Kamis, Juli 26, 2007

iain ke uin

IAIN MENJADI UIN: REDEFINISI ISLAMIC STUDIES
Muqowim

Berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 31 tahun 2002 status IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Peresmian perubahan nama ini dilakukan pada tanggal 8 Juni 2002 bersamaan dengan upacara Dies Natalis ke-45 IAIN Syarif Hidayatullah di kampus setempat (Kompas, 10 Juni 2002). Menurut Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A., perubahan ini dimaksudkan sebagai langkah awal untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu umum yang selama ini masih terpisah-pisah. Dengan status universitas tersebut berarti lembaga ini harus membuka fakultas-fakultas umum yang selama ini kurang disentuh oleh institusi IAIN.
Perubahan status menjadi universitas pada dasarnya merupakan cermin perubahan kerangka berpikir para pengelola lembaga IAIN terhadap pengembangan ilmu yang selama ini ada. Seharusnya, perubahan tidak sekedar secara legal-formal-administratif, tetapi justru yang terpenting harus dibarengi dengan perubahan bangunan ilmu yang akan dibangun dan ditradisikan melalui baju baru ini. Bahkan, sebelum perubahan status tersebut dilakukan seharusnya yang paling awal ditempuh adalah melakukan kaji ulang terhadap struktur keilmuan yang selama ini dikembangkan IAIN sekaligus mengadakan kajian intensif tentang struktur keilmuan baru yang akan ditawarkan melalui UIN. Hal ini jauh lebih penting ketimbang permasalahan lain seperti status formal lembaga, bangunan, sarana, dan sumber daya dosen, meskipun hal-hal tersebut juga harus diperhitungkan. Bahkan, kurikulum yang akan dibentuk pun pada dasarnya merupakan penjabaran saja dari struktur ilmu yang dibangun.
Secara keilmuan, perubahan status IAIN menjadi UIN merupakan sebuah perombakan terhadap makna kajian Islam (Islamic studies) yang selama ini dipahami oleh IAIN, khususnya, dan umat Islam pada umumnya. Di IAIN kajian Islam lebih dimaknai sebagai pendalaman dan pengembangan ilmu-ilmu yang merujuk secara langsung dari dua sumber pokok Islam, yakni al-Qur’an dan al-Hadis, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, tasawuf, kalam, dan bahasa Arab, atau yang lebih dikenal dengan istilah al-‘ulum al-naqliyyah. Ilmu-ilmu tersebut dianggap sebagai ilmu agama yang dapat mengantarkan seorang muslim menuju kesalehan. Bahkan, keilmuan tersebut dianggap sebagai “tiket menuju surga”, sementara disiplin ilmu di luar itu yang disebut dengan al-‘ulum al-‘qliyyah termasuk kategori sekuler, profan dan belum tentu menjamin orang Islam masuk surga. Pemahaman ini sedemikian kentalnya dalam masyarakat Islam Indonesia secara umum sehingga banyak orang Islam yang kurang tertarik mempelajari ilmu-ilmu umum.
Sebenarnya, perlunya perubahan status kelembagaan di atas mengimplikasikan adanya perombakan cara pandang terhadap makna kajian Islam (Islamic studies) yang selama ini dipahami oleh IAIN. Tanpa memahami makna tersebut, maka perubahan status IAIN menjadi UIN hanya sekedar tambal sulam yang tidak membawa perubahan lembaga secara berarti. Bahkan, sangat mungkin, jika tidak dilakukan kaji ulang, maka dalam prakteknya akan mengalami nasib yang sama dengan lembaga pendidikan tinggi yang selama ini membawa label Islam, seperti Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atau perguruan-perguruan tinggi yang selama ini di bawah koordinasi organisasi Muhammadiyah, di mana ada pemisahan fakultas agama secara tersendiri, dimana fakultas tersebut menjadi second choice para calon mahasiswa karena benchmarking-nya yang belum jelas.
Menurut Fazlur Rahman (1967) salah satu problem akut yang diderita oleh pendidikan Islam adalah adanya sistem dikotomi yang memisahkan secara kaku sistem pendidikan keagamaan seperti yang ditampilkan oleh lembaga pendidikan madrasah dan sistem pendidikan umum yang ditunjukkan oleh lembaga pendidikan sekolah. Lembaga pertama difokuskan pada pengembangan ilmu-ilmu agama guna mencetak ulama dan cenderung kurang peduli terhadap ilmu-ilmu umum, sementara lembaga kedua mengajarkan ilmu-ilmu umum dengan orientasi menghasilkan ilmuwan dan cenderung kurang memperhitungkan ilmu-ilmu agama. Adanya pemisahan secara rigid ini pada akhirnya hanya menghasilkan orang yang berkepribadian ganda (split personality) di mana ia hanya paham dan menguasai salah satu tradisi keilmuan saja, baik ilmu agama ataupun umum saja.
Munculnya dikotomi sistem pendidikan tersebut sebenarnya berawal dari pengambilan cara pandang (perspective) dan konsep Barat terhadap kehidupan. Secara historis, ada sejarah sekulerisasi di Barat Kristen di mana muncul dua klaim kebenaran dalam ilmu pengetahuan, yakni kebenaran pihak gereja, yang meyakini kebenaran ilmu pengetahuan bersumber dari ajaran dan petunjuk Bible yang tidak perlu dibuktikan secara ilmiah namun harus diterima secara taken for granted, dan kebenaran ilmuwan yang berpegang pada aturan dan kaidah ilmiah di mana kebenaran harus dapat diverifikasi dan dijelaskan secara rasional-obyektif-empirik. Dalam kenyataannya, kedua arus ‘pemilik’ kebenaran tersebut terjadi ketegangan, perang pemikiran dan adu argumentasi yang cukup sengit sehingga berakibat pada gugurnya beberapa martir dari kalangan ilmuwan, seperti Galileo dan Copernicus. Meskipun pada akhirnya klaim kebenaran ilmuwan tentang bentuk bumi dan sistem tata surya yang terbukti benar dan diakui gereja, namun pengaruh perdebatan tersebut masih terasa di mana ada wilayah kebenaran milik ilmuwan dan ada wilayah kebenaran milik gereja. Dengan melihat kedua kecenderungan tersebut, maka di dunia Barat Kristen, agama hanya menjadi salah satu aspek kehidupan, selain ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Tidak mengherankan jika negara tidak terlalu turut campur dalam persoalan agama, sebab ia berada pada private space, bukan public space, terserah kepada individu masing-masing.
Cara pandang tersebut sangat berbeda dengan konsep yang ditawarkan Islam di mana agama yang bersumberkan pada al-Qur’an merupakan inspirasi pokok yang harus diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan. Inna shalati wa-nusuki wa-mahyaya wa-mamati lillahi rabbil ‘alamin, sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan mati orang Islam adalah untuk Tuhan semesta alam. Segala aktifitas keduniaan akan bernilai ibadah selama diniatkan untuk mengabdi kepada-Nya, apapun jenisnya, misalnya kegiatan politik, ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, dan hukum. Bahkan, aktifitas yang secara lahiriah merupakan kegiatan ritual tidak dianggap bermakna ibadah selama niat dan orientasinya keliru, seperti untuk kesombongan, pamer dan sebagainya. Dengan pemahaman yang demikian, maka tidak pada tempatnya menjadikan agama sebagai salah satu bidang kehidupan, sebab ia harus menginspirasi dan inheren dalam setiap aktifitas kemanusiaan umat Islam.
Dengan pemikiran tersebut, maka kajian Islam (Islamic studies) tidak hanya terbatas pada keilmuan yang selama ini dipahami dan dikembangkan di lingkungan IAIN secara umum, yakni al-‘ulum al-naqliyyah saja, namun juga al-‘ulum al-‘aqliyyah yang selama ini banyak dikaji di lembaga-lembaga pendidikan umum yang dianggap sekuler. Pemahaman semacam ini senada dengan yang pernah dilontarkan oleh Nasr (1981) bahwa studi Islam tidak hanya mencakup “ilmu-ilmu keagamaan” saja, namun juga termasuk ilmu-ilmu kealaman, seperti astronomi, kimia, fisika, geografi, kosmologi, dan seterusnya. Sebab, hal ini pernah di kembangkan pada periode Islam klasik dimana peradaban Islam mengalami puncak kejayaan (the Golden Ages). Ketika itu muncul pemikir Muslim yang berparadigma non-dikotomik dalam memandang kehidupan, misalnya Ibnu Sina, Ibn Rusyd, al-Kindi dan al-Ghazali.
Sebagai konsekuensi dari pemikiran tersebut, di mana ajaran agama menjadi panduan dan spirit semua aktifitas kehidupan, maka dalam konteks kelembagaan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, tidak perlu ada fakultas yang secara khusus ‘ngurusi’ agama. Sebab, dengan adanya fakultas khusus agama ini menunjukkan adanya pengakuan dikotomi pendidikan agama dan umum. Karena itu, fakultas-fakultas yang harus dibuka justru ilmu-ilmu yang selama ini danggap profan, seperti kedokteran, politik, hukum, filsafat, pendidikan dan seterusnya. Beberapa disiplin keilmuan yang selama ini dikembangkan di IAIN semacam fiqh, tafsir, kalam, dan ilmu hadis harus dipandang sebagai disiplin ilmu sebagai produk pemikiran kreatif umat Islam, bukan sebagai ilmu agama yang pasti benar sebab ia merupakan hasil dialektika keilmuan ilmuwan muslim pada masanya. Karena itu, pengembangan “ilmu-ilmu agama” dan ilmu-ilmu non-agama sangat bergantung pada kreatifitas berpikir umat Islam.
Persoalan berikutnya, sebagai konsekuensi dari gagasan di atas, perlunya melakukan perombakan kurikulum yang selama ini masih bernuansa dikotomik. Kajian Islam yang selama ini dipahami dan dikembangkan IAIN justru menjadi materi pokok (core subjects) yang akan menjadi petunjuk dalam melakukan elaborasi terhadap disiplin keilmuan lain yang selama ini dianggap sekuler. Problem besar selanjutnya justru terletak pada ketersediaan sumber daya manusia yang berparadigma non-dikotomik tersebut. Sebab, mereka harus bertitik tolak dari semangat ajaran al-Qur’an dalam mengembangkan ilmu yang diminati. Dengan demikian, adanya proyek islamisasi ilmu yang selama ini dikembangkan menjadi tidak relevan lagi, sebab yang perlu dirombak adalah mind-set ilmuwan Islam itu sendiri, bukan ilmu yang hanya menjadi produk pemikiran. Selain itu, sistem pendidikan tingkat dasar sampai sekolah lanjutan atas yang menghasilkan produk individu dengan kerangka berpikir dikotomik juga menjadi problem tersendiri.
Meskipun demikian, di tengah maraknya wacana pendidikan alternatif sebagai solusi terhadap problem pendidikan yang terjadi di Indonesia, maka perubahan status IAIN menjadi UIN menjadi sebuah pilihan yang harus diambil. Perlunya lembaga pendidikan alternatif mengimplikasikan adanya pola pendidikan yang berbeda dengan sistem pendidikan yang selama ini ada. Karena itu, lembaga UIN seharusnya tidak setengah hati mengambil prakarsa dalam perombakan ini kalau tidak ingin dikatakan sama saja dengan lembaga sebelumnya, hanya beda baju saja. Nah, perbedaan mendasar yang perlu ditunjukkan adalah pendefinisian ulang makna Islamic studies yang akan dikembangkan melalui lembaga dengan format baru tersebut.

Berdasarkan makna kajian Islam di atas, maka Pembidangan Ilmu dalam Islam dapat dipetakan berikut ini:

‘Ulum al-Qur’ān
a. Tarikh al-Qur’an
b. ‘Ilm Qira’at
c. Tafsir
d. Manahij al-Tafsir, dst.
‘Ulum al-Hadith
a. Tarikh al-Hadith
b. Tarikh al-Ruwwah
c. Rijal al-Hadith, dst.
Ilmu Kalam
Ilmu Tasawuf
Ilmu Imajinatif
a. Seni
b. Bahasa dan Sastra
Ilmu Sosial-Humaniora
a. Filsafat
b. Hukum
c. Politik dan Pemerintahan
d. Sosiologi
e. Antropologi
f. Psikologi
g. Ekonomi
h. Pendidikan
i. Sejarah dan Budaya
Ilmu Alam (Teoritis)
a. Matematika
b. Fisika
c. Kimia
d. Biologi
e. Astronomi
f. Geografi
g. Geologi
Ilmu Terapan
a. Kedokteran
b. Rekayasa dan Teknologi (Teknik Sipil, Teknik Industri, Aeronautika, Teknik Mesin, dan seterusnya)
Ilmu Praktis
a. Perdagangan
b. Perpustakaan
c. Administrasi
d. Komunikasi, dst.

Catatan:
1. Semua ilmu tersebut dikembangkan berdasarkan nalar manusia yang terinspirasi dari semangat ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadis. Karena itu, dengan model ini tidak ada lagi dikotomi ilmu, yang ada kesatuan dan hirarki ilmu.
2. Ketika dijabarkan dalam bentuk kurikulum, ilmu-ilmu al-Qur’an dan al-Hadis menjadi materi pokok (core subjects) yang harus dipelajari oleh setiap orang Islam sebelum mereka memperdalam ilmu-ilmu di bawahnya sebagai pilihan. Perlu dibuat standar kemampuan minimum yang harus dimiliki oleh peserta didik. Materi minimal yang harus dikuasai mencakup Ulum al-Qur’an, Ulum al-Hadith, Tasawuf, Hukum, Bahasa Arab, Sejarah dan Budaya, Filsafat, Ilmu Kalam, dan Geografi.
3. Fakultas pada dasarnya merupakan penjabaran dan pengembangan lebih jauh dari setiap disiplin keilmuan di atas, baik satu disiplin ilmu ataupun ‘perkawinan dari dua disiplin’.


Kotagede, 25 Juni 2002

Tidak ada komentar: