Kamis, Juli 26, 2007

lembaga pendidikan islam klasik

POTRET TRADISI KEILMUAN DALAM
INSTITUSI PENDIDIKAN TINGGI ISLAM KLASIK

Oleh Muqowim[1]

Tulisan berikut merupakan book review dari
Karya George Makdisi, The Rise of Colleges Institutions of Learning
in Islam and the West, yang diterbitkan oleh
Edinburgh University Press tahun 1981.

Karya ini dikarang oleh seorang sejarawan Barat yang concern terhadap classical legacy of Islam terutama yang berkaitan dengan sejarah perkembangan institusi pendidikan Islam. Keseriusannya terhadap persoalan tersebut selain terlihat dari buku ini juga dapat dilihat dari tulisan-tulisan lainnya seperti The Madrasa as a Charitable Trust and the University as a Corporation in the Middle Ages,[2] The Topography of Eleventh-Century Baghdad: Materials and Notes,[3] Suhba et Riyasa dans l-Enseignement Medieval,[4] The Madrasa in Spain: Some Remarks,[5] Muslim Institutions of Learning in Eleventh-Century Baghdad,[6] Madrasa and University in the Middle Ages,[7] Law and Tradisionalism in the Institutions of Learning of Medieval Islam,[8] dan An Islamic Element in the Early Spanish University.[9] Mayoritas tulisan tersebut termuat dalam berbagai jurnal ilmiah. Buku ini merupakan karya monumentalnya yang mencakup berbagai gagasannya tentang berbagai persoalan pendidikan Islam pada era Klasik. Untuk mewujudkan tulisan ini ia banyak dibantu oleh ilmuwan lain seperti W. Montgomery Watt[10] dan A.R. Turnbull dari Edinburgh University.
Sebagai seorang sejarawan tampak sekali bahwa ia konsisten menggunakan pendekatan sejarah (historical approach) yang cenderung synchronic. Hal ini dimaksudkan agar fakta sejarah itu sendiri yang berbicara sesuai dengan locus dan tempus-nya sendiri.[11] Sikap tersebut bukan saja terlihat dari karya yang terbit pada 1981 ini, namun juga pada karya-karya sebelumnya.[12] Namun demikian, ketika ia memaknai suatu fakta sejarah ipso facto menggunakan kerangka berpikir dari konteks yang berbeda. Karena itu, ia juga menggunakan pendekatan diachronic.
Menurut Makdisi, kajian dalam buku ini dilakukan untuk mencapai pemahaman yang lebih baik (better understanding) tentang masa kejayaan yang pernah dicapai umat Islam, khususnya yang berhubungan dengan sejarah intelektual/keilmuan. Menurutnya, berbagai gerakan intelektual yang tumbuh subur pada masa tersebut menjadi lebih jelas ketika dikaji dan dipahami dengan mengacu pada berbagai kekuatan (kelompok) yang menghasilkan produk ilmiah beserta karya-karyanya. Bentuk dan isi karya-karya intelektual tersebut menggambarkan dengan jelas dan mendetail berbagai hal yang berkaitan dengan pendidikan pada masa itu seperti metode pengajaran, isi kajian, dan komposisinya.
Sebenarnya buku ini bukanlah merupakan sebuah survey menyeluruh tentang institusi pendidikan Islam. Namun, menurut Makdisi banyak kajian monografik yang selama ini dilakukan oleh para sejarawan dipastikan masih belum memadai.[13] Kajian yang dibuat di sini kurang lebih hanya mengkhususkan pada lembaga pendidikan tertentu, yakni pendidikan tinggi Muslim, khususnya dalam bentuk lembaga pendidikan madrasah, dan tentang metode skolastik yang menjadi produknya. Meskipun berbagai acuan juga dibuat pada periode dan tempat yang lain, namun perhatian utama Makdisi adalah pada perkembangan kelembagaan pendidikan Islam pada abad ke-11 di Baghdad,[14] yaitu waktu dan tempat yang memperlihatkan berkembangnya institusi madrasah[15] dan metode skolastik, walaupun keduanya telah berkembang pada abad sebelumnya. Harapan Makdisi dengan karyanya ini adalah bisa menunjukkan bahwa madrasah merupakan perwujudan dari ilmu agama Islam yang ideal, yaitu hukum Islam (fiqh), dan perwujudan dari orientasi keagamaan Islam yang ideal, yakni tradisionalisme. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa perpaduan hukum Islam dan tradisionalisme telah menghasilkan metode skolastik yang merupakan produk khusus dari Abad Pertengahan (Middle Ages)-Barat-dan era Klasik Islam.
Bagi Makdisi, sejarah institusi pendidikan Islam mau tidak mau harus dikaitkan dengan sejarah agama Islam itu sendiri, dan perkembangannya sangat terkait dengan interaksi dari berbagai gerakan keagamaan, baik yang bersifat hukum maupun teologis. Oleh karena itu, pada bagian awal dari karya ini, yakni tiga bagian pertama, menggambarkan interaksi ini yang mana mengarah pada perkembangan pendidikan tinggi, memperkenalkan metode pengajaran dan membentuk masyarakat skolastik. Di bagian empat ia mulai menggambarkan banyak kesejajaran antara institusi-institusi Islam dengan institusi yang dikembangkan di kemudian hari oleh dunia Barat Kristen.[16] Yang dimaksud Barat di sini adalah Eropa, yakni Perancis, Inggris, dan Amerika. Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pembahasan yang dilakukan oleh Makdisi dapat dilihat isi buku berikut ini.
Buku setebal 377 halaman ini terdiri dari lima bab termasuk kesimpulan. Bab Satu sampai Tiga masing-masing terdiri dari tiga sub-bab, dan dari sub-bab ini dibagi lagi ke dalam beberapa sub-bab. Bab Empat terdiri dari empat sub-bab dan bab terakhir (Lima) adalah kesimpulan. Dari persentase pembahasan saja nampak bahwa ia lebih banyak mengkaji lembaga pendidikan yang berkembang di dunia Islam. Setelah itu baru ia kaitkan dengan berkembangnya kelembagaan pendidikan di dunia Barat.
Bab I, “Institutions”,[17] terdiri dari tiga persoalan, yakni tentang munculnya mazhab-mazhab hukum, tipologi institusi pendidikan, dan hukum perwakafan. Persoalan pertama membahas berbagai mazhab yang muncul pada periode awal yang sebenarnya banyak didominasi oleh individual mazhab, namun dalam perkembangan berikutnya menjadi aliran mazhab yang mengikuti personal mazhab tertentu yang hanya terdiri dari empat mazhab besar, yakni mazhab Syafi’i, mazhab Hanafi, mazhab Hanbali, dan mazhab Maliki.[18] Persoalan kedua mengkaji tipologi lembaga pendidikan. Makdisi mengelompokkan lembaga pendidikan di dunia Islam ke dalam dua kategori, yakni lembaga pendidikan yang muncul sebelum munculnya madrasah dan lembaga madrasah itu sendiri.[19] Makdisi cenderung menganggap bahwa madrasah merupakan tonggak bersejarah bagi berkembangnya institusi pendidikan formal di dunia Islam.[20] Tipe yang pertama, yakni periode pra-madrasah, lembaga pendidikan Islam yang ada antara lain berupa majlis-majlis ilmu, masjid, jami’, halaqah, maktab, kuttab, lembaga-lembaga sufi seperti zawiyah, ribat, dan khan. Tempat-tempat tersebut merupakan lembaga pendidikan yang tidak memasukkan ilmu-ilmu umum (foreign sciences) dalam kajiannya. Sedangkan lembaga pendidikan yang memasukkan ilmu-ilmu umum terdiri dari perpustakaan dan rumah sakit.[21] Sedangkan persoalan ketiga pada Bab Satu membicarakan hukum perwakafan, baik mengenai pendirinya, isinya, obyek yang diwakafkan, motif dari para pendirinya, dan sebagainya.
Bab II, “Instruction,”[22] mengkaji tentang pengajaran di lembaga pendidikan yang meliputi tiga persoalan. Pertama, pembagian bidang-bidang ilmu pengetahuan, seperti yang dilakukan oleh Ibn Butlan, subordinasi seni sastra, dan hubungan wakaf dengan pembagian yang dikotomik tentang ilmu pengetahuan. Kedua, berkaitan dengan pengorganisasian pendidikan, baik dari segi kurikulum, prosedur kelas, pengajaran pada hari biasa dan hari libur, dan tahun-tahun lama belajar. Ketiga, tentang metodologi pendidikan. Yang dibahas pada bagian ini antara lain tentang metode memorizing (hafalan) dan caranya, seperti repetisi, memahami, dan mudhakarah. Selain itu, bagian ini membahas juga metode skolastik, baik dari segi asal-usulnya maupun perkembangannya, seperti ta’liqah,[23] ri’asah,[24] suhbah,[25] dan ijazah.[26]
Bab III, “The Scholastic Community,”[27] membahas tentang masyarakat skolastik. Ada tiga hal yang menjadi fokus kajian di bagian ini, yaitu dari segi guru (profesor); mahasiswa; dan, tempat, kedudukan dan fungsi guru. Tentang profesor, yang dibicarakan adalah mengenai prosedur penetapannya, statusnya dalam masyarakat,[28] sumber pendapatan, seperti biaya dari mahasiswa (semacam SPP), gaji pensiun, gaji yang diwakafkan, dan anggaran dari lembaga. Kemudian dibahas juga tentang ketidakstabilan pendapatan, seperti banyaknya jabatan dan kemampuan dalam membagi jabatan.[29] Selain itu, dibahas juga bagaimana cara memperoleh akses ke jabatan profesor (professorship), antara lain dengan jalur turunan,[30] obral,[31] dan pelanggaran lainnya. Mengenai persoalan mahasiswa, yang dibahas adalah tentang klasifikasinya, beberapa sisi kehidupan mahasiswa, dan kondisi keuangannya.[32] Ia mengklasifikasikan mahasiswa ke dalam lima kategori yaitu level mahasiswa yang relatif, sebagai penerima beasiswa, sebagai foundationer yang meliputi mutafaqqih[33] dan faqih,[34] sebagai peserta dalam kelas, dan terma lain untuk mahasiswa. Beberapa aspek kehidupan mahasiswa yang dibahas berkaitan dengan mahasiswa yang malas dan para murid sufi. Sedangkan mengenai kondisi keuangan mahasiswa disebutkan adanya dukungan dari para profesor, adanya patron dari orang kuat, saling bantu antar mahasiswa, orang tua yang kaya, dan lembaga yang diwakafkan.
Adapun bagian ketiga dari Bab III adalah mengenai tempat, kedudukan, dan fungsi profesor. Ada tiga hal yang dibahas dalam hal ini, yaitu posisi yang berkaitan dengan hukum, posisi yang berkaitan dengan bidang lain, seperti hadis, dan kedudukan lainnya, yakni selain kategori yang pertama dan kedua. Posisi yang berkaitan dengan hukum antara lain disebut dengan istilah mudarris,[35] na’ib mudarris,[36] mu’id,[37] mufid,[38] ra’is,[39] mufti,[40] qadi (hakim),[41] shahid (saksi),[42] dan mutasaddir.[43] Posisi yang berkaitan dengan bidang lain (selain hukum), seperti shaikh al-hadith (profesor dalam bidang hadis), mustamli,[44] mufid,[45] nahwi (ahli dalam bidang nahwu), shaikh al-qira’ah (profesor dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an),[46] shaikh al-ribat,[47] khatib, imam, mu’allim, mu’addib, dan faqih.[48] Sedangkan mengenai kedudukan lainnya yang dimiliki oleh ilmuwan ketika itu adalah[49] jabatan arif (monitor), naqib (kepala bangsawan), katib al-ghaibah (orang yang bertugas mengabsen murid yang tidak hadir), nasikh (orang yang bertugas mengkopi suatu naskah), warraq (orang yang bertugas menjual buku dan mengkopi), korektor, dan khadim al-khanqah.[50]
Setelah membahas berbagai persoalan yang terjadi dalam lembaga pendidikan Islam, maka pada Bab IV, “Islam and the Christian West,” Makdisi mengkaji tentang (tradisi keilmuan) di dunia Islam dan Barat Kristen.[51] Ada empat hal yang dibicarakan di sini, termasuk pengantar, yaitu institusi, pengajaran, dan masyarakat skolastik. Mengenai kelembagaan, ia mengemukakan empat persoalan, yakni universitas sebagai bentuk korporasi, universitas/college sebagai lembaga yang diwakafkan, dan wakaf di dunia Islam Barat serta dua universitas di Eropa selatan. Bagian pengajaran berkaitan dengan persoalan tradisi keilmuan yang berkembang di dunia Barat, seperti mengenai perkuliahan, pembuatan laporan, metode skolastik sebagai produk jadi, fakultas-fakultas yang menjadi unggulan seperti fakultas kedokteran di Salerno, fakultas hukum di Bologna, dan tentang kemunduran ilmu sastra serta fenomena lainnya. Sedangkan mengenai masyarakat skolastik, ia mengkaji tentang persoalan profesor dan surat ijin mengajar (license to teach), serta mufti, magister, dan magisterium.
Setelah mengemukakan empat bab tentang lembaga pendidikan tinggi di dunia Islam yang dibandingkan dengan di dunia Barat, Makdisi mengakhiri kajiannya dengan kesimpulan. Setelah bab kesimpulan, ia menambahkan dua buah Appendix dalam bukunya. Pertama, berisi tentang review terhadap penelitian terdahulu mengenai lembaga madrasah, misalnya kajian yang dilakukan oleh Julian Ribera, Max van Berchem, Ignaz Goldziher, J. Pedersen, dan Youssef Eche.[52] Sedangkan Appendix yang kedua berkaitan dengan sumber terbaik mengenai college yang dilakukan oleh Nu’aimi dengan karyanya Daris.[53] Dalam karya tersebut Nu’aimi memberikan data tentang adanya 128 college dalam bidang hukum untuk empat mazhab Sunny, dengan perincian 61 mazhab Shafi’i, 52 mazhab Hanafi, 11 mazhab Hanbali, dan 4 mazhab Maliki, yang didirikan antara tahun 490 - 890 H/1010-1487 M. Selain itu, karya tersebut juga memberikan data tentang berbagai institusi seperti dar al-qur’an (7 buah), dar al-hadith (16 buah), kombinasi dua lembaga tersebut (3 buah), lembaga-college kedokteran (3 buah), ribat (21 buah), zawiyah (26 buah), turbah (79 buah), dan masjid-masjid di Damaskus dan kota Syria lainnya (26 buah). Ada tiga karya lainnya tentang institusi di Mesir yang dibuat oleh Gary Leisser, Islam di Spanyol oleh Kay Heikkinen dan Michael Lenker.
Ketika membahas tentang tradisi keilmuan di dunia Islam pada periode klasik, Azyumardi Azra[54] mengatakan bahwa George Makdisi termasuk di jajaran pemikir yang mengkhususkan kajiannya pada sejarah perkembangan pendidikan Islam, selain Muniruddin Ahmed,[55] Bayard Dodge,[56] Michael Stanton,[57] Ahmad Syalabi,[58] A.S. Tritton,[59] dan A.L. Tibawi.[60] Bahkan, kata Azra lebih lanjut, buku yang ia tulis ini telah menghabiskan sebagian besar energi dan waktunya. Meski demikian, Makdisi sebagian besar hanya meng-cover perkembangan kelembagaan pendidikan Islam yang mengkhususkan pada ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan hubungan antara institusi pendidikan Islam dengan pengembangan ilmu-ilmu sains hanya sedikit sekali disinggung.
Terlepas dari kritik Azra tersebut, buku ini layak dibaca dan dicermati bagi para pemerhati tradisi pendidikan yang berkembang di dunia Islam, khususnya pada era klasik. Ada beberapa pertimbangan yang membuat karya ini menarik. Pertama, buku ini dapat dijadikan bahan pembanding dengan karya sejenis yang dihasilkan oleh para pemikir Muslim. Kedua, dari segi referensi, Makdisi menggunakan rujukan karya-karya standar baik yang berasal dari pemikir Muslim maupun Barat. Ia banyak menggunakan karya-karya klasik Islam seperti karya-karya Ibn Muflih (al-Adab al-Shar’iya wa ‘l-Minah al-Mar’iya), al-Syirazi (al-Tanbih fi ‘l-Fiqh ‘ala Madhhab al-Imam al-Shafi’i), al-Baghdady (al-Faqih wa ‘l-Mutafaqqih), Abu Ya’la (Ahkam al-Sultaniya), al-Maqdisi (Ahsan al-Taqasim fi Ma’rifat al-Aqalim), Ibn Kathir (al-Bidaya wa ‘l-Nihaya fi ‘l-Tarikh), Ibn Nadhim (al-Fihrist), Ibn ‘Aqil (Kitab al-Jadal), Yaqut (Irshad al-Arib ila Ma’rifat al-Adib), Ibn Athir (al-Kamil fi ‘l-Tarikh), al-Maqrizi (al-Mawa’iz wa ‘l-I’tibar bi-Dhikr al-Khitat wa ‘l-Athar), dan sebagainya. Akhirnya, semoga karya George Makdisi ini menjadi an inspiring work bagi para pemerhati dan pelaku pendidikan di dunia Islam sehingga tidak lupa dengan tradisinya sendiri.

Wallahu a’lam bi ‘l-Sawab.

[1] Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan kini sebagai Peserta Program Doktor (S3) Program Pascasarjana di IAIN yang sama.
[2] George Makdisi, dalam Correspondence d’Orient, no. 11. Actes du Ve Congres International d’Arabisants et d’Islamisants. Brussel, 31 August – 6 September 1970: pp. 329-37.
[3] George Makdisi, dalam Arabica, VI, 2 (1959): pp. 179 – 197; VI, 3 (1959): pp. 281 – 309.
[4] George Makdisi, dalam Recherches d’Islamologie: Recueil d’articles offerts à Georges C. Anawati et Louis Gardet par leurs collègues et amis. Louvain et Louvain-La-Neuve: Editions Pecters et Editions de Philosophie 1978.
[5] George Makdisi, dalam Revue de l’Occident Musulman et de la Mèditeranèe, nos. 15-16, Extrait des Mèlanges le Tourneau. Aix-en-Provence 1973: pp. 153-8.
[6] George Makdisi, dalam BSOAS, vol. 24 (1961), pp. 1-56.
[7] George Makdisi, dalam Studia Islamica (Memoriae J. Schacht Dedicato), XXXII (1970), pp. 155-64.
[8] George Makdisi, dalam Theology and Law in Islam (Wiesbaden: O. Harrassowitz, 1971), 75-88.
[9] George Makdisi, dalam Islam: Past Influence and Present Challenge (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), 126-37.
[10] William Montgomery Watt termasuk salah seorang sejarawan Barat yang cukup antusias mengkaji sejarah peradaban Islam. Hal ini dapat dilihat dari beberapa buku yang ia tulis, seperti Majesty that was Islam, Muslim Intellectual: A Study of al-Ghazali, The Faith and Practice of al-Ghazali (Sebuah karya terjemahan dari dua buku al-Ghazali yaitu al-Munqidh min al-Dalal dan Bidayah al-Hidayah), dan Islamic Philosophy and Theology.
[11] Berbeda dengan diachronic dan anachronic. Yang pertama cenderung menafsirkan fakta sejarah dengan konteks yang berbeda dengan fakta sejarah itu sendiri, sedangkan yang kedua cenderung tidak mempertimbangkan fakta yang ada. Untuk selanjutnya, lihat R. Stephen Humphreys, Islamic History: A Framework for Inquiry (New Jersey: Princeton University Press, 1991).
[12] Sebelum karya ini muncul, Makdisi telah menerbitkan sekitar 20 karya ilmiah dengan pendekatan sejarah yang tersebar dalam bentuk buku dan artikel di berbagai jurnal. Lihat George Makdisi, The Rise of Colleges (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981), 345-54.
[13] Ibid., xiii.
[14] Yakni pada masa pemerintahan Abbasiyah.
[15] Sebenarnya lembaga pendidikan madrasah bukan hanya muncul pada abad ke-11 di Baghdad, sebab pada abad sebelumnya telah muncul lembaga ini. Namun demikian, harus diakui bahwa anggapan mengenai munculnya madrasah pada abad ke-11 ini ditandai dengan berdirinya Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Wazir Nizam al-Mulk pada tahun 1066 M. Tentang adanya fenomena madrasah sebelum abad ke-11, lihat penelitian yang dilakukan oleh Richard W. Bulliet, The Patricians of Nishapur: A Study in Medieval Islamic Social Society (Cambridge: Harvard University Press, 1972), 48; Naji Ma’ruf, Madaris Makkah (Baghdad: Matba’at al-Irshad, 1966) dan Madaris Qabl al-Nizamiyah (Baghdad: Matba’at al-Jam’ al-‘Ilm al-‘Iraqi, 1393/1973).
[16] Sebuah kajian cukup komprehensif tentang hubungan antara tradisi keilmuan dalam Islam dengan dunia Barat dilakukan oleh Nakosteen. Lihat Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350, with an Introduction to Medieval Islam Education, terj. Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah (Surabaya: Risalah Gusti, 1996).
[17] George Makdisi, The Rise, 1-74.
[18] Ibid., 2-3.
[19] Ibid., 9-10.
[20] Untuk kajian mengenai madrasah sebagai sebuah bentuk lembaga pendidikan formal di dunia Islam, lihat Abdullah Aly, “Pendidikan Formal dalam Islam: Kajian atas Madrasah Nizamiyah,” dalam Profetika Jurnal Studi Islam, Vol 2, No. 2 Juli 2000: 240-257.
[21] G. Makdisi, The Rise, 24-7.
[22] Ibid., 75-152.
[23] Ta’liqah adalah metode yang digunakan oleh para ilmuwan dengan cara mengomentari dan mendebat pendapat ilmuwan lain. Lihat G. Makdisi, The Rise, 116-7.
[24] Ri’asah yaitu metode yang digunakan oleh para ulama dalam mengkader generasi penerusnya, yaitu dengan menjadikan kader tersebut sebagai pemimpin suatu majlis atau semacamnya. Ibid., 129.
[25] Suhbah yaitu metode persahabatan antara seorang guru dengan murid dalam mengembangkan ilmu. Ibid., 128.
[26] Ijazah adalah suatu pengakuan atau pengesahan dari seorang guru kepada murid bahwa ia sudah berhak menyebarkan atau mengajarkan ilmu yang telah ia peroleh. Ijazah juga bisa disebut dengan ijin mengajar. Di sini ada perbedaan antara tradisi dalam Islam dengan tradisi Barat (Kristen). Kalau dalam tradisi Islam, ijin mengajar cukup dari guru saja, sementara dalam tradisi Barat, ijin mengajar harus disahkan oleh pihak gereja. Ibid., 140-5.
[27] G. Makdisi, The Rise, 153-223.
[28] Mengenai status sosial para sarjana Muslim dalam masyarakat ini dibahas secara khusus oleh Muniruddin Ahmed ketika membahas karya Khatib al-Baghdady, yakni Tarikh Baghdad. Untuk selanjutnya, lihat Munir-ud-Din Ahmed, Islamic Education and Scholars’ Social Status (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1966.
[29] Yang dimaksud di sini adalah jabatan yang dipegang secara bergilir oleh para ilmuwan. Waktunya relatif pendek. G. Makdisi, The Rise, 168.
[30] Yaitu diwariskan dari orang tuanya. Ibid., 179-80.
[31] Mengenai hal ini sebenarnya termasuk pelanggaran, dan hanya merupakan kasus, yakni cara menduduki jabatan tertentu dengan cara ditawarkan. Ibid., 171.
[32] Persoalan ini dibahas pada halaman 171-86.
[33] Mutafaqqih yaitu mahasiswa yang mempunyai pengetahuan agama relatif sedikit dan dangkal. Ibid., 175.
[34] Faqih yaitu mahasiswa yang mempunyai tingkat pengetahuan agama relatif tinggi dan sudah bisa membuat keputusan sendiri dalam persoalan hukum Islam, misalnya.
[35] Mudarris adalah orang yang mengajar dalam bidang hukum. Ibid., 188.
[36] Na’ib mudarris yaitu wakil dari mudarris. Ibid.
[37] Mu’id adalah asisten dari mudarris yang bertugas mengulangi apa yang dikatakan olehnya. Ibid., 193.
[38] Mufid juga merupakan salah satu asisten mudarris yang bertugas menjelaskan apa yang disampaikan oleh mudarris dalam bidang hukum.
[39] Ra’is yaitu jabatan semacam pemimpin para ulama di suatu kota, seperti Nishapur. Sebagai contoh yaitu kasus Abu Sa’id al-Shamati (w. 454/1062) yang dipilih oleh para Syaikh sebagai na’ib ra’is di Nishapur. Ibid., 197.
[40] Mufti adalah jabatan ahli hukum yang bertugas mengeluarkan fatwa dari suatu persoalan. Ibid., 197-9.
[41] Ibid., 200.
[42] Ibid., 201.
[43] Istilah ini digunakan untuk memaknai kedudukan yang tertinggi atau aneh. Disebut aneh karena orang yang menempati belum saatnya menempati akibat ditinggal mati oleh gurunya, alias masih prematur. Selain itu, terma ini juga digunakan atau diterapkan pada orang gila yang mengajarkan hukum di sekolah. Ibid., 203.
[44] Orang yang bertugas mengulangi apa yang didiktekan oleh guru. Ibid., 213.
[45] Orang yang bertugas menjelaskan maksud dari profesor hadis. Ibid., 214.
[46] Ibid., 215.
[47] Profesor dalam bidang sufi yang memimpin suatu pondok sufi. Ibid., 216.
[48] Mu’allim, mu’addib, dan faqih adalah jabatan atau sebutan guru untuk sekolah dasar. Ibid., 219.
[49] Lihat Ibid., 220-223.
[50] Orang yang bertugas membuat administrasi pondok sufi. Ibid., 223.
[51] Bagian ini dibahas dari halaman 224-280.
[52] Ibid., 292-311.
[53] Ibid., 312.
[54] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium (Jakarta: Logos, 1998), x.
[55] Munir-ud-Din Ahmed, Muslim Education and Scholars’ Social Status (Zurich: Verlag ‘Der Islam’, 1966).
[56] Bayard Dodge, Muslim Education in Medieval Times (Washington, D.C.: The Middle East Institute, 1962).
[57] Michael Stanton, Higher Learning in Islam (New York, 1991).
[58] Ahmad Syalaby, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kasysyaf, 1954).
[59] A.S. Tritton, Materials on Muslim Education in the Middle Ages (London: Luzac, 1957).
[60] A.L. Tibawi, Islamic Education (London: Luzac & Co., 1972).

1 komentar:

Ahmed mengatakan...

I have notices that you have mentioned my book (Muslim Education) in your article which has still not been translated in Indonesian language. It has already been translated into Arabic, Persian and Urdu. Perhaps you can find someone to translate it into your language. Please get in touch with me at munirdahmed@hotmail.com