Rabu, Agustus 29, 2007

fakultas tarbiyah dan pendidikan kritis

FAKULTAS TARBIYAH DAN PENDIDIKAN KRITIS:
MEMBANGUN IKLIM PENDIDIKAN YANG KONDUSIF
Muqowim

Bagi Fakultas Tarbiyah, dan LPTK pada umumnya, diterbitkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mempunyai makna cukup signifikan. Pertama, UU tersebut menunjukkan adanya komitmen pemerintah secara de jure untuk memperbaiki kondisi pendidikan yang semakin menguatirkan. Sebab, sejauh ini masih muncul sikap paradoksal; di satu sisi semua orang meyakini bahwa melalui pendidikanlah semua SDM dalam semua bidang dihasilkan, seperti hukum, ekonomi, sains, budaya, dan bahkan politik, namun, di sisi lain, bidang ini hanya mendapatkan perhatian lebih menjelang pemilihan umum saja untuk mencari dukungan. Tidak mengherankan jika bangsa ini selalu tertinggal dengan pendidikan bangsa lain karena rendahnya perhatian terhadap sektor ini. Kedua, secara eksplisit UU mengamanatkan perlunya mengalokasikan anggaran minimal 20% dalam APBN/APBD. Namun, sebagaimana produk perundang-undangan lainnya, sejauh ini ketentuan ini belum dilaksanakan secara konsisten, bahkan masih jauh dari harapan, kecuali beberapa pemerintah daerah yang mempunyai komitmen tinggi dalam bidang pendidikan seperti Pemkot Yogyakarta yang mengalokasikan anggaran 23%. Ketiga, ada pengakuan secara eksplisit terhadap guru sebagai tenaga profesional yang sejajar dengan profesi lain. Konsekuensinya, untuk menjadi tenaga profesional ada persyaratan yang harus dipenuhi baik dari aspek kualifikasi akademik maupun kompetensi.
Menurut UU No. 14 tahun 2005, seorang guru profesional harus memenuhi kualifikasi akademik minimal S1 atau D4. Hal ini menuntut guru dalam jabatan (inservice) untuk meningkatan kualitas pendidikannya secara formal dengan melanjutkan studi pada Strata Satu. Meskipun demikian, di lapangan hal ini disikapi secara sembrono oleh para guru untuk melanjutkan jenjang pendidikan secara asal tanpa mempertimbangkan keahlian yang selama ini dikembangkan, sementara bagi lembaga pendidikan, mereka berlomba menawarkan program pendidikan S1 jarak jauh di berbagai daerah untuk menggaet mahasiswa sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan sisi kualitas lulusannya. Sebuah fenomena paradoks dengan upaya peningkatan mutu pendidikan itu sendiri! Di samping kualifikasi akademik, guru dituntut penguasaannya akan empat kompetensi pokok, yaitu pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Kompetensi pedagogik berarti bahwa seorang guru harus mempunyai kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik, sedangkan kompetensi kepribadian menyangkut kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Sementara itu, kompetensi profesional terkait dengan kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam, sedangkan kompetensi sosial merupakan kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Bertolak dari ketentuan tersebut, sebagai LPTK calon guru agama di sekolah dan madrasah Fakultas Tarbiyah sebaiknya segera membuat konsep yang dapat meningkatkan kualitas guru agama, mulai dari aspek filosofis sampai teknisnya. Sebab, ada kesan selama ini guru lebih menekankan aspek teknis mengajar, bukan filosofi tentang makna pendidikan, pembelajaran dan peserta didik. Guru tidak dapat disalahkan sebab dia pada dasarnya hanya sebagai produk, yang perlu dikritisi adalah produsennya, LPTK itu sendiri.
Kegagalan pemberlakuan kurikulum selama ini, misalnya, lebih disebabkan ketidaksiapan guru dalam memahami filosofi sebuah pendidikan dan kurikulum, sehingga perubahan kurikulum sama sekali tidak menjamin terjadinya perubahan kualitas pendidikan. Sebab, perubahan kurikulum tidak dibarengi dengan perubahan paradigma berpikir para guru. Untuk itu, LPTK harus membekali guru dalam hal kerangka berpikir dan filosofi pendidikan, bukan pertimbangan pragmatis asal jalan, lebih-lebih hanya berorientasi ekonomis. Sebab, LPTK merupakan filter bagi guru berkualitas. Jika filternya banyak yang bocor, maka kapan lagi kita berharap dunia pendidikan akan bangkit dari keterpurukan.
Perlu Pedagogi Kritis
LPTK perlu melihat tawaran paradigma pedagogi kritis (critical pedagogy) yang dilontarkan oleh Paulo Freire asal Brasil. Dalam Conternarratives (1996), Colin Lankshear, Michael Peters, dan Michele Knobel berpendapat bahwa ada enam ciri pedagogi kritis. Pertama, pendidikan pada dasarnya merupakan bentuk kritik sosial dan kultural. Salah satu tujuan pendidikan adalah rekonstruksi sosial. Lembaga pendidikan merupakan media yang diharapkan mampu memperbaiki dan mengkritisi berbagai persoalan yang muncul di masyarakat yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, berbagai persoalan yang berkembang dalam realitas empirik tersebut dibawa ke ruang kelas untuk dikritisi dan dicarikan jalan keluar melalui proses kodifikasi konteks. Hasil pembahasan ini kemudian ditawarkan dan dilaksanakan sebagai alternatif pemecahan. Proses ini tidak akan berjalan secara maksimal jika tidak ada kesadaran kritis dari praktisi pendidikan terutama guru/dosen dan peserta didik.
Kedua, eksistensi seseorang sangat terkait dengan masyarakat yang lebih luas baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, ataupun lembaga pendidikan. Artinya, kesadaran seseorang pada dasarnya merupakan cermin kesadaran kolektif yang dibentuk antara lain melalui keluarga, masyarakat, dan sekolah. Sebab, dia belajar dari orang di sekitarnya. Dalam konteks pedagogi kritis, tidak berkualitasnya pendidikan dan SDM guru lebih disebabkan oleh faktor struktural atau kultural. Untuk itu, proses pendidikan adalah upaya untuk ‘menyadarkan’ seseorang tentang kondisi dia yang sebenarnya.
Ketiga, fakta sosial tidak pernah dapat dipisahkan dengan ranah nilai. Ini berarti bahwa berbagai aktifitas yang terjadi dalam realitas-empirik merupakan perwujudan atau cermin nilai dari sang pelaku. Karena itu, menurut paradigma ini, ada hubungan yang erat antara tindakan dengan nilai, antara signifier dengan signified. Hubungan tersebut tidak selalu tetap (fixed) dan sering kali dimediasi oleh lingkaran produksi, konsumsi, dan relasi sosial. Untuk itu, pembacaan kritis terhadap sebuah fakta sosial harus selalu dilakukan. Sebagai contoh, terma buku ajar boleh jadi merupakan hal yang positif bagi pemerintah karena untuk meningkatkan kecerdasan rakyat. Namun bagi orangtua, buku ajar merupakan beban karena setiap tahun berganti dan mahal.
Keempat, bahasa merupakan pusat bagi formasi subyektifitas. Dalam perspektif ini kepentingan, kebutuhan, dan kecenderungan seseorang atau lembaga dimunculkan melalui media bahasa. Di sisi lain, bahasa pada dasarnya merupakan bentuk aksentuasi pemikiran seseorang yang kemudian disepakati bersama oleh masyarakat. Kata yang dimunculkan oleh sebuah komunitas belum tentu dimaknai secara persis sama oleh komunitas lain. Karena itu, sering kali dijumpai di masyarakat ada permasalahan yang muncul diakibatkan oleh perbedaan bahasa dan kultur.
Kelima, munculnya perbedaan status di masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial disebabkan oleh pemberian previlise secara tidak adil oleh pihak lain, seperti pihak birokrat, politisi, dan pemilik modal, karena kepentingan tertentu. Masalahnya, banyak anggota masyarakat yang menganggap perbedaan itu terjadi begitu saja, alami, dan niscaya. Dalam perspektif kritis, munculnya perbedaan tersebut disebabkan oleh perlakuan yang tidak adil dari penguasa. Untuk itu, masyarakat perlu disadarkan tentang kondisi ini. Ini tidak berarti bahwa semua anggota masyarakat harus sama, namun ketika cara mendapatkan kekayaan, status sosial, atau jabatan itu dilakukan secara wajar dan prosedural, tentu hal ini akan diterima.
Akhirnya, dalam perspektif kritis munculnya sebuah permasalahan di masyarakat harus dikaitkan dengan aspek lain. Memandang permasalahan dari satu segi saja sama halnya dengan menyederhanakan masalah. Proses pendidikan harus mampu melihat persoalan yang muncul di masyarakat dari banyak perspektif. Sebagai contoh, banyaknya guru yang “ngobyek” di luar profesi sebagai guru tidak dapat dilihat dari aspek profesionalisme dan etos kerja guru saja, namun perlu dikaitkan dengan masalah kebijakan pemerintah yang belum menghargai profesi guru, atau rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi ini.
Dalam konteks penyiapan guru berkualitas melalui LPTK yang sekarang sedang digodok formatnya, para perumus perlu mempertimbangkan enam karakter yang ada dalam pedagogi kritis tersebut agar menjadi "jiwa" kurikulum, sehingga ketika berbicara tentang kompetensi pedagogis sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang tidak terfokus pada masalah teknis mengajar, namun lebih pada paradigma dan filosofi pendidikan secara kritis. Dengan demikian, momentum penyiapan tenaga kependidikan yang qualified melalui LPTK tidak dilewatkan sehingga terbentuk guru yang kreatif, inovatif, dan kritis. Jika hal ini terwujud, maka pergantian sebuah kurikulum tidak akan menjadikan guru bingung dan gamang. Sebab, dia menyadari bahwa guru pada dasarnya adalah pembuat kurikulum!
Untuk mewujudkan paradigma di atas bagi calon guru agama, Fakultas Tarbiyah perlu membekali minimal lima perspektif kepada mahasiswa, yaitu filsafat, psikologi, sosiologi, antropologi, dan sejarah. Filsafat sebagai perspektif untuk menelaah berbagai persoalan pendidikan secara substansial, bukan artifisial dan fragmental, psikologi digunakan untuk melakukan treatment terhadap peserta didik agar tercipta suasana humanis dan menyenangkan, sosiologi dan antroplogi digunakan sebagai alat kontekstualisasi konsep pendidikan agar tidak anti realitas, dan sejarah diperlukan untuk melihat sebuah problem pendidikan secara komprehensif dengan masa lalu, sebab permasalahan dalam pendidikan tidak terlepas dari konteks sebelumnya. Kelima perspektif tersebut tidak hanya diwujudkan dalam kegiatan pembelajaran di kelas, tapi juga aktifitas di luar kelas seperti jurnal akademik dan forum-forum ilmiah semacam diskusi, seminar, workshop, dan kolokium.