosen laki-laki, mahasiswa perempuan. Begitu juga sebaliknya. Bagaimana dengan di pesantren?
n Kasus Tuty Alawiyah yang punya pesantren besar dan banyak santrinya, apa pengaruhnya?
n Letak bias gender dalam pembuatan SAP dan RPP di mana?
n Meskipun belum data hasil penelitian, tetapi dalam pengamatan sekilas ada kecenderungan lebih banyak mahasiswi yang berprestasi ketimbang mahasiswa.
n Guru besar perempuan kok terbatas? Padahal tidak ada perlakuan di fakultas. Pemberian kesempatan sama. “tidak mau maju” [?]. Kasus Marwah Daud Ibrahim yang sedang hamil mengambil Program Doktor dengan penuh semangat

Terhadap pertanyaan dan tanggapan di atas, Mbak Ema memberikan respons sebagai berikut:
1. Hasil FGD PSW tentang kegiatan dosen laki-laki dan perempuan. Ada 7 kegiatan dosen laki-laki sehari untuk mendukung profesi pendidik. Dosen perempuan kesempatannya terbatas. Ada tugas-tugas produksi yang bisa dilakukan bersama, tidak hanya tugas reproduksi. Karena start-nya berbeda maka hasilnya juga berbeda, misalnya akses dari awal beda.
2. Di Depag belum ada renstra gender mainstreaming, di Diknas sudah ada. Tentang akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat [APKM] antara laki-laki dan perempuan.
3. Ada tugas-tugas reproduksi yang dilakukan dosen perempuan di rumah [konstruk relasi gender di rumah tiap dosen beda-beda]
4. RPP oleh guru. Prestasi siswa meningkat jika disebutkan istilah “siswa/siswi”.
5. Bahan ajar menceritakan peran perempuan di ranah privat sementara laki-laki di publik perlu disesuaikan.
6. Perlu ada kolaborasi di kelas
7. Bersama AIBEP melakukan kajian tentang realsi gender di lembaga pendidikan [100 madrasah]
8. Khawatir jika perempuan masih seperti sekarang. Tentang kuota minimal 30% bagi perempuan, tapi ada kendala start yang berbeda.
9. Tidak ada yang salah menggunakan teori fungsional dan struktural
10. Dengan teori Michel Foucault, tentang knowledge and power, kita dapat melihat ada yang salah dalam hal paradigma. Teori konflik lebih kritis dalam melihat relasi gender. Mengapa ada hambatan dengan santri perempuan yang mengajar? [mungkin] karena ada konsep penggoda. Kalau tidak ada diskriminasi sebenarnya tidak masalah. Adanya budaya patriarkhi
11. Masalah utama: tidak ada pembahasan tentang perempuan di pesantren [Zamakhsyari Dhofier, Manfred Ziemeck, Mastuhu, Abdurrahman Mas’ud, Martin van Bruinessen]

WEDDIS FORUM PAI I

WEDDIS FORUM JURUSAN PAI
KRITISISME HIKMAH KE ARAH EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM HUMANIS

Pada tanggal 4 Maret 2009, Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) mengadakan WEDDIS [WEDNESDAY DISCUSSION] FORUM yang pertama, yaitu sebuah forum bersama para dosen di lingkungan Jurusan PAI. Pada kesempatan ini bertindak sebagai presenter adalah Dr. Sumedi, M.Ag., dosen Jurusan PAI yang juga sebagai Sekretaris Program Studi Pendidikan Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam forum ini Pak Medi, begitu ia biasa disapa, menyampaikan hasil penelitian doktoralnya dengan judul KRITISISME HIKMAH KE ARAH EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM HUMANIS (Sintesis Epistemologi Barat dan Islam)
Menurutnya, topik ini menarik karena beberapa pertimbangan. Pertama, Ibn Taymiyyah merupakan tokoh yang banyak dikenal di kalangan umat Islam Indonesia seperti organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’. Kedua, Ibn Taymiyyah termasuk tokoh salafi yang menyerukan pembaharuan dan puritanisme. Ketiga, baik Ibn Taymiyyah maupun Popper merupakan kritikus para filosof muslim dan Barat. Keempat, keduanya memiliki karya banyak. Kelima, Popper sebagai pemikir yang melawan arus, kontroversial, kritis, antikemapanan.
Sedangkan yang menjadi latar belakang dari penelitian ini adalah [1] ada ketegangan antara ilmu-agama-kehidupan dengan dikotomis-sekuler-integrated dalam epistemologi dan filsafat ilmu sejak abad pertengahan sampai modern; [2] dominasi pola dikotomi-sekuler pada hubungan antara agama dan ilmu berefek negatif bagi ilmu itu sendiri dan bagi agama; dan [3] integrasi keilmuan dan agama melalui pemikiran di dua bidang, yaitu epistemologi dan filsafat ilmu.
Setelah melakukan kajian mendalam tentang pemikiran kedua tokoh tersebut dengan metode deskriptif-historis, komparatif, heuristik dan sintesis, Pak Medi menyimpulkan adanya model epistemologi kritisisme-hikmah [kritis, teoretis, empirik, dan ilahiyyah], sebagai bentuk gabungan dari pemikir muslim dan Barat tersebut.
Menurut kajian disertasinya, Pak Medi menawarkan beberapa implikasi terhadap pendidikan Islam. Pertama, perlunya pendidikan Islam humanistik. Kedua, adanya sifat relativistik dalam keilmuan agama Islam. Ketiga, perlunya berpikir kritis-analitis. Keempat, perlunya mengaitkan konsep pendidikan dengan aspek empirik [realitas empirik]. Keempat, perlunya mengembangkan nilai-nilai moral ilahiyyah.