Jumat, Oktober 17, 2008

SUMBER AJARAN ISLAM: AL-QUR’AN
Al-Qur’an Sumber Rujukan

  • Fungsi al-Qur’an bagi manusia: sebagai huda, bayyinat min al-huda, furqan dan adz-dzikr.
  • Untuk itu, umat Islam harus menjadikan al-Qur’an sebagai compass dalam hidupnya di setiap aspek kehidupan.
  • Dalam rangka membumikan al-Qur’an diperlukan adanya tafsir oleh para pakar tafsir (mufassir) sebab kandungan al-Qur’an masih bersifat global yang bagi orang awam masih sulit menangkap maksud (pesan) yang terkandung di dalamnya. Hal ini terjadi karena tidak semua individu muslim mampu memahami ‘bahasa langit’, karena itu diperlukan Hermes-hermes yang bisa menghubungkan dengan bahasa bumi.

Alasan Perlunya Tafsir

  • Secara eksplisit ada perintah untuk menyimak dan memahami ayat-ayat-Nya, “Apakah mereka tidak menyimak al-Qur’an? Kalau sekiranya al-Qur’an itu bukan berasal dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan di dalamnya.” [QS. Al-Nisa (4): 82]. Ayat lain, “Maka apakah mereka tidak menyimak al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci” [QS. Muhammad (47): 24].
  • Secara implisit upaya mencari penafsiran ayat-ayat al-Qur’an, bahwa ia diturunkan oleh Allah untuk menjadi petunjuk [QS. Al-Baqarah (2): 2,97,185; QS. Ali ‘Imran (3): 3,138] dan rahmat [QS. Al-A’raf (7): 51,203; QS. Yunus (10): 57] bagi manusia selaku individu maupun kelompok masyarakat (collective). Agar tujuan ini terwujud dengan baik, maka al-Qur’an yang umumnya berisi konsep dan prinsip pokok yang belum terjabarkan, aturan-aturan yang mansih bersifat umum perlu dijelaskan, dijabarkan dan diaktualisasikan agar dapat dengan mudah diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat.
  • Susunan al-Qur’an yang tidak sistematis sehingga perlu penafsiran dan penggalian terhadap makna ayat-ayatnya yang tidak pernah berakhir (unending task). Jelasnya, selalu diperukan reaktualisasi nilai-nilai al-Qur’an sesuai dengan dinamika masyarakat. Di sinilah letak ke-universalitas-an al-Qur’an.


Faktor Penyebab Keragaman Tafsir

  • perbedaan kecenderungan, interest, motivasi mufassir,
  • perbedaan misi yang diemban,
  • perbedaan kedalaman (capasity) dan ragam ilmu yang dikuasai,
  • perbedaan masa dan lingkungan yang mengitari, perbedaan situation-condition,
  • semua itu menimbulkan berbagai corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran tafsir yang beragam dengan metodenya sendiri-sendiri.

Bagaimana al-Qur’an Berbicara?
Al-Qur’an merupakan respons langit terhadap permasalahan bumi. Ia diturunkan Allah via Muhammad saw sebagai jawaban terhadap problem vertikal [penyimpangan tauhid], dan problem horisontal [penyimpangan sosial, seperti penindasan, ketidakadilan, dan eksploitasi ekonomi]. Rasulullah diutus dalam rangka mendialogkan kedua bahasa yang sangat berbeda itu, yakni bahasa langit (absolut) dengan bahasa bumi yang relatif. Sosok Muhammad sama kedudukannya dengan Hermes dalam mitologi Yunani yang menghubungkan bahasa Dewa dengan manusia. Dalam diri Muhammad ada intervensi wahyu Tuhan. Kandungan al-Qur’an berlaku sepanjang zaman dan makan, meskipun secara lafdziyyah ia banyak menggunakan terma yang familiar di Jazirah Arab [al-’ibrah bi-’umumi lafdz, la bi-khusus al-sabab].

Metode Penafsiran

  • Terma metode dalam bahasa Arab berkaitan dengan istilah thariqah, manhaj, ittijah dan lawn.
  • Menurut Hans Wehr thariqah (jamak: thara’iq) berarti cara (manner), mode, alat (means), jalan (way), metode (method), prosedur (procedure) dan sistem (system); manhaj (jamak: manahij) berarti terbuka (open), dataran (plain), jalan mudah-tol (easy road), cara (manner), prosedur (procedure), metode (method) dan program (programme); ittijah (jamak: ittijahat) berarti arah (direction), kecenderungan/kecondongan (inclination), aliran (trend) orientasi (orientation), tendency dan course; dan lawn (jamak: alwan) berarti warna (color), mewarnai (coloring, tinge), corak (hue), macam (kind) dan contoh (sample).
  • Kata thariqah dan manhaj mempunyai pengertian sama yaitu metode, sedangkan kata ittijah berarti kecenderungan dan arah, dan kata lawn lebih bermakna corak dan warna
  • Dalam penerapannya di bidang penafsiran contoh manhaj dan thariqah adalah metode tahlily, muqarin, ijmaly dan mawdlu’y.
  • Sedangkan ittijah berarti arah atau kecenderungan seorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an misalnya seorang faqih cenderung menafsirkan ayat al-Qur’an ke arah fiqh. Seorang filosof ke arah filsafat, dan seterusnya.
  • Adapun lawn dalam penafsiran berartoi corak, warna dan macam dari penafsiran itu sendiri, misalnya seorang filosof tentu saja dalam menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an lebih banyak diwarnai dengan penggunaan corak rasio, seorang sufi akan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan corak tasawwuf. Argumen-argumen yang digunakan masing-masing mufassir akan menentukan corak tafsirannya

Metode Tahlily

  • Tafsir dengan metode tahlily adalah tafsir yang berusaha untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau surah dalam mushhaf, dengan menonjolkan kandungan lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri yang tentunya diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya.
  • Metode tahlily banyak dipergunakan oleh ulama pada masa-masa dahulu, akan tetapi di antara mereka ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab), seperti al-Alusy, al-Fakhr al-Razy, al-Qurthuby, dan Ibn Jarir al-Thabary; ada yang mengemukakannya dengan singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din al-Suyuthy, Jalal al-Din al-Mahally dan as-Sayid Muhammad Farid Wajdy; dan ada pula yang mengambil langkah pertengahan (musawah), tidak ithnab dan tidak pula ijaz, seperti Imam al-Baidlawy, Syaikh Muhammad ‘Abduh, al-Naisabury dll. Sekalipun mereka sama-sama menafsirkan al-Qur’an dengan metode tahlily, akan tetapi corak atau warna tahlily masing-masing berbeda.
  • Corak Metode Tahlily
    l Tafsir bi’l-ma’tsur
    l Tafsir bi’l-ra’y
    l Tafsir bi’l-fiqhy
    l Tafsir bi’l-shufy
    l Tafsir bi’l-falsafy
    l Tafsir bi’l-’ilmy
    l Tafsir bi’l-adaby-ijtima’y

Tafsir bil-Ma’tsur

  • Tafsir ma’tsur adalah menafsirkan al-Qur’an berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat a-Qur’an sendiri, dengan hadis-hadis Nabi, dengan aqwal (perkataan) sahabat, maupun dengan aqwal tabiin. Pendapat (aqwal) tabiin masih kontroversi dimasukkan dalam tafsir bil Ma’tsur sebab para tabiin dalam memberi penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari Nabi lewat sahabat tetapi juga memasukkan ide-ide dan pemikiran mereka (melakukan ijtihad).
  • Tafsir ma’tsur yang paling tinggi peringkatnya adalah tafsir yang bersandarkan ayat Al-Qur’an yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat kedua adalah tafsir ayat dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal sahabat dan peringkat terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal tabiin
  • Kelebihan: keterbatasan dari interpretasi akal dan ide mufassir serta adanya kemudahan untuk mengetahui maksud sesuatu ayat. Apalagi tafsir ayat dengan ayat berdasarkan petunjuk Rasulullah yang tentunya memiliki tingkat validitas yang sangat tinggi, sesudah itu adalah Rasul sebagai mufasir pertama dan utama dari Al-Qur’an.
  • Kelemahan: terbatasnya persediaan riwayat yang merupakan tafsir ayat-ayat Al-Qur’an sehingga tidak terlalu banyak diharapkan untuk menjawab berbagai problema yang dihadapi masyarakat dari masa ke masa. Selain itu hadis-hadis yang ada pun masih memerlukan pneltian yang cermat untuk mengetahui kadar kesahihannya. Antara lain banyak riwayat demikian bercampur dengan israiliyat, suatu noda yang menonjol pada jenis tafsir ini.
  • Contoh kitab tafsir ma’tsur : Jami al-Bayan fi Tafsiri Al-Qur’an karangan Imam Ibn Jarir al-Thabary (w. 510 H), Ma’alim al-Tanzil yang terkenal dengan Al-Tafsir bi al-Manqul karangan Imam al-Baghawy (w. 516 H), Al-Durr al-Mantsur fy al-Tafsir bi al-Ma’tsur, karya Jalal al-Din al-Suyuthy (w. 911 H), Tanwir al-Miqyas min Tafsir Ibn Abbas, karangan al-Fayruz Abady, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim karya Abu al-Fida’ Ismail Ibn Katsir (w. 774) dan Al-Bahr karangan Al-‘Allamah Abu al-Layts al-Samarqandy.

Tafsir bir-Ra’yi

  • Tafsir ra’y adalah tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang didasarkan pada ijtihad mufasirnya dan menjadikan akal fikiran sebagai pendekatan utamanya.
  • Menurut Adz-Dzahaby, syarat-syarat diterimanya tafsir ra’y yaitu, bahwa penafsirnya: a) benar-benar menguasai bahasa Arab dengan segala seluk beluknya, b) mengetahui asbabun nuzul, nasikh mansukh, ilmu qiraat dan syarat-syarat keilmuan lain, c) tidak menginterpretasikan hal-hal yang merupakan otoritas Tuhan untuk mengetahuinya, d) tidak menafsirkan ayat-ayat berdasarkan hawa nafsu dan interes pribadi, e) tidak menafsirkan ayat berdasarkan aliran atau paham yang jelas bathil dengan maksud justifikasi terhadap paham tersebut, f) tidak menganggap bahwa tafsirnya itulah yang paling benar dan yang dikehendaki oleh Tuhan tanpa argumentasi yang pasti.
  • Tafsir ra’y yang tertolak karena tidak memenuhi kriteria di atas disebut al-tafsir bi al-ra’y al-madzmumah dan yang memenuhi tersebut al-tafsir bi al-ra’y al-mahmudah.
  • Contoh kitab-kitab tafsir ra’y antara lain: al-Tafsir al-Kabir Mafatih al-Ghaib karangan Al-Ustadz al-Fakhr al-Razi (w. 606 H), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karya Al-Ustadz Al-Baidhawy (w. 691 H), Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil karangan Al-Ustadz Mahmud al-Nasafy (w. 701 H), Lubab al-Ta’wil fy Ma’any al-Tanzil karangan Al-Ustadz Al-Khazin, Irsyad al-‘Aql al-Salim ila Mazaya al-Kitab al-Karim oleh Abu Su’ud (w. 982) dan Al-Kasyaf oleh Mahmud bin Umar al-Zamakhsari (w. 538 H).

Tafsir bish-Shufy

  • Tafsir shufy adalah tafsir yang berusaha menjelaskan maksud ayat-ayat al-Quran dari sudut esoterik atau berdasarkan isyarat-isyarat tersirat yang tampak oleh seorang sufi dalam suluknya
  • Tafsir jenis ini ada dua macam yaitu: a) tafsir shufy nazhari (teoritis) yang cenderung menafsirkan al-Qur’an berdasarkan teori-teori atau paham-paham tasawuf yang umumnya bertentangan dengan makna lahir ayat dan menyimpang dari penafsiran bahasa, b) tafsir shufy praktis (‘amali) yaitu menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat tersirat (samar) yang tampak oleh sufi dalam suluknya.
  • Tafsir sufi yang kedua di atas, oleh para pengamat tafsir juga disebut tafsir ‘isyari yang bisa diterima dengan syarat-syarat berikut: a) tidak bertentangan dengan lahir ayat, b) mempunyai dasar rujukan dari dasar agama yang sekaligus berfungsi sebagai penguatnya, c) tidak bertentangan dengan ajaran agama atau akal d) tidak menganggap bahwa penafsiran itulah yang paling benar dan dikehendaki oleh Tuhan.
  • Di antara kitab-kitab tafsir shufy ialah tafsir al-Qur’an al-‘Adhim karya al-Tsauri (w. 283 H), Haqaiq al-Tafsir karangan al-Sulami (w. 412 H), dan ‘Arais al-Bayan fy Haqaiq al-Qur’an oleh al-Syirazy (w. 606 H)


Tafsir bil-Fiqhi

  • Tafsir fiqhy adalah tafsir yang menitikberatkan bahasan dan tinjauannya pada aspek hukum dari al-Qur’an.
  • Tafsir fiqhy pada mulanya lahir bersamaan dengan tafsir ma’tsur khususnya di masa Rasululah dan sahabat. Akan tetapi pada masa tabiin dan sesudahnya tafsir jenis ini lebih banyak diwarnai oleh corak ra’y, terutama karena istinbath-istinbath hukum dari al-Qur’an dan hadis dilakukan secara ijtihad.
  • Pada perkembangan selanjutnya, tafsir fiqhy ini memperlihatkan corak mazhab seiring dengan timbulnya mazhab-mazhab fiqih. Dikenalkan kemudian tafsir fiqhy yang bercorak khawarij, zhahiry, sunny, syi’i dsb. Sesuai dengan latar belakang mazhab fiqih yang dianut oleh para mufasirnya.
  • Keistemawaan tafsir tipe ini adalah karena menolong kita untuk mendapatkan rujukan-rujukan yang berharga dalam bidang hukum Islam. Sedangkan kekurangannya, di samping bersifat sektarian juga cenderung melihat hukum Islam secara legal-formal yang tidak memperlihatkan segi-segi dinamika dari hukum Islam itu sendiri.
  • Kitab-kitab tafsir fiqhy yang terkenal antara lain: Ahkam al-Qur’an oleh Al-Jashshash (w. 370 H), Ahkam al-Qur’an karangan al-‘Araby (w. 543), Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya Imam al-Qurtuby (w. 671 H).

Tafsir bil-Falsafy

  • Tafsir falsafy adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan-pendekatan filosofis, baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat al-Qur’an maupun yang berusaha menolak teori-teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an.
  • Timbulnya penafsiran jenis ini tidak terlepas dari perkenalan umat Islam dengan filsafat Helenisme yang kemudian merangsang mereka untuk menggelutinya kemudian menjadikannya sebagai alat untuk menganalisis ajaran-ajaran Islam khususnya al-Qur’an.
  • Segi positif dari tafsir jenis ini adalah karena berusaha mengkaji secara filosofis ajaran-ajaran al-Qur’an yang dapat dikonsumsi oleh kaum cendekiawan, sekaligus memperlihatkan ketinggian dan kedalaman dari ajaran tersebut. Dengan demikian dapat memperdalam keyakinan dan keimanan. Akan tetapi segi negatifnya adalah terjadinya kemungkinan pemaksaan ayat-ayat al-Qur’an untuk disesuaikan atau dicocok-cocokkan dengan suatu teori atau faham filsafat yang ada. Padahal faham-faham kefilsafatan tersebut spekulatif yang tak dapat dibuktikan kebenarannya.
  • Contoh kitab tafsir falsafi adalah al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb karya al-Fakhr al-Razi (w. 606 H)

Tafsir bil-‘Ilmy

  • Tafsir ‘ilmy adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang ada.
  • Sikap ulama terhadap tafsir ‘ilmy berbeda-beda, ada yang menolaknya dengan alasan bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi (relatif) dan tidak pernah final. Suatu teori ilmiah selalu membuka kemungkinan untuk dikoreksi oleh teori ilmiah lainnya bila terdapat bukti-bukti baru. Padahal ayat-ayat al-Qur’an bersifat mutlak, absolut dan abadi kebenarannya. Oleh karena itu amatlah tidak pantas menafsirkan yang mutlak dengan sesuatu yang nisbi sifatnya. Di samping itu penafsiran ilmiah cenderung hanya berfungsi melegitimasi terhadap teori-teori ilmiah yang ada.
  • Sedangkan sikap ulama yang menerima tafsir ini menjelaskan bahwa ayat-ayat al-Qur’an sendiri justru menggalakkan penafsiran ilmiah. Kita dianjurkan untuk membaca ayat-ayat Tuhan yang diturunkan dan ayat-ayat-Nya yang diciptakan sekaligus. Oleh karena itu penafsiran ilmiah dapat diterima asal memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan. Syarat-syarat tersebut di antaranya: 1) penafsiran ilmiah sedapat mungkin mengikuti pola tafsir mawdlu’y untuk menghindari parsialisasiu, 2) ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya berfungsi sebagai justifikasi terhadap teori-teori ilmiah yang ada 3) tidak bertentangan dengan ketentuan bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur’an.
  • Segi positif penafsiran ‘ilmy adalah memperlihatkan bahwa al-Qur’an sesungguhnya tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, bahkan al-Qur’an mendorong pengembangan ilmu pengetahuan untuk kepentingan manusia. Namunsegi negatifnya tafsir ini cenderung ke arah pemaksaan ayat-ayat al-Qur’an sendiri yang pada gilirannya dapat menimbulkan keraguan terhadap kebenaran al-Qur’an.
  • Contoh tafsir ‘ilmy adalah al-Qur’an-Jawahir fy al-Qur’an karya Syaikh Thanthawi Jawhari, al-Tafsir al-‘Ilmy li al-Ayat al-Kawniyat karangan Hafmi Ahmad Al-Islam fy ‘Ashr al-‘Ilmi karya Dr. Muhammad Ahmad al-Ghamrawy, al-Ghida’ wa al-Dawa karya Dr. jamal al-Din al-Fandy dll.

Tafsir bil-Adabi al-Ijtima’y

  • Tafsir adaby-ijtima’y merupakan tafsir yang menitikberatkan pada penjelasan ayat-ayat al-Qur’an dari segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayat tersebut dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama dari tujuan-tujuan al-qur’an yaitu membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian mengadakan penjelasan ayat dengan hukum-hukum yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan.
  • Ada empat yang dapat dianggap sebagai unsur pokok dari tafsir adaby-ijtima’y yaitu: a) menguraikan ketelitian redaksi ayat-ayat al-Qur’an, b) menguraikan makna dan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dengan susunan kalimat yang indah, c) aksentuasi yang menonjol pada tujuan utama diuraikannya al-Qur’an, d) penafsiran ayat dikaitkan dengan sunnatullah yang berlaku dalam masyarakat. Unsur pertama dan kedua memperlihatkan corak adaby, sedangkan unsur ketiga dan keempat memperlihatkan corak ijtima’y.
  • Kitab tafsir yang termasuk dalam kategori ini di antaranya yaitu, Tafsir al-Manar karya Imam Syeikh Muhammad Abduh dan Syeikh Rasyid Ridla (w. 1935 M), Tafsir al-Qur’an oleh Syeikh Ahmad Musthafa al-Maraghi (w. 1945), Tafsir al-Qur’an al-Karim karya Syeikh Mahmud Syaltut dan Tafsir al-Wadlih karangan Syaikh Muhammad Mahmud Hijazy.
  • Segi kelebihan tipe tafsir ini yaitu membumikan al-Qur’an dalam kehidupan manusia, menjadikan ajaran-ajaran al-Qur’an lebih praktis dan pragmatis. Umat dapat terhindar dari pertikaian mazhab dan aliran, mendorong pada semangat obyektifitas dan rasa persatuan serta membangkitkan dinamika umat Islam untuk membangun dunia yang lebih cerah. Sedang kekurangannya adalah adanya kecenderungan untuk melegalisasi masalah-masalah sosial budaya yang timbul seiring dengan perkembangan ilmu. Di samping juga ada (potensi) ke arah pemaksaan ayat-ayat al-Qur’an untuk tunduk pada teori-teori ilmiah

Metode Ijmaly

  • Tafsir ijmaly yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat dan global, tanpa uraian panjang lebar. Dengan metode ini mufassir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang dikehendaki. Hal ini dilakukan terhadap ayat-ayat al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya dalam mushhaf setelah ia mengemukakan arti-arti tersebut dalam kerangka uraian yang mudah dengan bahasa dan cara yang dapat dipahami oleh orang berilmu (‘alim, learned), orang bodoh (jahil, ignorant) dan orang pertengahan (mutawasith, intermediate) antara keduanya.
  • Jadi, jenis tafsir ini pun pada dasarnya mengikuti urutan-urutan ayat demi ayat menurut tertib mushhaf, seperti halnya tafsir tahlily. Perbedaannya dengan tafsir tahlily adalah bahwa dalam tafsir ijmaly makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlily makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar.
  • Kelemahan tafsir ini yaitu karena uraiannya yang terlalu singkat sehingga tidak bisa diharapkan untuk menguak maksud ayat secara luas dengan berbagai aspek sesuai dengan perkembangan zaman. Sedangkan keistimewaannya yaitu tafsir ijmaly ini dapat dikonsumsi secara merata oleh berbagai lapisan dan tingkatan kaum muslimin dan bermanfaat untuk mengetahui makna ayat secara global.
  • Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ijmaly yaitu, Tafsir al-jalalayn karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim oleh Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any al-Qur’an karangan Syaikh Husananin Muhammad Makhlut, al-Tafsir al-Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa dsb.

Metode Muqarin

  • Tafsir al-Muqarin adalah penafsiran sekelompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan.
  • Dengan menerapkan metode perbandingan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, maka dapat diketahui beragam kecenderungan dari para mufassir, aliran apa saja yang mempengaruhi mereka menafsirkan al-Qur’an, apakah ahlu sunnah, mu’tazilah, syi’ah dsb. Begitu pula akan diketahui keahlian masing-masing mufassir misalnya theolog, fuqaha, sufi, atau filosof. Yang jelas, penafsir al-Qur’an yang memakai metode muqarin, mufasirnya akan menemukan berbagai ragam penafsiran al-qur’an yang pernah dilakukan oleh ulama-ulama tafsir sejak dulu sampai sekarang.
  • Kelebihan metode ini yaitu dapat mengetahui perkembangan corak penafsiran dari para ulama salaf sampai sekarang sehingga menambah cakrawala berpikir bahwa ternyata ayat al-Qur’an dapat ditinjau dari berbagai aspek sesuai dengan latar belakang dan pendidikan penafsir atau mufassir. Kekurangannya karena sifatnya yang hanya membandingkan sehingga pembahasan ayat kurang mendalam, kurang analitis.
  • Contoh tafsir muqarin ini yaitu, apa yang dilakukan M. Quraish Shihab dalam disertasi doktornya yaitu dengan membandingkan antara lafadz dan kandungan makna ayat 151 dari surat al-An’am dengan ayat 31 surat Al-Isra’, Al-A’rad: 12 dengan Shad: 75 Al-Anfal: 10 dengan Ali ‘Imran: 126. Selain itu juga diperbandingkan berbagai korelasi di antara ayat-ayat, surat-surat dsb. yang sudah didahului al-Biqa’i dengan ulama-ulama tafsir lain seperti Ibn al-Zubayr, al-Razi, al-Naisabury, Abu Hayyan, al-Suyuthy, Abu al-Su’ud, al-Khatib al-Syarbayni, Al-Alusy dan Muhammad Rasyid Ridla

Metode Maudlu’y

  • Metode tafsir mawdhu’y (tematik) yaitu metode yang ditempuh dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang sesuatu masalah atau tema (mawdhu’) serta mengarah kepada suatu pengertian dan satu tujuan, sekalipun ayat-ayat itu (cara) turunnya berbeda, tersebar pada berbagai surat dalam al-Qur’an dan berbeda pula waktu dan tempat turunnya. Kemudian ia menentukan urutan ayat-ayat itu sesuai dengan masa turunnya, mengemukakan sebab turunnya sepanjang hal itu dimungkinkan (jika ayat-ayat itu turun karena sebab-sebab tertentu), menguraikannya dengan sempurna, menjelaskan makna dan tujuannya), mengkaji terhadap seluruh segi dan apa yang dapat di istinbath-kan darinya, segi i’rab-nya, unsur-unsur balaghah-nya, segi-segi i’jaz-nya (kemukjizatannya) dll, sehingga tema itu dapat dipecahkan secara tuntas berdasarkan seluruh ayat al-itu dan tidak diperlukan ayat-ayat lain.
  • Menurut Quraish Shihab, ada dua bentuk penyajian metode mawdhu’y yaitu pertama menyajikan kotak yang berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya kandungan pesan tersebut diisyaratkan oleh nama surat yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi Rasul. Kedua dari metode mawdhu’y mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surat saja (seperti pada definisi di atas).
  • Keistimewaan metode tafsir mawdhu’y : 1) merupakan cara terpendek dan termudah menggali hidayah al-Qur’an dibanding metode tafsir lainnya, 2) menafsirkan ayat dengan ayat sebagai cara terbaik dalam tafsir ternyata diutamakan dalam metode mawdhu’y, 3) dapat menjawab persoalan-persoalan hidup manusia secara praktis dan konsepsional berdasarkan petunjuk al-Qur’an, 4) dengan studi mawdhu’y ayat-ayat yang kelihatan bertentangan dapat dipertemukan dan didamaikan dalam satu kesatuan yang harmonis.
  • Kelemahan metode ini yaitu, tidak mudah diterapkan oleh para mufasir sebab metode ini menuntut untuk memahami ayat demi ayat yang berkaitan dengan judul yang diterapkannya. Mufassir dituntut untuk menghadirkan pengertian kosa kata ayat, sebab turunnya, korelasi antar ayat (munasabah) dll.
  • Contoh kitab tafsir yang menggunakan metode mawdhu’y yaitu kitab Al-Bayan fy Aqsam Al-Qur’an karya Al-‘Allamah Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, kitab Majaz Al-Qur’an karangan Al-‘Allamah Abu Ubaydah ibn al-Mufty, kitab Mufradat Al-Qur’an oleh Al-Raghib Al-Isfahany, kitab Al-Nasikh wa al-Mansukh fy Al-Qur’an karya Al-‘Allamah Abu Ja’far Al-Nuhasy, kitab Asbab al-Nuzul oleh Al-‘Allamah Al-Wahidy dan kitab Ahkam Al-Qur’an karya Al- ‘Allamah Al-Jashshash

Urgensi Tafsir Maudlu’y

  • Metode mawdu’y berarti menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang tersebar pada berbagai surat dalam al-Qur’an yang berbicara tentang suatu tema. Tafsir dengan metode ini termasuk tafsir bi al-ma’thur dan metode ini lebih dapat menghindarkan mufasir dari kesalahan.
  • Dengan menghimpun ayat-ayat tersebut kita dapat menemukan segi relevansi dan hubungan antar ayat-ayat itu.
  • Dengan metode mawdu’y kita mampu memberikan suatu pemikiran dan jawaban yang utuh dan tuntas tentang suatu tema dengan cara mengetahui, menghubungkan dan menganalisis secara komprehensif terhadap semua ayat yang berbicara tentang tema tersebut.
  • Dengan metode ini kita mampu menolak dan menghindarkan diri dari kesamaran-kesamaran dan kontradiksi-kontradiksi yang ditemukan dalam ayat.
  • Metode mawdu’y sesuai dengan perkembangan jaman moderen di mana terjadi diferensiasi pada tiap-tiap persoalan dan masing-masing masalah tersebut perlu penyelesaian secara tuntas dan utuh seperti sebuah sistematika buku yang membahas suatu tema tertentu.
  • Dengan metode mawdu’y orang dapat mengetahui dengan sempurna muatan materi dan segala segi dari suatu tema.
  • Metode mawdu’y memungkinkan kita untuk sampai pada sasaran dari suatu tema dengan cara yang mudah tanpa harus bersusah payah dan menemui kesulitan.
  • Metode mawdu’y mampu menghantarkan kepada suatu maksud dan hakikat suatu masalah dengan cara yang paling mudah terlebih lagi pada saat ini telah banyak bertaburan ‘kotoran’ terhadap hakikat agama-agama sehingga tersebarlah doktrin-diktrin kemanusiaan dan isme-isme yang lain sehingga sulit untuk dibedakan

Memilih Kitab Tafsir

  • Kelebihan tafsir tahlily adalah memiliki keutuhan ruh, setiap ayat yang satu dengan ayat lainnya, antara surat satu dengan surat berikutnya punya jalinan erat. Metode mawdu’y yang mencomot ayat sana-sini sesuai dengan tema yang dikehendakli banyak kehilangan nuansa.
  • Sedangkan kelebihan metode mawdu’y yaitu bisa mendapatkan pemahaman suatu masalah secara mendalam.
  • Kita tidak bisa istighna’ (merasa cukup) dengan salah satu metode tafsir saja. Dalam melakukan penafsiran secara mawdu’y mufasir bekerja dan berdialog aktif dengan al-Qur’an untuk membangun tema yang dikehendaki secara utuh, sementara itu dalam melakukan penafsiran tahlily mufasir lebih bersikap pasif sebab hanya mengikuti urutan ayat dan surat dalam al-Qur’an.
  • Menurut M. Quraish Shihab tidak ada metode tafsir yang terbaik, sebab masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri, kekurangan dan kelebihan serta tergantung kebutuhan mufasir. Kalau kita ingin menuntaskan topik maka jawabnya ada pada metode tafsir mawdu’y, namun bila kita ingin menerapkan kandungan suatu ayat dalam berbagai seginya maka jawabnya ada pada metode tahlily. Di samping itu, ketika kita ingin mengetahui pendapat para mufasir tentang suatu ayat atau surat sejak periode awal sampai periode moderen, maka metode yang tepat adalah muqarin, sedangkan ketika ingin mengetahui arti atau makna suatu ayat secara ringkas dan global, maka metode ijmaly-lah yang tepat.