Kamis, Juli 26, 2007

pedagogi kritis dan lptk

Paradigma Pedagogi Kritis dalam LPTK
Muqowim[1]

Dalam konsideran UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen antara lain disebutkan bahwa guru dan dosen mempunyai fungsi, peran, dan kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan nasional dalam bidang pendidikan yaitu sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga menjadi profesi yang bermartabat.[2] Dalam UU ini guru didefinisikan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[3]
Untuk menjadi guru profesional menurut UU tersebut dan diperkuat oleh PP No. 19 tahun 2005 seorang guru antara lain harus memenuhi kualifikasi akademik minimal DIV/S1, mempunyai empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional, dan menunjukkan sertifikat sebagai bentuk pengakuan profesi yang berimplikasi mendapatkan tunjangan profesi.[4] Uji kompetensi dan proses sertifikasi dilakukan oleh LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan) terakreditasi yang ditunjuk oleh pemerintah.[5] Sejauh ini format LPTK masih digodok dan belum ditetapkan pemerintah, karena itu setiap Perguruan Tinggi termasuk PT di lingkungan Muhammadiyah berhak merumuskan format yang ideal sehingga pada saatnya nanti akan diuji kelayakannya sebagai penyelenggara program sertifikasi dan uji kompetensi.
Yang jelas, satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh para perumus LPTK adalah bahwa guru profesional hanya akan muncul dari LPTK profesional. Untuk itu, pertimbangan idealitas harus diperhatikan ketimbang pertimbangan pragmatis, sebab sudah muncul kecenderungan di antara guru menempuh jenjang S1 karena alasan pragmatis, yang ditandai dengan pemilihan program studi yang sama sekali tidak berhubungan dengan profesinya.[6] Jika hal demikian dibiarkan maka kontraproduktif dengan keberadaan UU itu sendiri yang mencoba memperbaiki mutu pendidikan nasional melalui tenaga pendidik. Sebab, pendidik merupakan garda depan kemajuan pendidikan di Indonesia. Di tangan merekalah kurikulum dijabarkan dalam bentuk silabus, bahan ajar, dan pembelajaran di kelas yang dinamis dan mencerahkan. Bagi guru berkualitas, perubahan sebuah kurikulum tidak menjadi persoalan, sebab baginya kurikulum hanya sekedar alat, yang terpenting bagaimana alat itu digunakan. Bahkan, menurut Clandinin dan Conelly guru pada dasarnya adalah pembuat kurikulum.[7]
Tulisan ini hanya memfokuskan pada format LPTK dari segi substansi dan paradigma, bukan teknis atau mekanismenya. Hal ini dipandang penting sebab selama ini tenaga pendidik lebih terjebak pada persoalan pragmatis seperti teknis mengajar sehingga kehilangan perspektif. Padahal, pendidik kreatif dan inovatif hanya muncul dari mereka yang berparadigma kritis. Tidak mengherankan jika dalam penelitian Nanang Fatah menunjukkan sekitar 60 persen dari 1,2 juta guru SD kurang profesional. Hal ini terjadi karena pengangkatan guru lebih mengedepankan aspek kuantitas ketersediaan guru, bukan kualitas. Untuk itu, bertolak dari kenyataan tersebut, saat ini merupakan point of no return dalam meningkatkan kualitas pendidikan melalui guru, terlebih dengan munculnya UU tentang Guru dan Dosen.
Untuk mencetak guru berkualitas, penuh inovasi dan kreatifitas, LPTK yang diusulkan PTM perlu mempertimbangkan paradigma pedagogi kritis yang dilontarkan oleh Colin Lankshear, Michael Peters, dan Michele Knobel.[8] Dalam Conternarratives, karya Henry Giroux et al., mereka berpendapat bahwa ada enam ciri pedagogi kritis. Pertama, pendidikan pada dasarnya merupakan bentuk kritik sosial dan kultural. Salah satu tujuan pendidikan adalah rekonstruksi sosial. Lembaga pendidikan merupakan media yang diharapkan mampu memperbaiki dan mengkritisi berbagai persoalan yang muncul di masyarakat yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, berbagai persoalan yang berkembang dalam realitas empirik tersebut dibawa ke ruang kelas untuk dikritisi dan dicarikan jalan keluar melalui proses kodifikasi konteks. Hasil pembahasan ini kemudian ditawarkan dan dilaksanakan sebagai alternatif pemecahan. Proses ini tidak akan berjalan secara maksimal jika tidak ada kesadaran kritis dari praktisi pendidikan terutama guru dan peserta didik.[9]
Kedua, eksistensi seseorang sangat terkait dengan masyarakat yang lebih luas baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, ataupun lembaga pendidikan. Artinya, kesadaran seseorang pada dasarnya merupakan cermin kesadaran kolektif yang dibentuk antara lain melalui keluarga, masyarakat, dan sekolah. Sebab, dia belajar dari orang di sekitarnya. Dalam konteks pedagogi kritis, tidak berkualitasnya pendidikan dan SDM guru lebih disebabkan oleh faktor struktural atau kultural. Untuk itu, proses pendidikan adalah upaya untuk ‘menyadarkan’[10] seseorang tentang kondisi dia yang sebenarnya.
Ketiga, fakta sosial tidak pernah dapat dipisahkan dengan ranah nilai. Ini berarti bahwa berbagai aktifitas yang terjadi dalam realitas-empirik merupakan perwujudan atau cermin nilai dari sang pelaku. Karena itu, menurut paradigma ini, ada hubungan yang erat antara tindakan dengan nilai, antara signifier dengan signified. Hubungan tersebut tidak selalu tetap (fixed) dan seringkali dimediasi oleh lingkaran produksi, konsumsi, dan relasi sosial. Untuk itu, pembacaan kritis terhadap sebuah fakta sosial harus selalu dilakukan. Sebagai contoh, terma buku ajar boleh jadi merupakan hal yang positif bagi pemerintah karena untuk meningkatkan kecerdasan rakyat. Namun bagi orang tua, buku ajar merupakan beban karena setiap tahun berganti dan mahal.
Keempat, bahasa merupakan pusat bagi formasi subyektifitas. Dalam perspektif ini kepentingan, kebutuhan, dan kecenderungan seseorang atau lembaga dimunculkan melalui media bahasa. Di sisi lain, bahasa pada dasarnya merupakan bentuk aksentuasi pemikiran seseorang yang kemudian disepakati bersama oleh masyarakat. Kata yang dimunculkan oleh sebuah komunitas belum tentu dimaknai secara persis sama oleh komunitas lain.[11] Karena itu, seringkali dijumpai di masyarakat ada permasalahan yang muncul diakibatkan oleh perbedaan bahasa dan kultur.
Kelima, munculnya perbedaan status di masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial disebabkan oleh pemberian privilese secara tidak adil oleh pihak lain, seperti pihak birokrat, politisi, dan pemilik modal, karena kepentingan tertentu.[12] Masalahnya, banyak anggota masyarakat yang menganggap perbedaan itu terjadi begitu saja, alami, dan niscaya. Dalam perspektif kritis, munculnya perbedaan tersebut disebabkan oleh perlakuan yang tidak adil dari penguasa. Untuk itu, masyarakat perlu disadarkan tentang kondisi ini. Ini tidak berarti bahwa semua anggota masyarakat harus sama, namun ketika cara mendapatkan kekayaan, status sosial, atau jabatan itu dilakukan secara wajar dan prosedural, tentu hal ini akan diterima.
Akhirnya, dalam perspektif kritis munculnya sebuah permasalahan di masyarakat harus dikaitkan dengan aspek lain.[13] Memandang permasalahan dari satu segi saja sama halnya dengan menyederhanakan masalah. Proses pendidikan harus mampu melihat persoalan yang muncul di masyarakat dari banyak perspektif. Sebagai contoh, banyaknya guru yang “ngobyek” di luar profesi sebagai guru tidak dapat dilihat dari aspek profesionalisme dan etos kerja guru saja, namun perlu dikaitkan dengan masalah kebijakan pemerintah yang belum menghargai profesi guru, atau rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi ini.
Meskipun wacana pendidikan kritis sudah cukup lama, namun kenyataannya banyak lembaga pendidikan yang mencetak tenaga kependidikan "belum familiar" dengan hal ini karena dianggap kekiri-kirian. Namun, ketika mencermati bahwa masih banyak tenaga pendidik yang belum profesional, kurang kreatif dan kritis karena lebih banyak terjebak pada persoalan rutinitas dan cenderung mekanik, dan menunggu perintah dari atasan dengan pola "juklak dan juknis", boleh jadi salah satu penyebabnya adalah wadah yang menggodok mereka (LPTK) juga tidak jauh dari tampilan outputnya (guru). Bertolak dari kenyataan ini, ada sisi positif yang dapat dikembangkan dari paradigma pedagogi kritis ketika membentuk LPTK agar pendidik yang dihasilkan juga kritis.
Dari empat kompetensi yang harus dimiliki seorang guru sebagaimana diamanatkan oleh UU, yaitu pedagogis, kepribadian, sosial dan profesional, maka LPTK perlu mempertimbangkan paradigma di atas dalam kompetensi pedagogis agar lembaga ini tidak sekedar memberikan muatan materi bernuansa teknis tapi miskin filosofis. Dengan demikian, momentum penyiapan tenaga kependidikan yang qualified melalui LPTK tidak dilewatkan sehingga terbentuk guru yang kreatif, inovatif, dan kritis. LPTK yang dibentuk oleh PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah) seharusnya memanfaatkan momentum perbaikan kualitas guru mulai dari persoalan filosofis sampai teknis, sebab profil seorang guru pada dasarnya cermin dari profil wadah pembentuknya, yaitu LPTK.
[1] Muqowim, dosen Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah dan Direktur Pusat Kajian Dinamika Agama, Budaya dan Masyarakat (PUSKADIABUMA) Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
[2] UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
[3] Ibid. Pasal 1 ayat (1).
[4] Ibid. Pasal 10 ayat (1) yang diperkuat oleh PP No. 9 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) Bab VI Pasal 28.
[5] Pasal 11 UU No. 14 tahun 2005.
[6] KOMPAS tanggal 25 Februari 2006.
[7] D. Jean Clandinin dan F. Michael Connelly, "Teacher as Curriculum Maker" dalam Philip W. Jackson, Handbook of Research on Curriculum (New York: Macmillan Library Reference, 1995), p. 363.
[8] Colin Lankshear, Michael Peters, dan Michele Knobel, "Critical Pedagogy and Cyberspace" dalam Henry Giroux et al., Counternarratives (New York and London: Routledge, 1996), p. 149.
[9] Henry A. Giroux, "Slacking off: Border Youth and Postmodern Education" dalam Ibid., p. 53-54.
[10] Paulo Freire, Cultural Action for Freedom (Cambridge: Penguin Books, 1977), p. 75-76.
[11] Dalam ilmu bahasa dikenal istilah illocutionary force dan perlucucy. Yang pertama mengacu pada lontaran pernyataan tertentu sementara yang kedua mengacu pada respons terhadap pernyataan tersebut. Dengan kata lain, yang pertama lebih ke aksi, sementara yang kedua pada reaksi. Aksi/pernyataan yang sama boleh jadi akan direaksi/direspons secara beragam, tergantung pada konteks pernyataan dan yang memberikan reaksi. Sebagai contoh, pemberlakuan KBK bagi sebagian pihak dianggap sebagai pembaharuan kurikulum dan bernilai positif. Tapi bagi sebagian yang lain menganggap KBK sebagai ajang uji coba dan cenderung negative, sarat kepentingan politik.
[12] Di bidang pendidikan, perbedaan status ekonomi, sosial dan akses informasi serta kekuasaan berpengaruh terhadap layanan pendidikan yang diterima seseorang jika pemerintah tidak mengatasi keragaman tersebut. Lihat M. Habib Chirzin, "Pendidikan untuk Semua: Hak atas Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia" dalam Komnas HAM, Pendidikan untuk Semua Advokasi terhadap Kebijakan Pendidikan Nasional (Jakarta: Komnas HAM, 2005), p. 51-68.
[13] Alan Peshkin, "The Realtionship between Culture and Curriculum: A Many Fitting Thing" dalam Philip W. Jackson, Handbook of Research, p. 248.

Tidak ada komentar: