Senin, Oktober 26, 2009

PEMBAGIAN TUGAS SKI DAN PEMBELAJARANNYA

Ketentuan:
1. Tiap mahasiswa harus berkoordinasi agar tidak terjadi overlapping pembagian KD
2. Pembuatan RPP didasarkan pada Permendiknas 41 tahun 2007 tentang Standar Proses dan dikaitkan dengan RPP yang ada di madrasah [sebagaimana hasil survey]

Kelas PAI-G untuk SKI MI
Nomor Presensi 1-4 Kelas III
Nomor Presensi 5-8 Kelas IV
Nomor Presensi 9-12 Kelas V
Nomor Presensi 13-17 Kelas VI

Kelas PAI-H untuk SKI MI
Nomor Presensi 1 Kelas III
Nomor Presensi 2-3 Kelas IV
Nomor Presensi 4-5 Kelas V
Nomor Presensi 6-7 Kelas VI

SK DAN KD SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
JENJANG MADRASAH IBTIDAIYAH


Kelas III, Semester 1
STANDAR KOMPETENSI
1. Mengenal sejarah masyarakat Arab pra- Islam
KOMPETENSI DASAR

1.1 Menceritakan kondisi alam, sosial, dan perekonomian masyarakat Arab pra-Islam
1.2 Menjelaskan keadaan adat-istiadat dan kepercayaan masyarakat Arab pra-Islam
1.3 Menjelaskan masa remaja atau masa muda Nabi Muhammad SAW
1.4 Mengambil ibrah dari sejarah masyarakat Arab pra-Islam

Kelas III, Semester 2
STANDAR KOMPETENSI
2. Mengenal sejarah kelahiran Nabi Muhammad SAW

KOMPETENSI DASAR
2.1 Menceritakan kejadian luar biasa yang mengiringi lahirnya Nabi Muhammad SAW
2.2 Menceritakan sejarah kelahiran dan silsilah Nabi Muhammad SAW
2.3 Mengambil ibrah dari kenabian dan kerasulan Muhammad SAW

STANDAR KOMPETENSI
3. Mengenal peristiwa kerasulan Muhammad SAW

KOMPETENSI DASAR
3.1. Mendeskripsikan peristiwa kerasulan Muhammad SAW
3.2 Mengambil ibrah peristiwa kerasulan Muhammad SAW

Kelas IV, Semester 1
STANDAR KOMPETENSI
1. Mengenal dakwah Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya

KOMPETENSI DASAR
1.1 Menjelaskan dakwah Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya
1.2 Menunjukkan contoh ketabahan Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya dalam berdakwah
1.3 Meneladani ketabahan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dalam berdakwah

STANDAR KOMPETENSI
2. Mengenal kepribadian Nabi Muhammad SAW

KOMPETENSI DASAR
2.1 Mengidentifikasi ciri-ciri kepribadian Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam
2.2 Menunjukkan contoh perilaku yang meneladani kepribadian Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam
2.3 Meneladani kepribadian Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam

Kelas IV, Semester 2
STANDAR KOMPETENSI
3. Memahami hijrah Nabi Muhammad SAW ke Thaif dan Habsyah

KOMPETENSI DASAR
3.1 Mengidentifikasi sebab-sebab Nabi Muhammad SAW hijrah ke Thaif dan Habsyah
3.2 Menceritakan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Thaif dan Habsyah
3.3 Meneladani kesabaran Nabi Muhammad SAW dalam peristiwa hijrah ke Thaif dan Habsyah

STANDAR KOMPETENSI
4. Memahami peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW

KOMPETENSI DASAR
4.1 Mendeskripsikan peristiwa Isra’-Mi’raj Nabi Muhammad SAW
4.1 Mengambil hikmah dari peristiwa Isra’-Mi’raj Nabi Muhammad SAW
Kelas V, Semester 1
STANDAR KOMPETENSI
1. Mengenal peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Yatsrib

KOMPETENSI DASAR
1.1 Mengidentifikasi sebab-sebab hijrah Nabi Muhammad SAW ke Yatsrib
1.2 Menceritakan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Yatsrib
1.3 Mengambil hikmah dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW ke Yatsrib

STANDAR KOMPETENSI
2. Memahami keperwiraan Nabi Muhammad SAW

KOMPETENSI DASAR
2.1 Mendeskripsikan upaya yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dalam membina masyarakat Madinah (sosial, ekonomi, agama, dan pertahanan)
2.1 Meneladani keperwiraan Nabi Muhammad SAW dalam membina masyarakat Madinah

Kelas V, Semester 2
STANDAR KOMPETENSI
3. Mengenal peristiwa Fathu Makkah

KOMPETENSI DASAR
3.1 Mengidentifikasi sebab-sebab terjadinya Fathu Makkah
3.2 Menceritakan kronologi peristiwa Fathu Makkah
3.3 Mengambil ibrah dari peristiwa Fathu Makkah

STANDAR KOMPETENSI
4. Mengidentifikasi peristiwa akhir hayat Rasulullah SAW

KOMPETENSI DASAR
4.1 Menceritakan peristiwa-peristiwa di akhir hayat Rasulullah SAW
4.2 Mengambil hikmah dari peristiwa akhir hayat Rasulullah SAW

Kelas VI, Semester 1
STANDAR KOMPETENSI
1. Mengenal sejarah khalifah Abu Bakar as-Shiddiq

KOMPETENSI DASAR
1.1 Menjelaskan arti dan tugas khulafaurrasyidin
1.2 Menceritakan silsilah, kepribadian Abu Bakar as-Shiddiq dan perjuangannya dalam dakwah Islam
1.3 Menunjukkan contoh-contoh nilai-nilai positif dari khalifah Abu Bakar as-Shiddiq
1.4 Meneladani nilai-nilai positif dari kekhalifahan Abu Bakar As Siddiq

STANDAR KOMPETENSI
2. Mengenal sejarah khalifah Umar bin Khattab

KOMPETENSI DASAR
2.1 Menceritakan silsilah, kepribadian Umar bin Khattab dan perjuangannya dalam dakwah Islam
2.2 Menunjukkan contoh-contoh nilai-nilai positif dari khalifah Umar bin Khattab.
2.3 Meneladani nilai-nilai positif dari kekhalifahan Umar bin Khattab

STANDAR KOMPETENSI
3. Mengenal sejarah khalifah Utsman bin Affan

KOMPETENSI DASAR
3.1 Menceritakan silsilah, kepribadian Utsman bin Affan dan perjuangannya dalam dakwah Islam
3.2 Menunjukkan contoh-contoh nilai-nilai positif dari khalifah Utsman bin Affan
3.3 Meneladani nilai-nilai positif dari kekhalifahan Utsman bin Affan

Kelas VI, Semester 2
STANDAR KOMPETENSI
4. Mengenal sejarah khalifah Ali bin Abi Thalib

KOMPETENSI DASAR
4.1 Menceritakan silsilah, kepribadian, dan perjuangan khalifah Ali bin Abi Thalib
4.2 Menunjukkan contoh-contoh nilai-nilai positif dari kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
4.3 Meneladani nilai-nilai positif dari kekhalifahan Ali bin Abi Thalib

STANDAR KOMPETENSI
5. Mengenal sejarah perjuangan tokoh agama Islam di daerah masing-masing.

KOMPETENSI DASAR
5.1 Mengidentifikasi tokoh-tokoh agama Islam di daerah masing-masing
5.2 Menceritakan sejarah perjuangan tokoh agama Islam di daerah masing-masing
5.3 Meneladani perjuangan tokoh agama Islam di daerah masing-masing
Kelas PAI-G untuk SKI MTs
Nomor Presensi 18-23 Kelas VII
Nomor Presensi 24-29 Kelas VIII
Nomor Presensi 30-34 Kelas IX

Kelas PAI-H untuk SKI MTs
Nomor Presensi 8-9 Kelas VII
Nomor Presensi 10-11 Kelas VIII
Nomor Presensi 12-14 Kelas IX

SK DAN KD SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
JENJANG MADRASAH TSANAWIYAH


a. Kelas VII, Semester 1
STANDAR KOMPETENSI
1. Memahami sejarah kebudayaan Islam

KOMPETENSI DASAR
1.1 Menjelaskan pengertian kebudayaan Islam
1.2 Menjelaskan tujuan dan manfaat mempelajari sejarah kebudayaan Islam
1.3 Mengidentifikasi bentuk/wujud kebudayaan Islam

STANDAR KOMPETENSI
2. Memahami sejarah Nabi Muhammad SAW periode Makkah

KOMPETENSI DASAR
2.1 Mendeskripsikan misi Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi alam semesta, pembawa kedamaian, kesejahteraan, dan kemajuan masyarakat
2.2 Mengambil ibrah dari misi Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi alam semesta, pembawa kedamaian, kesejahteraan, dan kemajuan masyarakat untuk masa kini dan yang akan datang
2.3 Meneladani perjuangan Nabi Muhammad dan para sahabat dalam menghadapi masyarakat Makkah

STANDAR KOMPETENSI
3. Memahami sejarah Nabi Muhammad SAW periode Madinah

KOMPETENSI DASAR
3.1 Mendeskripsikan sejarah Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat melalui kegiatan ekonomi dan perdagangan
3.2 Mengambil ibrah dari misi Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat melalui kegiatan ekonomi dan perdagangan untuk masa kini dan yang akan datang
3.3 Meneladani semangat perjuangan Nabi dan para sahabat di Madinah
b. Kelas VII, Semester 2
STANDAR KOMPETENSI
1. Memahami sejarah perkembangan Islam pada masa Khulafaurrasyidin

KOMPETENSI DASAR
1.1 Menceritakan berbagai prestasi yang dicapai oleh Khulafaurrasyidin
1.2 Mengambil ibrah dari prestasi-prestasi yang dicapai oleh Khulafaurrasyidin untuk masa kini dan yang akan datang
1.3 Meneladani gaya kepemimpinan
Khulafaurrasyidin

STANDAR KOMPETENSI
2. Memahami perkembangan Islam pada masa Bani Umaiyah

KOMPETENSI DASAR
2.1 Menceritakan sejarah berdirinya daulah Amawiyah
2.2 Mendeskripsikan perkembangan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Bani Umaiyah
2.3 Mengidentifikasi tokoh ilmuwan muslim dan perannya dalam kemajuan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Bani Umaiyah
2.4 Mengambil ibrah dari perkembangan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Bani Umaiyah untuk masa kini dan yang akan datang
2.5 Meneladani kesederhanaan dan kesalihan Umar bin abdul Aziz

c. Kelas VIII, Semester 1
STANDAR KOMPETENSI
1. Memahami perkembangan Islam pada masa Bani Abbasiyah

KOMPETENSI DASAR
1.1 Menceritakan sejarah berdirinya Daulah Abbasiyah
1.2 Mendeskripsikan perkembangan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Bani Abbasiyah
1.3 Mengidentifikasi tokoh ilmuwan muslim dan perannya dalam kemajuan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Bani Abbasiyah
1.4 Mengambil ibrah dari perkembangan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Bani Abbasiyah untuk masa kini dan yang akan datang
1.5 Meneladani ketekunan dan kegigihan Bani Abbasiyah

d. Kelas VIII, Semester 2
STANDAR KOMPETENSI
2. Memahami perkembangan Islam pada masa Dinasti Al Ayyubiyah

KOMPETENSI DASAR
2.1 Menceritakan sejarah berdirinya Dinasti al-Ayyubiyah
2.2 Mendeskripsikan perkembangan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Dinasti al-Ayyubiyah
2.3 Mengidentifikasi tokoh ilmuwan muslim dan perannya dalam kemajuan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Dinasti Al Ayyubiyah
2.4 Mengambil ibrah dari perkembangan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Dinasti al-Ayyubiyah untuk masa kini dan yang akan datang
2.5 Meneladani sikap keperwiraan Shalahuddin al-Ayyubi

e. Kelas IX, Semester 1
STANDAR KOMPETENSI
1. Memahami perkembangan Islam di Indonesia

KOMPETENSI DASAR
1.1 Menceritakan sejarah masuknya Islam di Nusantara melalui perdagangan, sosial, dan pengajaran
1.2 Menceritakan sejarah beberapa kerajaan Islam di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi
1.3 Mengidentifikasi para tokoh dan perannya dalam perkembangan Islam di Indonesia
1.4 Meneladani semangat para tokoh yang berperan dalam perkembangan Islam di Indonesia

f. Kelas IX, Semester 2
STANDAR KOMPETENSI
1. Memahami sejarah tradisi Islam Nusantara

KOMPETENSI DASAR
1.1 Menceritakan seni budaya lokal sebagai bagian dari tradisi Islam
1.1 Memberikan apresiasi terhadap tradisi dan upacara adat kesukuan Nusantara

Kelas PAI-G untuk SKI MA
Nomor Presensi 35-43 Kelas XII Semester 1
Nomor Presensi 44-51 Kelas XII Semester 2

Kelas PAI-H untuk SKI MA
Nomor Presensi 12-16 Kelas XII Semester 1
Nomor Presensi 17-21 Kelas XII Semester 2

SK DAN KD SEJARAH KEBUDAYAAN ISLAM
JENJANG MADRASAH ALIYAH


a. Kelas XII, Semester 1
STANDAR KOMPETENSI
1. Memahami keteladanan dakwah Rasulullah dalam membina umat

KOMPETENSI DASAR
1.1 Menceritakan sejarah dakwah Rasulullah SAW pada periode Makkah dan Madinah
1.2 Mendeskripsikan substansi dan strategi dakwah Rasullullah SAW pada periode Makkah dan Madinah
1.3 Mengidentifikasi hasil-hasil perjuangan Rasullullah SAW dalam dakwah Islam pada periode Makkah dan Madinah
1.4 Mengambil ibrah dari perjuangan Rasullullah SAW dalam dakwah Islam pada periode Makkah dan Madinah untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang.

STANDAR KOMPETENSI
2. Memahami masalah kepemimpinan umat Islam pasca Nabi wafat

KOMPETENSI DASAR
2.1 Menceritakan proses dan model pemilihan kepemimpinan pada masa Khulafaaurraasyidiin
2.2 Mendeskripsikan strategi kepemimpinan Khulafaaurraasyidiin
2.3 Mengambil ibrah dari kepemimpinan Khulafaaurraasyidiin untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang

STANDAR KOMPETENSI
3. Memahami perkembangan Islam periode klasik (zaman keemasan) pada tahun 650 M – 1250 M

KOMPETENSI DASAR
3.1 Menjelaskan perkembangan Islam pada periode klasik
3.2 Mengidentifikasi peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh yang berprestasi dalam perkembangan Islam pada periode klasik
3.3 Mengambil ibrah dari perkembangan Islam pada periode klasik untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang
3.4 Meneladani tokoh-tokoh yang berprestasi dalam perkembangan Islam pada periode klasik

STANDAR KOMPETENSI
4. Memahami perkembangan Islam pada periode pertengahan/zaman kemunduran (1250 M – 1800 M)

KOMPETENSI DASAR
4.1 Menjelaskan perkembangan Islam pada abad pertengahan
4.2 Menceritakan sebab-sebab kemunduran Islam pada abad pertengahan
4.3 Mengambil ibrah dari peristiwa perkembangan Islam pada periode pertengahan untuk kepentingan masa kini dan yang akan datang

b. Kelas XII, Semester 2
STANDAR KOMPETENSI
1. Memahami perkembangan Islam pada masa modern /zaman kebangkitan (1800-sekarang)

KOMPETENSI DASAR
1.1. Menjelaskan perkembangan Islam pada masa modern
1.2. Mengidentifikasi peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh yang berprestasi dalam perkembangan Islam pada masa modern
1.3. Mengambil ibrah dari peristiwa perkembangan Islam pada masa modern
1.4. Meneladani tokoh-tokoh yang berprestasi dalam perkembangan Islam pada masa modern

STANDAR KOMPETENSI
2. Memahami perkembangan Islam di Indonesia

KOMPETENSI DASAR
2.1. Menjelaskan perkembangan Islam di Indonesia
2.2. Mengidentifikasi peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh yang berprestasi dalam perkembangan Islam di Indonesia
2.3. Mengambil ibrah dari peristiwa perkembangan Islam di Indonesia
2.4. Meneladani tokoh-tokoh yang berprestasi dalam perkembangan Islam di Indonesia

STANDAR KOMPETENSI
3. Memahami perkembangan Islam di dunia

KOMPETENSI DASAR
3.1. Menjelaskan perkembangan Islam di dunia
3.2. Mengidentifikasi peristiwa-peristiwa penting dan tokoh-tokoh yang berprestasi dalam perkembangan Islam di dunia
3.3. Mengambil ibrah dari peristiwa perkembangan Islam di dunia
3.4. Meneladani tokoh-tokoh yang berprestasi dalam perkembangan Islam di dunia

Selasa, Oktober 20, 2009

BAHAN PSI: SUMBER AJARAN ISLAM KE-2

AS-SUNNAH [AL-HADITS]

Dasar Pengertian
Secara etimologis hadits bisa berarti :
1. Baru, seperti kalimat : “Allah Qadim mustahil Hadits“.
2. Dekat, seperti : “Haditsul ‘ahli bil Islam“.
3. Khabar, seperti : “Falya’tu bi haditsin mitslihi“.
Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti : Segala Perbuatan, Perkataan, dan Keizinan
Nabi Muhammad saw. (Af’al, Aqwal dan Taqrir). Pengertian hadits sebagaimana
tersebut diatas adalah identik dengan Sunnah, yang secara etimologis berarti jalan atau tradisi, sebagaimana dalam Al-Qur’an : “Sunnata man qad arsalna“ ( al-Isra :77 ). Juga dapat berarti : Undang-undang atau peraturan yang tetap berlaku; Cara yang diadakan; Jalan yang telah dijalani;.
Ada yang berpendapat antara Sunnah dengan Hadits tersebut adalah berbeda-beda. Akan tetapi dalam kebiasaan hukum Islam antara Hadits dan Sunnah tersebut hanyalah berbeda dalam segi penggunaannya saja, tidak dalam tujuannya.

As-Sunnah Sebagai Sumber Nilai
Sunnah adalah sumber Hukum Islam ( Pedoman Hidup Kaum Muslimin ) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman kepada Al-Qur’an sebagai sumber hukum, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah sebagai sumber Islam juga.
Ayat-ayat Al-Qur’an cukup banyak untuk dijadikan alasan yang pasti tentang hal ini, seperti : Setiap mu’min harus taat kepada Allah dan Rasul-nya ( al-Anfal :20, Muhammad :33, an-Nisa :59, Ali-Imran :32, al-Mujadalah : 13, an-Nur : 54,al-Maidah : 92 ). Kepatuhan kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah ( an-Nisa :80, Ali-Imran :31 ). Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa ( an-Anfal :13, Al-Mujadalah :5, an-Nisa :115 ).
Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. ( an-Nisa’:65 ). Kemudian perhatikan ayat-ayat : an-Nur : 52; al-Hasyr : 4; al-Mujadalah : 20; an-Nisa’: 64 dan 69; al-Ahzab: 36 dan 71; al-Hujurat :1; al-Hasyr : 7 dan sebagainya.
Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan menghadapi kesulitan-kesulitan dalam hal : cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasullullah.
Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak, muhtamal dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada
pertimbangan rasio sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subjektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Hubungan AS-Sunnah dan Al-Qur'an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka as-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi as-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
a. Bayan Tafsir, yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kama ro-aitumuni ushalli“. (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush- shalah“, (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum“ (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah
tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja“ (Dan sempurnakanlah hajimu).
b. Bayan Taqrir, yaitu as-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi : “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi“ (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
c. Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati“, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah : 34 yang berbunyi sebagai berikut : “Dan orangorang
yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih“. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.

Perbedaan Antara Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai Sumber Hukum
Sekalipun al-Qur’an dan as-Sunnah / al-Hadits sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil.
Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain ialah :
a. Al-Qur’an nilai kebenarannya adalah qath’I (absolut), sedangkan al-Hadits adalah zhanni (kecuali hadits mutawatir).
b. Seluruh ayat al-Qur’an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Tetapi tidak semua hadits mesti kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab disamping ada sunnah yang tasyri’ ada juga sunnah yang ghairu tasyri ‘. Disamping ada hadits yang shahih adapula hadits yang dha'if dan seterusnya.
c. Al-Qur’an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya sedangkan hadits tidak.
d. Apabila Al-Qur’an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi tidak harus demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits.

Sejarah Singkat Perkembangan Al-Hadits
Para ulama membagi perkembangan hadits itu kepada 7 periode yaitu :
a. Masa wah yu dan pembentukan hukum (pada Zaman Rasul : 13 SH – 11 SH).
b. Masa pembatasan riwayat ( masa khulafaur-rasyidin : 12-40 H ).
c. Masa pencarian hadits ( pada masa generasi tabi’in dan sahabat-sahabat muda : 41 H – akhir abad 1 H ).
d. Masa pembukuan hadits ( permulaan abad II H ).
e. Masa penyaringan dan seleksi ketat ( awal abad III H ) sampai selesai.
f. Masa penyusunan kitab-kitab koleksi ( awal abad IV H sampai jatuhnya Baghdad pada tahun 656 H ).
g. Masa pembuatan kitab syarah hadits, kitab-kitab tahrij dan penyusunan kitab-kitab koleksi yang lebih umum ( 656 H dan seterusnya ).
Pada zaman Rasulullah al-Hadits belum pernah dituliskan sebab :
a. Nabi sendiri pernah melarangnya, kecuali bagi sahabat-sahabat tertentu yang diizinkan beliau seba gai catatan pribadi.
b. Rasulullah berada ditengah-tengah ummat Islam sehingga dirasa tidak sangat perlu untuk dituliskan pada waktu itu.
c. Kemampuan tulis baca di kalangan sahabat sangat terbatas.
d. Ummat Islam sedang dikonsentrasikan kepada Al-Qur’an.
e. Kesibukan -kesibukan ummat Islam yang luar biasa dalam menghadapi perjuangan da’wah yang sangat penting.
Pada zaman-zaman berikutnya pun ternyata al-Hadits belum sempat dibukukan karena sebab-sebab tertentu. Baru pada zaman ‘Umar bin Abdul Aziz, khalifah ke-8 dari dinasti Bani Umayyah ( 99-101 H ) timbul inisiatif secara resmi untuk menulis dan membukukan hadits itu. Sebelumnya hadits-hadits itu hanya disampaikan melalui hafalan-hafalan para sahabat yang kebetulan hidup lama setelah Nabi wafat dan pada sa’at generasi tabi’in mencari hadits -hadits itu.
Diantara sahabat-sahabat itu ialah :
Abu Hurairah, meriwayatkan hadits sekitar 5374 buah. Abdullah bin ‘ Umar bin Khattab, meriwayatkan sekitar 2630 buah. Anas bin Malik, meriwayatkan sebanyak 2286 buah. Abdullah bin ‘Abbas, meriwayatkan sebanyak 1160 buah. ‘Aisyah Ummul Mu’minin, meriwayatkan sebanyak 2210 buah. Jabir bin ‘Abdillah meriwayatkan sebanyak 1540 buah. Abu Sa’id al-Hudri meriwayatkan 1170 buah.
Kenapa kemudian Hadits Dikodifikasi ?
Kodifikasi Hadits itu justru dilatar belakangi oleh adanya usaha-usaha untuk membuat dan menyebarluaskan hadits-hadits palsu dikalangan ummat Islam, baik yang dibuat oleh ummat Islam sendiri karena maksud-maksud tertentu, maupun oleh orang-orang luar yang sengaja untuk menghancurkan Islam dari dalam. Dan sampai saat ini ternyata masih banyak hadits-hadits palsu itu bertebaran dalam beberapa literatur kaum Muslimin. Di samping itu tidak sedikit pula kesalahan-kesalahan yang berkembang dikalangan masyarakat Islam, berupa anggapan terhadap pepatah-pepatah dalam bahasa Arab yang dinilai mereka sebagai hadits.
Walaupun ditinjau dari segi isi materinya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam, tetapi kita tetap tidak boleh mengatakan bahwa sesuatu ucapan itu sebagai ucapan Rasulullah kalau memang bukan sabda Rasul. Sebab Sabda Rasulullah :
“Barangsiapa berdusta atas namaku maka siap-siap saja tempatnya dineraka“.
Alhamdulillah, berkat jasa-jasa dari ulama-ulama yang saleh, hadits-hadits itu kemudian sempat dibukukan dalam berbagai macam buku, serta diadakan seleksi-seleksi ketat oleh mereka sampai melahirkan satu disiplin ilmu tersendiri yang disebut Ilmu Musthalah Hadits. Walaupun usaha mereka belum dapat membendung seluruh usaha-usaha
penyebaran hadits-hadits palsu dan lemah, namun mereka telah melahirkan normanorma dan pedoman-pedoman khusus untuk mengadakan seleksi sebaik-baiknya yang dituangkan dalam ilmu musthalah hadits tersebut. Sehingga dengan pedoman itu ummat Islam sekarang pun dapat mengadakan seleksi-seleksi. Nama-nama Ishak bin Rahawih, Imam Bukhari, Imam Muslim, ar-Rama at-Turmudzi, al-Madini, Ibnu Shalah dan banyak lagi ulama-ulama saleh lainnya adalah
rentetan nama-nama yang besar jasanya dalam usaha penyelamatan hadits-hadits dari kepalsuan-kepalsuan sehingga lahirlah ilmu tersebut.
Untuk memberikan gambaran perkembangan hadits dapat kita perhatikan perkembangan kelahiran kitab-kitab hadits dan ilmu-ilmu hadits.

Perkembangan Kitab-kitab Hadits
A. Cara penyusunan kitab-kitab hadits.
Dalam penyusunan kitab-kitab hadits para ulama menempuh cara-cara antara lain :
1. Penyusunan berdasarkan bab-bab fiqhiyah, mengumpulkan hadits-hadits yang berhubungan dengan shalat umpamanya dalam babush-shalah,hadits-hadits yang berhubungan dengan masalah wudhu dalam babul-wudhu dan sebagainya. Cara ini terbagi dua macam :
a. Dengan mengkhususkan hadits-hadits yang shahih saja, seperti yang ditempuh oleh Imam Bukhari dan Muslim.
b. Dengan tidak mengkhususkan hadits -hadits yang shahih ( asal tidak munkar ), seperti yang ditempuh oleh Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, dan sebagainya.
2. Penyusunan berdasarkan nama-nama sahabat yang meriwayatkannya. Cara ini terbagi dua macam :
a. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan abjad.
b. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan nama qabilah. Mereka dahulukan Banu Hasyim, kemudian qabilah yang terdekat dengan Rasulullah.
c. Dengan menyusun nama-nama sahabat berdasarkan kronologik masuknya Islam. Mereka didahulukan sahabat-sahabat yang termasuk assabiqunal awwalun kemudian ahlul Badr, kemudian ahlul Hudaibiyah, kemudian yang turut hijrah dan seterusnya.
d. Dengan menyusun sebagaimana ketiga dan dibagi-bagi berdasarkan awamir, nawahi, ikhbar, ibadat, dan af’alun nabi. Seperti yang ditempuh oleh Ibnu Hibban dalam shahehnya.
3. Penyusunan berdasarkan abjad-abjad huruf dari awal matan hadits, seperti yang ditempuh oleh Abu Mansur Abdailani dalam Musnadul Firdausi dan oleh as-Suyuti dalam Jamiush-Shagir.

B. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke I H.
1. Ash-Shahifah oleh Imam Ali bin Abi Thalib.
2. Ash-Shadiqah oleh Imam Abdullah bin Amr bin ‘Ash.
3. Daftar oleh Imam Muhammad bin Muslim ( 50 – 124 H ).
4. Kutub oleh Imam Abu Bakar bin Hazmin.
Keempat-empatnya tidak sampai ke tangan kita, jadi hanya berdasarkan keterangan sejarah saja yang dapat dipertanggung-jawabkan.

C. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-2 H.
1. Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu’man (wafat 150 H).
2. Al-Muwaththa oleh Imam Malik Anas (93 – 179 H).
3. Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’I (150 – 204 H).
4. Mukhtaliful Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi’I (150 – 204 H).
5. Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha al-Katsin (148 – 203 H).
6. Al-Jami’ oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan’ani (wafat 311 H).
7. Mushannaf oleh Imam Syu’bah bin Jajaj (80 – 180 H).
8. Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa’ud (94 – 175 H).
9. Mushannaf oleh Imam Sufyan bin ‘Uyaina (107 – 190 H).
10. as-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i (wafat 157 H).
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu nomor 1 sampai dengan 5.

D. Kitab-kitab Hadits pada abad ke-3 H.
1. Ash-Shahih oleh Imam Muh bin Ismail al-Bukhari (194 – 256 H).
2. Ash-Shahih oleh Imam Muslim al-Hajjaj (204 – 261 H).
3. As-Sunan oleh Imam Abu Isa at-Tirmidzi (209 – 279 H ).
4. As-Sunan oleh Imam Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’at (202 – 275 H).
5. As-Sunan oleh Imam Ahmad b.Sya’ab an-Nasai (215 – 303 H).
6. As-Sunan oleh Imam Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman ad Damiri (181 – 255 H).
7. As-Sunan oleh Imam Muhammad bin Yazid bin Majah Ibnu Majah (209 - 273 H).
8. Al-Musnad oleh Imam Ahmad bin Hambal (164 – 241 H).
9. Al-Muntaqa al-Ahkam oleh Imam Abd Hamid bin Jarud (wafat 307 H).
10. Al-Mushannaf oleh Imam Ibn. Abi Syaibah (wafat 235 H).
11. Al-Kitab oleh Muhammad Sa’id bin Manshur (wafat 227 H).
12. Al-Mushannaf oleh Imam Muhammad Sa’id bin Manshur (wafat 227 H).
13. Tandzibul Afsar oleh Imam Muhammad bin Jarir at-Thobari (wafat 310 H).
14. Al-Musnadul Kabir oleh Imam Baqi bin Makhlad al-Qurthubi (wafat 276 H).
15. Al-Musnad oleh Imam Ishak bin Rawahaih (wafat 237 H).
Dan masih banyak sekali kitab-kitab musnad yang ditulis oleh para ulama abad ini.

E. Kitab-kitab Hadits Pada Abad ke-4 H.
1. Al-Mu’jam Kabir, ash-Shagir dan al-Ausath oleh Imam Sulaiman bin Ahmad ath-Thabrani (wafat 360 H).
2. As-Sunan oleh Imam Darulkutni (wafat 385 H).
3. Ash-Shahih oleh Imam Abu Hatim Muhammad bin Habban (wafat 354 H).
4. Ash-Shahih oleh Imam Abu ‘Awanah Ya’qub bin Ishaq (wafat 316 H).
5. Ash-Shahih oleh Imam Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq (wafat 311 H).
6. Al-Muntaqa oleh Imam Ibnu Saqni Sa’id bin’Usman al-Baghdadi (wafat 353 H).
7. Al-Muntaqa oleh Imam Qasim bin Asbagh (wafat 340 H).
8. Al-Mushannaf oleh Imam Thahawi (wafat 321 H).
9. Al-Musnad oleh Imam Ibnu Jami Muhammad bin Ahmad ( wafat 402 H ).
10.Al-Musnad oleh Imam Muhammad bin Ishaq ( wafat 313 H ).

F. Tingkatan Kitab Hadits.
Menurut penyelidikan para ulama ahli hadits secara garis besar tingkatan kitab-kitab hadits tersebut bisa dibagi sebagai berikut :
1. Kitab Hadits ash-Shahih yaitu kitab-kitab hadits yang telah diusahakan para penulisnya untuk hanya menghimpun hadits-hadits yang shahih saja.
2. Kitab-kitab Sunan yaitu kitab-kitab hadits yang tidak sampai kepada derajat munkar. Walaupun mereka memasukkan juga hadits -hadits yang dha’if (yang tidak sampai kepada munkar). Dan sebagian mereka menjelaskan kedha’ifannya.
3. Kitab-kitab Musnad yaitu kitab-kitab hadits yang jumlahnya sangat banyak sekali. Para penghimpunnya memasukkan hadits -hadits tersebut tanpa penyaringan yang seksama dan teliti. Oleh karena itu didalamnya bercampur-baur diantara hadits-hadits yang shahih, yang dha’if dan yang lebih rendah lagi. Adapun kitab-kitab lain adalah disejajarkan dengan al-Musnad ini. Diantara kitab-kitab hadits yang ada, maka Shahih Bukhari-lah kitab hadits yang terbaik dan menjadi sumber kedua
setelah al-Qur’an, dan kemudian menyusul Shahih Muslim. Ada para ulama hadits yang meneliti kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, tetapi ternyata kurang dapat dipertanggungjawabkan, walaupun dalam cara penyusunan hadits-hadits, kitab Muslim lebih baik daripada Bukhari, sedang syarat-syarat hadits yang digunakan Bukhari ternyata tetap lebih ketat dan lebih teliti daripada apa yang ditempuh Muslim. Seperti tentang syarat yang diharuskan Bukhari berupa keharusan kenal baik antara seorang penerima dan penyampai hadits, dimana bagi
Muslim hanya cukup dengan muttashil ( bersambung ) saja.

G. Kitab-kitab Shahih Selain Bukhari Muslim.
Ada beberapa ulama yang telah berusaha menghimpun hadits-hadits shahih sebagaimana yang ditempuh oleh Bukhari dan Muslim, akan tetapi menurut penyelidikan ahli-ahli hadits, ternyata kitab-kitab mereka tidak sampai kepada tingkat kualitas kitab-kitab Bukhari dan Muslim.
Para ulama yang menyusun Kitab Shahih tersebut ialah :
1. Ibnu Huzaimah dalam kitab ash-Shahih.
2. Abu ‘Awanah dalam kitab ash-Shahih.
3. Ibnu Hibban dalam kitab at-Taqsim Walarba.
4. Al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak.
5. Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa.
6. Ibnu Abdil Wahid al-Maqdisi dalam kitabnya al-Mukhtarah.
Menurut sebagian besar para ulama hadits, diantara kitab-kitab hadits ada 7 ( tujuh )
kitab hadits yang dinilai terbaik yaitu :
1. Ash-Shahih Bukhari.
2. Ash-Shahih Muslim.
3. Ash-Sunan Abu-Dawud.
4. As-Sunan Nas ai.
5. As-Sunan Tirmidzi.
6. As-Sunan Ibnu Majah.
7. Al-Musnad Imam Ahmad.

Perkembangan Ilmu Hadits
Ilmu Hadits yang kemudian populer dengan ilmu mushthalah hadits adalah salah satu cabang disiplin ilmu yang semula disusun oleh Abu Muhammad ar-Rama al-Hurmuzi (wafat 260), walaupun norma-norma umumnya telah timbul sejak adanya usaha pengumpulan dan penyeleksian hadits oleh masing-masing penulis hadits.
Secara garis besarnya ilmu hadits ini terbagi kepada dua macam yaitu : ilmu hadits riwayatan dan ilmu hadits dirayatan. Ilmu hadits dirayatan membahas hadits dari segi diterima atau tidaknya, sedang ilmu hadits riwayatan membahas materi hadits itu sendiri. Dalam perkembangan berikutnya telah lahir berbagai cabang ilmu hadits, seperti:
a. Ilmu rijalul hadits, yaitu ilmu yang membahas tokoh-tokoh yang berperan dalam periwayatan hadits.
b. Ilmu jarh wat-ta’dil, yaitu ilmu yang membahas tentang jujur dan tidaknya pembawa -pembawa hadits.
c. Ilmu tashif wat-tahrif, yaitu ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang berubah titik atau bentuknya.
d. Ilmu ‘ilalil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang penyakit-penyakit yang tidak nampak dalam suatu hadits, yang dapat menjatuhkan kwalitas hadits tersebut.
e. Ilmu gharibil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang kalimat-kalimat yang sukar dalam hadits.
f. Ilmu asbabi wurudil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang sebab timbulnya suatu hadits.
g. Ilmu talfiqil hadits, yaitu ilmu yang membahas tentang cara mengumpulkan hadits yang nampaknya bertentangan.
i. Dan lain-lain.

Seleksi Hadits
Dengan menggunakan berbagai macam ilmu hadits itu, maka timbullah berbagai macam nama hadits, yang disepakati oleh para ulama, yang sekaligus dapat menunjukkan jenis, sifat, bentuk, dan kualitas dari suatu hadits. Yang paling penting untuk diketahui adalah pembagian hadits itu atas dasar kualitasnya yaitu :
a. Maqbul (dapat diterima sebagai pedoman) yang mencakup hadits shahih dan hadits hasan.
b. Mardud (tidak dapat diterima sebagai pedoman) yang mencakup hadits dha’if / lemah dan hadits maudhu’ / palsu.

Usaha seleksi itu diarahkan kepada tiga unsur hadits, yaitu :
a. Matan (materi hadits).
Suatu materi hadits dapat dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan dengan al-Qur’an atau hadits lain yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan realita, tidak bertentangan dengan fakta sejarah, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok ajaran Islam. Untuk sekedar contoh dapat kita perhatikan hadits-hadits yang dinilai baik,tapi bertentangan isi materinya dengan al-Qur’an :
1. Hadits yang mengatakan bahwa “Seorang mayat akan disiksa oleh Tuhan karena ratapan ahli warisnya“, adalah bertentangan dengan firman Allah : “Wala taziru waziratun wizra ukhra“ yang artinya “Dan seseorang tidak akan memikul dosa orang lain“ (al-An’am : 164).
2. Hadits yang mengatakan : “Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan punya hutang puasa, maka hendaklah dipuasakan oleh walinya“, adalah bertentangan dengan firman Allah : “Wa allaisa lil insani illa ma-sa’a“, yang artinya : “Dan seseorang tidak akan mendapatkan pahala apa-apa kecuali dari apa yang dia kerjakan sendiri“. (an-Najm : 39).
Ada satu norma yang disepakati oleh mayoritas ulama, yaitu : “ Apabila Qur’an dan hadits bertentangan, maka ambillah Qur’an “.

b. Sanad ( persambungan antara pembawa dan penerima hadits ).
Suatu persambungan hadits dapat dinilai segala baik, apabila antara pembawa dan penerima hadits benar-benar bertemu bahkan dalam batas-batas tertentu berguru.
Tidak boleh ada orang lain yang berperanan dalam membawakan hadits tapi tidak nampak dalam susunan pembawa hadits itu.
Apabila ada satu kaitan yang diragukan antara pembawa dan penerima hadits, maka hadits itu tidak dapat dimasukkan dalam kriteria hadits yang maqbul.
c. Rawi ( orang-orang yang membawakan hadits ) :
Seseorang yang dapat diterima haditsnya ialah yang memenuhi syarat-syarat :
1. ‘Adil, yaitu orang Islam yang baligh dan jujur, tidak pernah berdusta dan membiasakan dosa.
2. Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan kriteria-kriteria seleksi tersebut, maka jumhur ( mayoritas ) ulama berpendirian bahwa kitab ash-Shahih Bukhari dan kitab ash-Shahih Imam Muslim dapat dijamin keshahihannya ditinjau dari segi sanad dan rawi. Sedang dari segi matan kita dapat memberikan seleksinya dengan pedoman-pedoman diatas.
Beberapa langkah praktis dalam usaha seleksi hadits, apakah sesuatu hadits itu maqbul atau tidak adalah :
1. Perhatikan materinya sesuai dengan norma diatas.
2. Perhatikan kitab pengambilannya (rowahu = diriwayatkan atau ahrajahu = dikeluarkan ). Apabila matannya baik diriwayatkan oleh Bukhari atau Muslim, maka dapat dinilai hadits itu shahih atau paling rendah hasan.
Dengan demikian dapat dikatakan shahih apabila ujung hadits itu oleh para ulama diberi kata-kata :
a. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh jama’ah.
b. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 7.
c. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh Imam 6.
d. Diriwayatkan / dikeluarkan oleh dua syaikh ( Bukhari dan Muslim ).
e. Disepakati oleh Bukhari dan Muslim ( Muttafaqun ‘ alaihi ).
f. Diriwayatkan oleh Bukhari saja atau oleh Muslim saja.
g. Diriwayatkan oleh …..dan disyahkan oleh Bukhari atau Muslim.
h. Diriwayatkan oleh …..dengan syarat Bukhari atau Muslim.
3. Apabila sesuatu hadits sudah baik materinya tetapi tidak termasuk dalam persyaratan pun 2 diatas maka hendaknya diperhatikan komentar-komentar ulama terhadap hadits itu seperti :
Komentar baik : Hadits quwat, hadits shahih,hadits jayyid, hadits baik, hadits pilihan dan sebagainya.
Komentar jelek : Hadits putus, hadits lemah, hadits ada illatnya, mauquf, maqthu, mudallas, munkar, munqathi, muallak, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini kita akan menemukan sesuatu hadits yang mendapatkan penilaian berbeda/bertentangan antara seorang ulama dan lainnya. Maka langkah kita adalah: dahulukan yang mencela sebelum yang memuji (“Al-jarhu Muqaddamun ‘alat ta’dil“). Hal ini apabila dinilai oleh sama-sama ahli hadits. Hal lain yang perlu diperhatikan ialah bahwa tidak semua komentar ulama tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Artinya sesuatu hadits yang dikatakan oleh para ulama shahih, kadang-kadang setelah diteliti kembali ternyata tidak demikian. Contohnya dalam hadits kita akan menemukan kata-kata dan dishahihkan oleh Imam Hakim, oleh Ibnu Huzaimah dan lain-lain, tetapi ternyata hadits tersebut tidak shahih ( belum tentu shahih ).
4. Apabila langkah-langkah diatas tidak mungkin ditempuh atau belum memberikan kepastian tentang keshahihan sesuatu hadits, maka hendaknya digunakan normanorma umum seleksi, seperti yang diterangkan diatas, yaitu menyelidiki langsung tentang sejarah para rawi dan lain-lain, dan untuk ini telah disusun oleh para ulama terdahulu sejumlah buku-buku yang membahas tentang sejarah dan keadaan
para pembawa hadits, seperti yang pernah dilakukan oleh al-Bukhari dalam bukunya ad-Dhu’afa (kumpulan orang -orang yang lemah haditsnya).

Masalah Hadits-hadits Palsu (Maudhu')
Perpecahan dibidang politik dikalangan ummat Islam yang memuncak dengan peristiwa terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan, Khalifah ke-3 dari khulafa’ur rasyidin, dan bentrok senjata antara kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib dan pendukung Mu’awiyah bin Abu Sufyan, telah mempunyai pengaruh yang cukup besar kearah timbulnya usahausaha
sebagian ummat Islam membuat hadits-hadits palsu guna kepentingan politik.
Golongan Syi’ah sebagai pendukung setia kepemimpinan ‘Ali dan keturunannya yang kemudian tersingkirkan dari kekuasaan politik waktu itu, telah terlibat dalam penyajian hadits-hadits palsu untuk membela pendirian politiknya.
Golongan ini termasuk golongan yang paling utama dalam usaha membuat hadits-hadits palsu yang kemudian disusul oleh banyak kelompok ummat Islam yang tidak sadar akan bahaya usaha-usaha yang demikian. Golongan Rafidhah ( salah satu sekte Syiah ) dinilai oleh sejarah sebagai golongan yang paling banyak membuat hadits-hadits palsu itu.
Diantara hadits-hadits palsu yang membahayakan bagi kemurnian ajaran Islam, pertama-tama yalah yang dibuat oleh orang -orang jahat yang sengaja untuk mengotorkan ajaran Islam dan menyesatkan ummatnya.
Kemudian yang kedua yang dibuat oleh ummat Islam sendiri yang maksudnya baik seperti untuk mendorong orang Islam beribadah lebih rajin dan lain sebagainya, tetapi lupa akan dasar yang lebih pokok dan lebih prinsipil dalam agama. Dengan demikian motif-motif pembuatan hadits palsu itu dapat kita simpulkan antara lain sebagai berikut :
a. Karena politik dan kepemimpinan;
b. Karena fanatisme golongan dan bahasa;
c. Karena kejahatan untuk sengaja mengotori ajaran Islam;
d. Karena dorongan untuk berbuat baik tetapi bodoh tentang agama;
e. Karena keanehan-keanehan sejarah dan lain-lain;
f. Karena soal-soal fiqh dan pendapat dalam bidang ilmu kalam;
g. Dan lain-lain.

Keadaan demikian telah mendorong para ulama saleh untuk tampil ke depan berusaha mengadakan seleksi dan koreksi serta menyusun norma-norma dalam memilih hadits-hadits yang baik dan norma-norma dalam memilih hadits-hadits yang palsu. Mereka sempat mengumpulkan sejumlah nama-nama orang yang baik dan sejumlah nama-nama
orang yang biasa membuat hadits palsu. Mereka menyusun kitab-kitab khusus yang membahas hadits-hadits yang baik. Untuk mengetahui bahwa sesuatu hadits itu adalah hadits palsu, kita dapat mengenal beberapa ciri-cirinya antara lain :
a. Pengakuan pembuatnya.
b. Perawinya sudah terkenal sebagai pembuat hadits-hadits maudhu’
c. Isi atau materinya bertentangan dengan akal pikiran yang sehat .
d. Isinya bertentangan dengan ketentuan agama, ‘aqidah Islam.
e. Isinya bertentangan dengan ketentuan agama yang sudah qath’i
f. Isinya mengandung obral pahala dengan amal yang sangat sederhana.
g. Isinya mengandung kultus-kultus individu.
h. Isinya bertentangan dengan fakta sejarah.

Contoh-contoh Hadits-hadits Palsu (Maudhu') berdasarkan Motifnya
a. Motif Politik dan Kepemimpinan.
“Apabila kamu melihat Mu’awiyah diatas mimbarku, maka bunuhlah“. “Orang yang berkepercayaan hanyalah tiga. Aku, Jibril dan Mu’awwiyah“.
b. Motif Zindik ( untuk mengotorkan agama Islam ).
“Melihat muka yang cantik adalah ‘ ibadah“. “Rasulullah ditanya : Dari apakah Tuhan kita itu ? Jawabnya : Tuhan itu dari air yang mengalir, bukan dari tanah dan bukan dari langit. Tuhan menciptakan kuda kemudian dijalankannya sampai berkeringat. Maka Allah menciptakan dirinya dari keringat tersebut“.
c. Motif ta’assub dan fanatisme.
“Sesungguhnya Allah apabila marah , maka menurunkan wahyu dalam bahasa Arab. Dan apabila tidak marah menurunkannya dalam bahasa Parsi“. “Dikalangan ummatku akan ada seorang yang bernama Abu Hanifah an-Nu’man. Ia adalah pelita ummatku“. “Di kalangan ummatku akan ada seorang yang diberi nama Muhammad bin Idris. Ia adalah yang menyesatkan ummatku lebih daripada iblis“.
d. Motif faham-faham fiqh.
“Barangsiapa mengangkat dua tangannya di dalam shalat maka tidak sah shalatnya “. “Berkumur dan mengisap air bagi junub tiga kali tiga kali adalah wajib“. “Jibril mengimamiku di depan Ka’bah dan mengeraskan bacaan bismillah“.
e. Motif senang kepada kebaikan tapi bodoh tentang agama.
“Barangsiapa menafkahkan setali untuk mauludku maka aku akan menjadi penolongnya di yaumil akhir“. Seperti hadits-hadits tentang fadhilah surat-surat Qur’an, obral pahala dan sebagainya.
f. Motif penjilatan kepada pemimpin.
Ghiyas bin Ibrahim an-Nakha’i al-Kufi pernah masuk ke rumah Mahdi (salah seorang penguasa) yang senang sekali kepada burung merpati. Salah seorang berkata kepadanya, coba terangkan kepada amir ul mukminin tentang sesuatu hadits, maka berkatalah Ghiyas ; “Tidak ada taruhan melainkan pada anak panah, atau unta atau
kuda, atau burung“.

Rabu, September 23, 2009

TUGAS SKIP KELAS PAI-H

Bagi mahasiswa yang mengambil matakuliah SKI dan Pembelajarannya, silahkan tuangkan hasil survey lapangan Saudara di kotak komentar, terutama Komentar Saudara terhadap Silabus dan RPP SKI yang ada di madrasah tempat survey! [Catatan: untuk hasil survey tentang Pendekatan dan Strategi Pembelajaran, silahkan Saudara kirim ke email saya: muqowim71@yahoo.com maksimal minggu depan dengan menggunakan ALAMAT EMAIL SENDIRI]

TUGAS SKIP KELAS PAI-G

Bagi mahasiswa yang mengambil matakuliah SKI dan Pembelajarannya, silahkan tuangkan hasil survey lapangan Saudara di kotak komentar, terutama Komentar Saudara terhadap Silabus dan RPP SKI yang ada di madrasah tempat survey! [Catatan: untuk hasil survey tentang Pendekatan dan Strategi Pembelajaran, silahkan Saudara kirim ke email saya: muqowim71@yahoo.com maksimal minggu depan dengan menggunakan ALAMAT EMAIL SENDIRI]

SELAMAT IDUL FITRI 1430 H

DI HARI YANG FITRI INI, SAYA MENGUCAPKAN "SELAMAT MERAYAKAN 'IDUL FITRI 1430 H", MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN. SEMOGA KITA BISA LEBIH MENCERAHKAN MANUSIA DAN BANYAK MEMBERI MANFAAT BAGI UMAT MANUSIA. KHAYR AL-NAS ANFA'UHUM LIN-NAS.

Senin, Agustus 31, 2009

SAP PSI

SATUAN ACARA PERKULIAHAN

Muqowim

Integrasi-Interkoneksi
1. Matakuliah pendukung integrasi-interkoneksi
Semua matakuliah terkait dengan Pengantar Studi Islam, sebab pada dasarnya PSI merupakan perspektif yang harus ada dalam setiap matakuliah. Dengan kata lain, semua matakuliah pada dasarnya merupakan penjabaran lebih rinci dari perkuliahan PSI, sehingga pengembangan semua matakuliah dalam proses pembelajaran harus bertolak dari makna studi Islam yang ada dalam PSI ini.

2. Level Integrasi-Interkoneksi
a. Filosofis: pada level ini matakuliah ini memberikan perspektif terhadap semua matakuliah lain, sebab pemaknaan tentang Islam sangat tergantung pada perkuliahan ini. Makna studi Islam secara komprehensif yang menjadikan al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai inti (core) atau inspirasi merupakan cermin tidak adanya paradigma dikotomik dalam pendidikan.
b. Materi: pada tingkat ini perkuliahan PSI didukung dan dijabarkan lebih konkret dalam matakuliah-matakuliah lain. PSI memberikan sebuah pengantar tentang makna Islam secara global yang akan dielaborasi secara substansi dan metodologinya melalui perkuliahan yang lain.
c. Metodologi: pada tahapan ini matakuliah PSI memberikan gambaran yang utuh tentang makna studi Islam dan bagaimana melakukan studi Islam dengan menggunakan banyak pendekatan, baik normatif, sosial-humaniora, bahkan kealaman. Wilayah studi Islam yang empirik dapat dianalisis dengan menggunakan berbagai pendekatan ilmu sosial, sehingga mampu menjelaskan persoalan adanya jurang antara idealitas Islam dan realitas Islam..
d. Strategi: pada fase ini perkuliahan dilakukan dengan menggali berbagai persoalan yang terkait dengan Islam, baik dari aspek idealitas yang terkandung dalam nas ataupun dalam realitas yang menyejarah, sehingga ajaran Islam dapat memberikan alternatif pemecahan terhadap berbagai persoalan realitas empirik-historis.

3. Proses Integrasi-Interkoneksi
Proses integrasi matakuliah ini dilakukan dengan mengaitkan seluruh matakuliah, sebab semua matakuliah pada dasarnya merupakan penjabaran lebih detil dari makna studi Islam yang ada dalam perkuliahan PSI. Untuk itu, semua matakuliah lain harus menjabarkan proses perkuliahan dengan terlebih dahulu memahami makna studi Islam dalam perspektif baru, yaitu studi Islam dalam arti interconnected entities.

Deskripsi Mata Kuliah :
Matakuliah ini lebih dimaksudkan untuk memberikan bekal bagi mahasiswa untuk menjadi seorang peneliti (researcher) dalam bidang ke-Islam-an. Selama ini di kalangan umat Islam masih terdapat misunderstanding dan misconception dalam memahami kajian Islam secara akademik. Islam lebih dipahami sebagai suatu doktrin statis yang tidak perlu dikaji, sebab meneliti Islam berarti mempertanyakan eksistensi dan validitas wahyu agama Islam. Mengkaji Islam berarti mereduksi agama Islam, sebab Islam disamakan dengan ilmu pengetahuan lain yang observable, measurable, dan verifiable. Anggapan ini to some extent benar, meski tidak harus demikian cara memandang Islam. Dalam dataran doktrin (wahyu) yang normatif asumsi ini bisa diterima, namun ketika hal demikian dibenturkan dengan konteks zaman (sejarah), maka muncul berbagai pertanyaan yang perlu dijawab. Misalnya, mengapa terjadi perbedaan yang cukup tajam antara doktrin yang terkandung di dalam nusūs dengan manifestasi doktrin dalam konteks historis, antara das Sein dan das Sollen. Perbedaan ini dapat dilihat dalam berbagai bentuk, baik dari konteks zamān (waktu) maupun makān (tempat). Bila ditarik dalam konteks yang lebih global, mengapa peradaban Islam saat ini ketinggalan dengan peradaban lain, kalau memang Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya (al-islām ya’lū walā yu’lā ‘alayh). Selain itu, dalam al-Qur’an secara tegas dinyatakan bahwa Islam sebagai agama rahmatan lil-‘ālamīn, bukan hanya rahmatan lil-muslimīn saja, namun kenyataannya banyak kasus kerusuhan dan kekerasan yang justru dilakukan oleh umat Islam. Matakuliah ini tidak dimaksudkan untuk menilai sebuah peristiwa atau pemikiran sebagai sesuatu yang baik atau buruk, benar atau salah, akan tetapi matakuliah ini lebih dimaksudkan untuk menelaahnya secara kritis, obyektif, dan rasional.
Pada dasarnya keragaman cara memandang Islam lebih disebabkan oleh perbedaan pemahaman dan konteks sosial-budaya yang dihadapi oleh umat Islam dan para pemerhati Islam. Perbedaan pemahaman tersebut sangat terkait dengan tingkat pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, sementara konteks sosial dan budaya sangat terkait dengan situasi masyarakat yang dihadapi. Karena itu, banyaknya metodologi yang ditawarkan dalam melakukan kajian Islam, baik yang selama ini dikembangkan di Dunia Timur maupun di Dunia Barat adalah sebagai sebuah keniscayaan. Adanya perbedaan arah dan kecenderungan kajian Islam yang selama ini berkembang dan dikembangkan di pusat-pusat kajian Islam di dua dunia tersebut, lebih disebabkan oleh perbedaan sudut pandang (perspective) dalam memahami Islam yang menyejarah. Dunia Timur lebih concern terhadap persoalan materi (content) sementara Dunia Barat lebih menekankan pada segi metodologi dan pisau analisis. Perbedaan pemahaman dan konteks sosial tersebut pada akhirnya menyebabkan munculnya perbedaan pendekatan dan metodologi yang digunakan, misalnya pendekatan sejarah, sosiologi, antropologi, dan filologi. Beberapa pendekatan tersebut akan menjadi topik kajian dalam matakuliah ini. Selain itu, mata kuliah ini juga akan membahas studi Islam dalam berbagai disiplin, khususnya dikaitkan dengan paradigma yang digunakan oleh al-Jabiri, yaitu bayani, burhani, dan irfani.

Standar Kompetensi:
Mahasiswa memahami konsep studi Islam; memiliki sikap apresiatif terhadap berbagai pendekatan dan mampu mengaplikasikannya dalam studi Islam.

Kompetensi Dasar
1. Mahasiswa mampu memahami ruang lingkup studi Islam
2. Mahasiswa mampu memahami perkembangan studi Islam
3. Mahasiswa mampu memahami sumber ajaran Islam
4. Mahasiswa mampu memahami pengelompokan keilmuan dalam Islam
5. Mahasiswa mampu memahami berbagai pendekatan dalam studi Islam
6. Mahasiswa memahami beberapa isu aktual dalam studi Islam

Materi Pokok:
1. Pengertian studi Islam
2. Perkembangan studi Islam di Timur, Barat dan Indonesia
3. Sumber ajaran Islam
4. Pengelompokan keilmuan dalam Islam
5. Berbagai pendekatan dalam kajian Islam
6. Isu-isu aktual dalam studi Islam [multikulturalisme, civil society, gender equity, community development]

Komposisi Penilaian:
1. Keaktifan
2. Tugas Mandiri
3. Ujian Tengah Semester
4. Ujian Akhir Semester

DaftarReferensi
Wajib:
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Logos, 1998 : 1-7.
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta : Logos, 1999 : 201-216.
Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies: Review Essay,” dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, USA: The University of Arizona Press, 1985: 189-201.
M. Atho’ Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999: 1-10.
Richard C. Martin, “Islam and Religious Studies: An Introductory Essay,” dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, USA: The University of Arizona Press, 1985: 1-18.
Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Tazzafa dan Academia, 2009
Khoiruddin Nasution, Andy Dermawan dan Muqowim, Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2007
M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normatifitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991: xi-xvi.
Deliar Noer, “Diperlukan Pendekatan Bukan Barat Terhadap Kajian Masyarakat Indonesia,” dalam Mulyanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran: 31-49.
Ahmad Syafii Ma’arif, “Posisi Sentral Al-Qur’an dalam Studi Islam,” dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991: 125-134.
Fazlur Rahman, “Al-Qur’an,” dalam Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung : Pustaka, 1994 : 31-50.
Mohammad Quraish Shihab, “Posisi Sentral Al-Qur’an dalam Studi Islam,” dalam Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim (ed.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991: 135-148.

Anjuran:
Howard M. Federspiel, (ed.), An Anthology of Islamic Studies, Volume II, Montreal: McGill Institute of Islamic Studies, 1996: 1-5.
Issa J. Boullata, (ed.), An Anthology of Islamic Studies, Montreal: McGill Indonesian IAIN Development Project, 1992: 1-6.
Muhammad Abdul Rauf, “Outsiders’ Interpretations of Islam: A Muslim’s Point of View,” dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, USA: The University of Arizona Press, 1985: 179-188.
Mulyanto Sumardi, (ed.), Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran, Jakarta: Sinar Harapan, 1981: 1-6
Ahmad Syafii Mufid, “Penelitian Agama: Hakekat, Metode dan Kegunaannya,” dalam Affandi Mochtar (peny.), Menuju Penelitian Keagamaan dalam Perspektif Penelitian Sosial, Cirebon: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati, 1996: 31-42.
M. Atho’ Mudzhar, “Penelitian Agama dan Keagamaan: Peta dan Strategi Penelitian di IAIN,” dalam Affandi Mochtar (peny.), Menuju Penelitian Keagamaan dalam Perspektif Penelitian Sosial, Cirebon: Pusat Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Djati, 1996: 1-30.
Muhammad Abdul Rauf, “Outsiders’ Interpretations of Islam: A Muslim’s Point of View,” dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, USA: The University of Arizona Press, 1985: 179-188.
Muqowim, “Kenabian dalam al-Qur’an,” dalam Jurnal Dakwah, No. 3 Th. II Juli-Desember 2001: 113-129.
Deliar Noer, “Diperlukan Pendekatan Bukan Barat Terhadap Kajian Masyarakat Indonesia,” dalam Mulyanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama Masalah dan Pemikiran: 31-49.
M. Amin Abdullah, “Rekonstruksi Metodologi Studi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan Multirelijius,” dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Andrew Rippin, “Literary Analysis of Qur’an, Tafsir, and Sira: The Methodologies of John Wansbrough,” dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, Tucson: The University of Arizona Press, 1985: 151-163.
Anthony H. Johns, Qur’anic Exegesis in the Malay World: In Search of a Profile: 257-287.
Azim Nanji, “Toward a Hermeneutic of Qur’anic and Other Narratives of Isma’ili Thought,” dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies: 164-174.
Farid Esack, “Between Text and Context,” “Redefining Self and Other,” dan “The Qur’an and the Other,” dalam Qur’an, Liberation and Pluralism, Oxford: Oneworld, 1997: 49-81; 114-145; dan 146-178.
Fazlur Rahman, “Some Recent Books on the Qur’an by Western Authors,” dalam The Journal of Religion: 73-95.
Sa’ad Abdul Wahid, “Tarjamat Ma’ani al-Qur’an al-Karim wa Tatawwuruha,” dalam Al-Jami’ah, Vol. 38, No. 2, 2000: 452-475.
Ismail K. Poonawala, “Muhammad ‘Izzat Darwaza’s Principles of Modern Exegesis: A Contribution toward Qur’anic Hermeneutics,” dalam G.R. Hawting and Abdul-Kader A. Shareef (ed.), Approaches to the Qur’an: 225-246.
Isma’il Ragi al-Faruqi, “Toward A New Methodology for Qur’anic Exegesis,” dalam Islamic Studies, vol. I: 1 (1962): 25-52
Moch. Nur Ichwan, “Beyond Ideological Interpretation: Nasr Abu Zayd’s Theory of Qur’anic Hermeneutic,” dalam Al-Jami’ah, No. 65/XII/2000: 14-38.
Mohammad Nur Kholis Setiawan, “Literary Interpretation of the Qur’an: A Study of Amin al-Khuli’s Thought,” dalam Al-Jami’ah, No. 61/1998: 89-105.
Mustansir Mir, “The Sura as a Unity: A Twentieth Century Development in Qur’an Exegesis,” dalam G.R. Hawting and Abdul-Kader A. Shareef (ed.), Approaches to the Qur’an: 211-224.
William A. Graham, “Qur’an as Spoken Word: An Islamic Contribution to the Understanding of Scripture,” dalam Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies: 23-40.

Rabu, Juli 08, 2009

TUGAS MATAKULIAH IPI SEMESTER PENDEK

UNSUR PENDIDIKAN ISLAM

Jawablah soal berikut ini di dalam kotak komentar!
Menurut Anda, ada berapa unsur pendidikan Islam itu? Berikan penjelasan masing-masing secara singkat! Dari banyak unsur pendidikan tersebut, menurut Anda, mana yang paling penting saat ini dikaitkan dengan permasalahan pendidikan mutakhir? Berikan argumen Anda!

Minggu, April 19, 2009

TUGAS MATAKULIAH BIOETIKA [II]

PENERAPAN PARADIGMA INEGRASI DALAM BIOLOGI

Bagaimana penerapan model integrasi sains dan agama dalam biologi pada level ontologi, epistemologi dan aksiologi di Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga!

TUGAS MATAKULIAH PPK [KELAS PGMI B]

ISLAM DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI

Agama Islam banyak mendorong umatnya untuk mengolah potensi ekonomi untuk kesejahteraan manusia sehingga dapat mewujudkan misi Islam rahmatan lil-'alamin. Cari ayat al-Qur'an beserta terjemahnya dan matan Hadis yang berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi!

TUGAS MATAKULIAH PPK [KELAS PGMI A]

ISLAM DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI

Rasulullah bersabda bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Memberi lebih baik daripada menerima. Hadis ini seharusnya mendorong umat Islam untuk lebih giat bekerja agar dapat membantu sesama manusia yang lebih membutuhkan. Namun, kenyataannya banyak umat Islam yang masih dalam posisi selalu menerima [meminta], bukan memberi. Menurut Anda, apa yang menyebabkan umat Islam tidak mempunyai etos kerja tinggi sehingga selalu tergantung pada orang lain?

Jumat, April 10, 2009

TUGAS MATAKULIAH BIOETIKA

HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA

Menurut Ian Barbour, ada empat pola hubungan antara sains dan agama, yaitu pola konflik, inependen, dialog dan integrasi. Sementara itu, pandangan Islam tentang hubungan keduanya lebih bersifat integratif. Hubungan ini dapat diketahui dari tiga level, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Coba Saudara jelaskan tentang integrasi pada level epistemologi menurut al-Jabiri!

Kamis, Maret 19, 2009

WEDDIS FORUM PAI II

WEDDIS FORUM JURUSAN PAI
GENDER DALAM LINGKUNGAN SOSIAL PESANTREN
Pada tanggal 18 Maret 2009, Jurusan PAI kembali mengadakan WEDDIS FORUM ke-2. Pada diskusi kali ini bertindak selaku presenter adalah Dr. Hj. Ema Marhumah, M.Pd. atau Mbak Ema, begitu ia akrab dipanggil. Dosen PAI yang juga Direktur Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Sunan Kalijaga ini menyampaikan hasil penelitian doktoralnya terkait dengan gender di pesantren. Judul yang dia bawakan adalah Gender dalam Lingkungan Sosial Pesantren (Studi tentang Peran Kiai dan Nyai dalam Sosialisasi Gender di Pesantren Al-Munawwir dan Pesantren Ali Maksum Krapyak Yogyakarta).
Menurut Mbak Ema, penelitian ini setidaknya didasari oleh tiga pertimbangan. Pertama, pesantren merupakan lembaga pendidikan dan proses sosialisasi nilai-nilai keagamaan. Kedua, proses sosialisasi gender di pesantren sebagai proses produksi dan reproduksi diskursus gender yang merepresentasikan perwujudan relasi kekuasaan tertentu antara peran-peran mereka. Ketiga, kajian tentang gender di pesantren sangat menarik sebab fokus peneliti terdahulu tentang indigenous institution ini belum menyentuh aspek gender.
Fokus penelitian Mbak Ema terkait dengan empat hal: [1] menggambarkan para agen sosialisasi gender di pesantren; [2] memahami peran kiai dan nyai dalam membentuk wacana gender di pesantren; [3] menganalisa proses dan praktik pendidikan dan pengajaran di pesantren; [4] menelaah metode dan materi ajar lewat mana norma-norma dan ideologi gender diperkenalkan, dikembangkan, dipraktikan, dan dilembagakan dalam pesantren. Untuk membahas berbagai persoalan tersebut, teori yang digunakan Mbak Ema ada empat, yaitu teori Peran, teori sosialisasi dan agen sosialisasi, teori kekuasaan dan diskursus gender, dan teori qat’i dan zanni dalam diskursus gender.
Dalam riset ini, beberapa temuan penting yang dihasilkan adalah:
1. Kiai dan nyai secara garis besar memainkan peran yang sangat besar dalam diskursus gender di lingkungan pesantren dan mempengaruhi pandangan para santri berkenaan dengan isu gender,
2. Selain kiai dan nyai, agen-agen sosialisasi gender di Pesantren juga termasuk guru dan teman sebaya santri.
3. Pada manajemen pengajaran sekolah dan struktur lembaga madrasah, terdapat ketimpangan peran antara guru laki-laki dan guru perempuan di mana guru laki-laki lebih dominan.
4. Guru laki-laki mengajar subjek yang lebih diutamakan dan menyangkut bagian-bagian pokok pengajaran di madrasah. Sedangkan, guru perempuan jauh lebih sedikit dan mereka mengajar subjek yang dianggap lebih ringan
5. Perilaku kiai, nyai dan badal menunjukkan dua tendensi dalam sosialisasi gender, yaitu bermaksud melanggengkan stereotipe gender tradisional, dan bermaksud mengadakan perubahan peran gender secara lebih setara.
6. Proses normativitas peran gender tradisional dalam pesantren merupakan arus utama dalam sosialisasi gender di Pesantren
7. Peran dan posisi kiai dan nyai dalam sosialisasi gender dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu maksimalis, medium dan moderat
8. Metode sosialisasi ada dua yaitu metode penguatan ajaran gender tradisional secara tekstual dan metode sosialisasi perubahan wacana gender secara kontekstual
9. Materi pembelajaran di pesantren [kitab] belum menunjukkan pola relasi yang setara.
10. Konstruksi penyampai materi ada yang menguatkan peran normatif gender dan pemaknaan terhadap gender antara normatif dan historis
11. Adanya ketegangan dalam proses sosialisasi gender, yaitu dominasi normativitas peran gender terhadap kontekstualisasi peran gender, dominasi strong model dalam sosialisasi gender di pesantren, dan relasi kekuasaan dalam diskursus gender di pesantren.
Rekomendasi yang ditawarkan Mbak Ema adalah perlunya upaya untuk membuka sikap tertutup para pemegang otoritas, perlunya model-model pendidikan dan pengajaran berbasis gender (gender inclusive teaching), perlunya manajemen berbasis gender dalam pendidikan (model gender sensitive management), dan perlunya mendorong agar model pembelajaran yang bercorak lebih dialogis dan diskursif.

Beberapa pertanyaan dan komentar yang muncul adalah:
n Tentang argumen yang pro dan kontra terhadap kesetaraan gender
n Sangat menarik karena studi lapangan ketimbang literatur
n Ada tiga tiga teori utama dalam antropologi, yaitu fungsional, struktural, konflik. Mengapa Mbak Ema cenderung menggunakan teori konflik.
n Di lapangan masih sering muncul salah pemahaman tentang terma gender bahwa gender sama dengan jenis kelamin. Apakah di pesantren juga sama?
n Apa pengaruh pembelajaran yang dilakukan antara kyai dan nyai? Kalau dosen laki-laki, mahasiswa perempuan. Begitu juga sebaliknya. Bagaimana dengan di pesantren?
n Kasus Tuty Alawiyah yang punya pesantren besar dan banyak santrinya, apa pengaruhnya?
n Letak bias gender dalam pembuatan SAP dan RPP di mana?
n Meskipun belum data hasil penelitian, tetapi dalam pengamatan sekilas ada kecenderungan lebih banyak mahasiswi yang berprestasi ketimbang mahasiswa.
n Guru besar perempuan kok terbatas? Padahal tidak ada perlakuan di fakultas. Pemberian kesempatan sama. “tidak mau maju” [?]. Kasus Marwah Daud Ibrahim yang sedang hamil mengambil Program Doktor dengan penuh semangat

Terhadap pertanyaan dan tanggapan di atas, Mbak Ema memberikan respons sebagai berikut:
1. Hasil FGD PSW tentang kegiatan dosen laki-laki dan perempuan. Ada 7 kegiatan dosen laki-laki sehari untuk mendukung profesi pendidik. Dosen perempuan kesempatannya terbatas. Ada tugas-tugas produksi yang bisa dilakukan bersama, tidak hanya tugas reproduksi. Karena start-nya berbeda maka hasilnya juga berbeda, misalnya akses dari awal beda.
2. Di Depag belum ada renstra gender mainstreaming, di Diknas sudah ada. Tentang akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat [APKM] antara laki-laki dan perempuan.
3. Ada tugas-tugas reproduksi yang dilakukan dosen perempuan di rumah [konstruk relasi gender di rumah tiap dosen beda-beda]
4. RPP oleh guru. Prestasi siswa meningkat jika disebutkan istilah “siswa/siswi”.
5. Bahan ajar menceritakan peran perempuan di ranah privat sementara laki-laki di publik perlu disesuaikan.
6. Perlu ada kolaborasi di kelas
7. Bersama AIBEP melakukan kajian tentang realsi gender di lembaga pendidikan [100 madrasah]
8. Khawatir jika perempuan masih seperti sekarang. Tentang kuota minimal 30% bagi perempuan, tapi ada kendala start yang berbeda.
9. Tidak ada yang salah menggunakan teori fungsional dan struktural
10. Dengan teori Michel Foucault, tentang knowledge and power, kita dapat melihat ada yang salah dalam hal paradigma. Teori konflik lebih kritis dalam melihat relasi gender. Mengapa ada hambatan dengan santri perempuan yang mengajar? [mungkin] karena ada konsep penggoda. Kalau tidak ada diskriminasi sebenarnya tidak masalah. Adanya budaya patriarkhi
11. Masalah utama: tidak ada pembahasan tentang perempuan di pesantren [Zamakhsyari Dhofier, Manfred Ziemeck, Mastuhu, Abdurrahman Mas’ud, Martin van Bruinessen]

WEDDIS FORUM PAI I

WEDDIS FORUM JURUSAN PAI
KRITISISME HIKMAH KE ARAH EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM HUMANIS

Pada tanggal 4 Maret 2009, Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) mengadakan WEDDIS [WEDNESDAY DISCUSSION] FORUM yang pertama, yaitu sebuah forum bersama para dosen di lingkungan Jurusan PAI. Pada kesempatan ini bertindak sebagai presenter adalah Dr. Sumedi, M.Ag., dosen Jurusan PAI yang juga sebagai Sekretaris Program Studi Pendidikan Islam Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam forum ini Pak Medi, begitu ia biasa disapa, menyampaikan hasil penelitian doktoralnya dengan judul KRITISISME HIKMAH KE ARAH EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN ISLAM HUMANIS (Sintesis Epistemologi Barat dan Islam)
Menurutnya, topik ini menarik karena beberapa pertimbangan. Pertama, Ibn Taymiyyah merupakan tokoh yang banyak dikenal di kalangan umat Islam Indonesia seperti organisasi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama’. Kedua, Ibn Taymiyyah termasuk tokoh salafi yang menyerukan pembaharuan dan puritanisme. Ketiga, baik Ibn Taymiyyah maupun Popper merupakan kritikus para filosof muslim dan Barat. Keempat, keduanya memiliki karya banyak. Kelima, Popper sebagai pemikir yang melawan arus, kontroversial, kritis, antikemapanan.
Sedangkan yang menjadi latar belakang dari penelitian ini adalah [1] ada ketegangan antara ilmu-agama-kehidupan dengan dikotomis-sekuler-integrated dalam epistemologi dan filsafat ilmu sejak abad pertengahan sampai modern; [2] dominasi pola dikotomi-sekuler pada hubungan antara agama dan ilmu berefek negatif bagi ilmu itu sendiri dan bagi agama; dan [3] integrasi keilmuan dan agama melalui pemikiran di dua bidang, yaitu epistemologi dan filsafat ilmu.
Setelah melakukan kajian mendalam tentang pemikiran kedua tokoh tersebut dengan metode deskriptif-historis, komparatif, heuristik dan sintesis, Pak Medi menyimpulkan adanya model epistemologi kritisisme-hikmah [kritis, teoretis, empirik, dan ilahiyyah], sebagai bentuk gabungan dari pemikir muslim dan Barat tersebut.
Menurut kajian disertasinya, Pak Medi menawarkan beberapa implikasi terhadap pendidikan Islam. Pertama, perlunya pendidikan Islam humanistik. Kedua, adanya sifat relativistik dalam keilmuan agama Islam. Ketiga, perlunya berpikir kritis-analitis. Keempat, perlunya mengaitkan konsep pendidikan dengan aspek empirik [realitas empirik]. Keempat, perlunya mengembangkan nilai-nilai moral ilahiyyah.

Minggu, Maret 08, 2009

PEMBAGIAN TUGAS PENDIDIKAN GURU SKI

DAFTAR PEMBAGIAN TUGAS PEMBUATAN MAKALAH TENTANG REKONSTRUKSI SKI DI MADRASAH TSANAWIYAH

Ketentuan Tugas:
a. Tugas dibuat secara mandiri/individual
b. Panjang tulisan sekitar 10 halaman 1,5 spasi kuarto
c. Menggunakan kaidah penulan ilmiah seperti catatan kaki dan daftar pustaka
d. Menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh anak MTs
e. Perlu membuat rubrik penugasan untuk melatih anak melakukan rekonstruksi nilai SKI untuk era sekarang sesuai dengan kemampuan mereka
f. Makalah dipresentasikan di kelas
g. Setelah mendapatkan kritik/komentar/masukan dari forum kemudian diperbaiki oleh pemakalah

1. Nomor Presensi 1:
KD 1.1. Menjelaskan pengertian kebudayaan Islam
KD 1.2. menjelaskan tujuan dan manfaat mempelajari SKI
2. Nomor Presensi 2:
KD 1.3. Mengientifikasi bentuk/wujud kebudayaan Islam
3. Nomor Presensi 3:
KD 2.1. Mendeskripsikan misi Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi alam semesta,
pembawa kedamaian, ksejahteraan dan kemajuan masyarakat
KD 2.2. Mengambil ibrah dari misi Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat bagi alam semesta,
pembawa kedamaian, kesejahteraan dan kemajuan masyarakat untuk masa kini dan
yang akan datang
4. Nomor Presensi 4:
KD 2.3. Meneladani perjuangan Nabi Muhammad dan para sahabat dalam menghadapi
masyarakat Makkah
5. Nomor Presensi 5:
KD 3.1. Mendeskripsikan sejarah Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat
melalui kegiatan ekonomi dan perdagangan
KD 3.2. Mengambil ibrah dari misi Nabi Muhammad SAW dalam membangun masyarakat
melalui kegiatan ekonomi dan pedagangan untuk masa kini dan yang akan datang
6. Nomor Presensi 6:
KD 3.3. Meneladani semangat perjuangan Nabi dan para sahabat di Madinah
7. Nomor Presensi 7:
KD 1.1. Menceritakan berbagai prestasi yang dicapai oleh Khulafaurrasyidin
KD 1.2. Mengambil ibrah dari prestasi-prestasi yang dicapai oleh Khulafauurasyidin untuk
masa kini dan yang akan datang
8. Nomor Presensi 8:
KD 1.3. Meneladani gaya kepemimpinan Khulafauurasyidin
9. Nomor Presensi 9:
KD 2.1. Menceritakan sejarah berdirinya Daulah Amawiyah
KD 2.2. Mendeskripsikan perkembangan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Bani
Umayyah
10. Nomor Presensi 10:
KD 2.3. Mengidentidikasi tokoh ilmuwan muslim dan perannya dalam kemajuan
kebudayaan/peradaban Islam pada masa Bani Umayyah
11. Nomor Presensi 11:
KD 2.4. Mengambil ibrah dari perkembangan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Bani
Umayyah untuk masa kini dan yang akan datang
KD 2.5. Meneladani kesederhanaan dan kesalihan Umar bin Abdul Aziz
12. Nomor Presensi 12:
KD 1.1. Menceritakan sejarah berdirinya Daulah Abbasiyyah
KD 1.2. Mendeskrpsikan perkembangan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Bani
Abbasiyyah
13. Nomor Presensi 13:
KD 1.3. Mengientifikasi tokoh ilmuan muslim dan perannya dalam kemajuan kebudayaan/
peradaban Islam pada masa Bani Abbasiyyah
14. Nomor Presensi 14:
KD 1.4. Mengambil ibrah dari pekembangan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Bani
Abbasiyyah untuk masa kini dan yang akan datang
KD 1.5. Meneladani ketekunan dan kegigihan Bani Abbasiyyah
15. Nomor Presensi 15:
KD 2.1. Menceritakan sejarah berdirinya Dinasti al-Ayyubiyah
KD 2.2. Mendeskripsikan perkembangan kebudayaan/peradaban Islam pada masa Dinasti
al-Ayyubiyah
16. Nomor Presensi 16:
KD 2.3. Mengidentifikasi tokoh ilmuwan muslim dan perannya dalam kemajuan kebudayaan/
peradaban Islam pada masa Dinasti al-Ayyubiyah
KD 2.3. Mengambil ibrah dari perkembangan kebudayaan/peradaban Islam pada masa
Dinasti al-Ayyubiyah untuk masa kini dan yang akan datang
KD 2.4. meneladani sikap keperwiraan Shalahuddin al-Ayyubi
17. Nomor Presensi 17:
KD 1.1. Menceritakan sejarah masuknya Islam di Nusantara melalui perdagangan, sosial
dan pengajaran
18. Nomor Presensi 18:
KD 1.2. Menceritakan sejarah beberapa kerajaan Islam di Jawa, Sumatera dan Sulawesi
19. Nomor Presensi 19:
KD 1.3. Mengidenifikasi para tokoh dan perannya dalam perkembangan Islam di Indonesia
KD 1.4. Meneladani semangat para tokoh yang berperan dalam perkembangan Islam di
Indonesia
20. Nomor Presensi 20:
KD 1.1. Menceritakan seni budaya lokal sebagai bagian dari tradisi Islam
KD 1.2. Memberikan apresiasi terhadap tradisi dan upacara adat kesukuan Nusantara

Sabtu, Februari 21, 2009

TUGAS MATAKULIAH SMP

PRINSIP-PRINSIP PEMBELAJARAN AKTIF
Oleh: Muqowim, M.Ag.

A. Pendahuluan
Al-tariqah ahammu min al-maddah, strategi lebih penting dari materi. Demikianlah salah satu adagium yang tepat untuk menunjukkan relasi antara materi dan metode dalam pembelajaran. Bahwa sebaik apa pun sebuah materi (content) dibuat jika tidak disampaikan dengan cara yang tepat maka tidak akan bermakna sebagaimana yang diharapkan. Tentu ini tidak boleh dimaknai bahwa materi tidak penting. Bahwa ketika sebuah muatan sudah dibuat secara ideal harus segera diikuti oleh pilihan strategi penyampaian secara tepat. Hal ini senada dengan sabda Nabi, khatibu al-nas ‘ala qadri ‘uqulihim, ‘berbicaralah pada suatu kaum [audiens] sesuai dengan kadar kemampuannya. Artinya, ketika audiens yang dihadapi anak, tentu berbeda cara menyampaikan jika dibandingkan dengan orang remaja, dewasa atau orang tua.
Dalam konteks pembelajaran, untuk menciptakan suasana yang menyenangkan peserta didik sebagai auidens, seorang pendidik tentu pertama harus memahami keunikan dan kebutuhan mereka. Materi yang akan dibuat pun seharusnya didasarkan pada kebutuhan riil mereka. Setelah sejumlah materi tersusun dalam bentuk kurikulum, maka strategi penyampaian pun harus mempertimbangkan banyak hal agar tercipta pembeljaran yang menyenangkan. Bertolak dari hal tersebut, seorang pendidik perlu memahami berbagai hal yang terkait dengan penciptaan suasana belajar yang aktif dan menyenangkan. Kegiatan pembelajaran memuat gagasan-gagasan pokok tentang pembelajaran yang dijadikan sebagai pegangan untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan serta gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis untuk mengelola pembelajaran agar tidak berjalan secara mekanistik. Dengan demikian, setiap proses pembelajaran diharapkan mengacu dan mempertimbangkan gagasan-gagasan yang terdapat dalam kegiatan ini.
Secara umum, tulisan ini memuat prinsip-prinsip pokok dalam kegiatan pembelajaran, prinsip-prinsip dalam memotivasi belajar, pengalaman belajar lintas kurikulum, pengelolaan kegiatan belajar mengajar, strategi dan metode mengajar, penyediaan pengalaman belajar, sumber belajar, dan peran guru. Tulisan ini dibuat dengan mempertimbangkan paradigma baru pembelajaran yang lebih menghargai potensi kemanusiaan peserta didik. Tugas pendidik adalah membantu berkembangnya potensi yang dimiliki peserta didik semaksimal mungkin menuju aktualisasi diri. Selain itu, tulisan ini juga memberikan contoh-contoh penerapan dari prinsip-prinsip tersebut dalam mata pelajaran Fiqih di sekolah/madrasah. Karena contoh yang disampaikan masih bersifat global, maka diharapkan para guru mengembangkan sendiri secara lebih rinci dalam proses pembelajarannya di sekolah.

B. Pendekatan, Prinsip KP, dan Prinsip Motivasi Belajar
Dalam kegiatan pembelajaran mata pelajaran PAI ada enam pendekatan yang dapat digunakan. Pertama, pendekatan rasional, yaitu suatu pendekatan dalam proses pembelajaran yang lebih menekankan kepada aspek berpikir (penalaran). Pendekatan ini dapat berbentuk proses berpikir induktif yang dimulai dengan memperkenalkan fakta-fakta, konsep, informasi, atau contoh-contoh dan kemudian ditarik suatu generalisasi (kesimpulan) yang bersifat menyeluruh (umum) atau proses berpikir deduktif yang dimulai dari kesimpulan umum dan kemudian dijelaskan secara rinci melalui contoh-contoh dan bagian-bagiannya. Kedua, pendekatan emosional, yakni upaya menggugah perasaan (emosi) peserta didik dalam menghayati perilaku yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa. Ketiga, pendekatan pengamalan, yakni memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengamalan ibadah dalam menghadapi tugas-tugas dan masalah dalam kehidupan. Keempat, pendekatan pembiasaan, yaitu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membiasakan sikap dan perilaku baik yang sesuai dengan ajaran Islam dan budaya bangsa dalam menghadapi persoalan kehidupan. Kelima, pendekatan fungsional, yaitu menyajikan materi pokok dari segi manfaatnya bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas. Keenam, pendekatan keteladanan, yaitu menjadikan figur guru (pendidik), petugas sekolah lainnya, orang tua serta anggota masyarakat sebagai cermin bagi peserta didik.
Sementara itu, dalam KP ada prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh guru sebelum melakukan proses pembelajaran, yaitu:
1. Berpusat pada Siswa
Siswa dipandang sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah yang dimiliki, sebagai makhluk individu dengan segala potensi yang dimiliki, dan sebagai makhluk sosial yang hidup dalam konteks realitas masyarakat yang majemuk. Karena itu, setiap siswa pada dasarnya berbeda, baik dalam hal minat (interest), kemampuan (ability), kesenangan (preference), pengalaman (experience), dan cara belajar (learning style). Siswa tertentu mungkin lebih mudah belajar dengan cara mendengar dan membaca, siswa lain dengan cara melihat, dan siswa yang lain lagi dengan cara melakukan langsung (learning by doing). Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran, organisasi kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, dan cara penilaian perlu disesuaikan dengan karakteristik siswa. KP perlu menempatkan peserta didik sebagai subyek belajar dan mendorong mereka untuk mengembangkan segenap bakat dan potensinya secara optimal.
Setiap orang pada dasarnya mempunyai cara belajar sendiri yang berbeda dengan orang lain. Karena itu, kegiatan pembelajaran perlu mempertimbangkan karakter belajar ini. Secara umum, cara belajar seseorang dapat dikategorikan ke dalam empat hal, yakni cara belajar somatik, auditif, visual, dan intelektual. Cara belajar somatik adalah pola pembelajaran yang lebih menekankan pada aspek gerak tubuh atau belajar dengan melakukan. Anak akan cepat belajar jika sambil mempraktekkan. Cara belajar auditif adalah cara belajar yang lebih menekankan pada aspek pendengaran. Anak akan cepat belajar jika materi disampaikan dengan ceramah atau alat yang dapat didengar. Cara belajar visual adalah cara belajar yang lebih menekankan pada aspek penglihatan. Anak akan cepat menangkap materi pelajaran jika disampaikan dengan tulisan atau melalui gambar. Akhirnya, cara belajar intelektual adalah cara belajar yang lebih menekankan pada aspek penalaran atau logika. Anak akan cepat menangkap materi jika pembelajaran dirancang dengan menekankan pada aspek mencari solusi pemecahan.
Di sisi lain setiap peserta didik pada dasarnya mempunyai banyak kecerdasan yang dapat dioptimalkan melalui kegiatan pembelajaran. Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan linguistik, logis-matematis, spasial, musikal, kinestetis-jasmani, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Kecerdasan linguistik (cerdas kata) adalah kemampuan menggunakan kata secara efektif, baik secara lisan (misalnya pendongeng, orator, atau politisi) maupun tertulis (misalnya sastrawan, penulis drama, editor, dan wartawan). Kecerdasan matematis-logis (cerdas angka) adalah kemampuan menggunakan angka dengan baik (misalnya ahli matematika, akuntan, ahli statistik) dan melakukan penalaran yang benar (misalnya sebagai ilmuwan, pemrogram komputer, dan ahli logika). Proses yang digunakan dalam kecerdasan ini antara lain membuat kategorisasi, klasifikasi, pengambilan keputusan, generalisasi, penghitungan, dan pengujian hipotesis. Kecerdasan spasial (cerdas ruang) adalah kemampuan mempersepsi dunia spasial-visual secara akurat (misalnya sebagai pramuka, pemandu, dan pemburu) dan mentransformasikan persepsi dunia spasial-visual tersebut (misalnya dekorator, desainer interior, arsitek, dan seniman). Kecerdasan kinestetis-jasmani (cerdas fisik) adalah keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide dan perasaan (misalnya sebagai aktor, pemain pantomim, atlet, atau penari) dan keterampilan menggunakan tangan untuk menciptakan atau mengubah sesuatu (misalnya pengrajin, pemahat, ahli mekanik, atau dokter bedah). Kecerdasan musikal (cerdas irama) adalah kemampuan menangani bentuk-bentuk musikal dengan cara mempersepsi (misalnya sebagai penikmat musik), membedakan (misalnya kritikus musik), menggubah (misalnya komposer), dan mengekspresikan (misalnya penyanyi). Kecerdasan interpersonal (cerdas sosial) merupakan kemampuan mempersepsi dan membedakan suasana hati, maksud, motivasi, serta perasaan orang lain. Kecerdasan ini meliputi kepekaan pada ekspresi wajah, suara, gerak isyarat, kemampuan membedakan berbagai macam tanda impersonal, dan kemampuan menanggapi secara efektif tanda tersebut dengan tindakan pragmatis tertentu. Kecerdasan intrapersonal (cerdas diri) adalah kemampuan memahami diri sendiri dan bertindak berdasarkan pemahaman tersebut. Kecerdasan ini meliputi kemampuan memahami diri secara akurat (kekuatan dan keterbatasan diri), kesadaran akan suasana hati, maksud, motivasi, temperamen, dan keinginan. Sedangkan kecerdasan naturalis (cerdas alam) adalah keahlian mengenali dan mengkategorikan spesies, baik flora maupun fauna, di lingkungan sekitar. Dengan delapan jenis kecerdasan tersebut, proses pembelajaran hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan setiap potensi kecerdasan yang dimiliki siswa tersebut berkembang dengan baik.
Dalam kegiatan pembelajaran Fiqh cara belajar (learning style) dan kecerdasan majemuk (multiple intelligence) tersebut dapat dikembangkan. Misalnya, dalam materi taharah, anak diminta untuk mempraktekkan cara berwudlu (model belajar somatik dan cerdas fisik), menjelaskan cara berwudlu di depan kelas (cerdas kata), menunjukkan jumlah gerakan dalam berwudlu (cara belajar intelektual dan cerdas angka), menggambar urut-urutan gerakan wudlu (cara belajar visual dan cerdas ruang), mendiskusikan rukun wudlu (cerdas sosial), menuliskan pengalaman atau perasaan pribadi ketika sedang berwudlu (cerdas diri), dan menunjukkan jenis alat yang digunakan dalam taharah (cerdas alam).
Contoh lain dalam bidang fiqih adalah siswa diberi tugas untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang ada di sekitarnya, misalnya maraknya perzinaan, minum-minuman keras, pencurian/perampokan, dan sebagainya. Berbagai persoalan tersebut dikemas sedemikian rupa agar dapat mengasah berbagai kecerdasan di atas, misalnya dengan mendiskusikan, membuat ilustrasi, membuat grafik, menghitung jumlah peristiwa (membuat statistik), membuat lirik lagu yang bertujuan untuk mengindari berbuatan terlarang tersebut, atau strategi lain yang relevan. Hanya saja, dalam prakteknya, tidak semua materi pelajaran harus memenuhi tuntutan untuk mengembangkan semua jenis kecerdasan dan cara belajar di atas.
2. Belajar dengan Melakukan
Melakukan aktifitas adalah bentuk penyataan diri anak. Pada hakikatnya anak belajar sambil melakukan aktifitas. Karena itu, siswa perlu diberi kesempatan untuk melakukan kegiatan nyata yang melibatkan dirinya, terutama untuk mencari dan menemukan sendiri. Dengan demikian, apa yang diperoleh peserta didik tidak akan mudah dilupakan. Pengetahuan tersebut akan tertanam dalam hati sanubari dan pikiran peserta didik karena ia belajar secara aktif. Peserta didik akan memperoleh harga diri dan kegembiraan kalau diberi kesempatan menyalurkan kemampuan dan melihat hasil kerjanya.
Belajar dengan melakukan perlu ditekankan karena setiap orang hanya belajar 10% dari yang dibaca, 20% dari yang didengar, 30% dari yang dilihat, 50% dari yang dilihat dan didengar, 70% dari yang dikatakan, dan 90% dari yang dikatakan dan dilakukan. Dengan temuan ini, maka dengan metode ceramah, peserta didik hanya mampu menangkap 20% dari yang didengar. Sebaliknya, dengan metode praktek, peserta didik akan menangkap 90% dari yang diajarkan oleh guru. Dengan demikian, setiap materi pelajaran diharapkan selalu dikaitkan dengan pengalaman langsung peserta didik.
Dalam pembelajaran Fiqh, mengajarkan materi sholat dengan praktek lebih efektif dan berkesan bagi peserta didik ketimbang dengan mengharuskan mereka untuk menghafal kaifiyah sholat. Selain itu, dalam hal penyelenggaraan jenazah, mulai dari memandikan sampai mengubur, anak akan lebih memahami dan menghayati ketika mereka diajak untuk mempraktekkan daripada menghafal cara memandikan, mengkafani, menyolatkan, dan menguburkan.
3. Mengembangkan Kemampuan Sosial
Kegiatan pembelajaran tidak hanya mengoptimalkan kemampuan individual peserta didik secara internal, melainkan juga mengasah kemampuan mereka untuk membangun hubungan dengan pihak lain. Karena itu, kegiatan belajar harus dikondisikan yang membuat peserta didik melakukan interaksi dengan orang lain seperti antar peserta didik, antara peserta didik dengan guru, dan peserta didik dengan masyarakat. Dengan pemahaman ini, guru dapat menerapkan berbagai strategi pembelajaran yang membuat peserta didik terlibat dengan orang lain, misalnya diskusi, pro-kontra, sosiodrama, dan sebagainya. Sebagai contoh, dalam pembelajaran fiqih mereka dapat diberi tugas untuk melakukan observasi dan membuat laporan tentang pelaksanaan ibadah zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal, di masyarakat. Hasil pengamatan dan laporan itu kemudian dipresentasikan di kelas untuk dibahas bersama.
Dengan kegiatan pembelajaran secara berkelompok tersebut, antar peserta didik akan mengetahui kelebihan dan kekurangan masing-masing sehingga muncul semangat saling mengisi dan menghargai satu sama lain. Dengan demikian, KP merupakan media yang efektif dalam mengoptimalkan rasa sosial anak, misalnya menghargai perbedaan pendapat, mensikapinya, dan bekerja sama.
4. Mengembangkan Keingintahuan, Imajinasi, dan Fitrah Bertuhan
Rasulullah saw bersabda bahwa setiap orang lahir dalam keadaan fitrah, orangtuanyalah yang menjadikan ia berubah menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Dengan demikian, kegiatan pembelajaran hendaknya diarahkan pada pengasahan rasa dalam beragama sesuai dengan tingkatan usia peserta didik. Bagi peserta didik tingkat SD tentu berbeda dengan tingkat SMP atau SMA. Pengembangan aspek ini akan lebih efektif jika langsung dipraktekkan, tidak sekedar secara kognitif saja.
5. Mengembangkan Keterampilan Pemecahan Masalah
Tolok ukur kepandaian peserta didik banyak ditentukan oleh kemampuannya untuk memecahkan masalah. Karena itu, dalam proses belajar mengajar perlu diciptakan situasi menantang kepada pemecahan masalah agar peserta didik peka terhadap masalah. Kepekaan terhadap masalah dapat ditumbuhkan jika mereka dihadapkan pada situasi yang memerlukan pemecahannya. Guru hendaknya mendorong peserta didik untuk melihat masalah, merumuskannya, dan berupaya memecahkannya sesuai dengan kemampuan mereka. Jika prinsip ini diterapkan dalam kegiatan pembelajaran nyata di kelas, maka pintu ke arah pembelajaran aktif siswa mulai terbuka. Untuk itu, sikap terbuka dan cepat tanggap terhadap gejala sosial, budaya, dan lingkungan perlu dipupuk ke arah yang positif.
Dalam pembelajaran Fiqih, peserta didik dapat diterjunkan langsung di masyarakat untuk melakukan pengamatan tentang pelaksanaan ibadah sholat, zakat, atau haji. Dalam hal kemiskinan, misalnya, anak diminta mengidentifikasi sebab-sebab yang menjadikan orang miskin. Mereka dapat ditugaskan secara individual ataupun kelompok. Hasil pengamatan dan identifikasi tersebut ditulis sebagai laporan.
6. Mengembangkan Kreatifitas Peserta Didik
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa setiap anak lahir dalam keadaan berbeda (individual difference) dan masing-masing mempunyai potensi yang dapat dikembangkan. Karena itu, KP diciptakan sedemikian rupa sehingga membuat setiap siswa optimal potensinya. Karena itu, dalam KP harus dikondisikan agar peserta didik mempunyai kesempatan dan kebebasan dalam mengembangkan diri sesuai dengan kecenderungan masing-masing. Guru hendaknya berupaya memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan pendapatnya sebanyak mungkin. Sebagai contoh, dalam hal pelaksanaan ibadah haji, peserta didik diminta membuat urut-urutan pelaksanaan ibadah haji mulai dari keberangkatan dari tanah air Indonesia sampai pulang dari tanah suci dengan menggunakan gambar.
7. Mengembangkan Kemampuan Menggunakan Ilmu dan Teknologi
Agar peserta didik tidak gagap terhadap perkembangan ilmu dan teknologi guru hendaknya mengaitkan materi yang disampaikan dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Hal ini dapat diciptakan dengan pemberian tugas yang mengharuskan mereka berhubungan langsung dengan teknologi, misalnya membuat laporan tentang materi tertentu dari televisi, radio, atau internet. Dalam pembelajaran Fiqih, peserta didik dapat diminta mencari data tentang perbankan syari’ah di internet atau membuat ringkasan tentang kuliah subuh di televisi yang ada kaitannya dengan puasa, dan sebagainya.
8. Menumbuhkan Kesadaran sebagai Warga Negara yang Baik
Sebagai warga negara Indonesia, KP perlu diciptakan yang dapat mengasah jiwa nasionalisme, tanpa harus menuju semangat kauvinisme. Untuk itu, guru harus membuat banyak contoh yang terkait dengan budaya atau konteks Indonesia. Sebagai contoh, peserta didik diminta membaca tentang Undang-undang Perkawinan mengenai kewajiban suami dan istri dan membuat laporan, serta mendiskusikannya dengan teman lain di kelas. Selain itu, peserta didik juga bisa diajak untuk berdiskusi tentang cara menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan masyarakat.
9. Belajar Sepanjang Hayat
Dalam Islam, menuntut ilmu diwajibkan bagi setiap orang mulai dari tiang ayunan hingga liang lahad. Manusia pembelajar dalam Islam tidak dibatasi oleh usia kronologis tertentu atau sebatas pada jenjang pendidikan formal, misalnya Strata Satu (S1), Strata Dua (S2), atau Strata Tiga (S3), namun juga secara informal. Dimanapun berada, setiap orang Islam harus dalam semangat mencari ilmu, kepada siapa pun. Untuk itu, guru hendaknya mendorong siswa untuk terus mencari ilmu dimanapun berada, tidak hanya di bangku madrasah (pendidikan formal) saja tapi juga di masyarakat (pendidikan non-formal) dan keluarga (pendidikan informal).
10. Perpaduan Kompetisi, Kerja Sama, dan Solidaritas
Peserta didik perlu berkompetisi, bekerja sama, dan mengembangkan solidaritasnya. KP perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan semangat berkompetisi sehat, bekerjasama dan solidaritas. Untuk menciptakan suasana kompetisi, kerja sama, dan solidaritas, kegiatan pembelajaran dapat dirancang dengan strategi diskusi, kunjungan ke tempat-tempat anak jalanan, yatim piatu, atau pembuatan laporan secara berkelompok.
Selain prinsip-prinsip KP, guru juga perlu memperhatikan prinsip-prinsip dalam motivasi. Keberhasilan sebuah kegiatan sangat tergantung pada faktor motivasi. Motivasi merupakan daya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu aktifitas. Motivasi menjadi faktor yang sangat berarti dalam pencapaian prestasi belajar. Setidaknya ada dua jenis motivasi yang perlu diperhatikan oleh guru, yakni motivasi yang berasal dari dalam diri anak (intrinsik) dan motivasi yang diakibatkan oleh rangsangan dari luar diri anak (ekstrinsik). Motivasi intrinsik dapat ditumbuhkan dengan mendorong rasa ingin tahu, mencoba, serta sikap mandiri dan ingin maju. Sementara itu motivasi ekstrinsik antara lain dapat dikembangkan dengan memberikan ganjaran atau hukuman. Adapun prinsip-prinsip dalam motivasi adalah:
1. Kebermaknaan
Peserta didik akan tertarik belajar jika materi yang dipelajari berguna atau penting bagi dirinya. Hal ini dikaitkan dengan kecenderungan yang ada dalam dirinya, seperti bakat, minat, dan pengetahuan yang dimiliki. Untuk itu, KP perlu melihat kecenderungan ini agar materi yang dipelajari berguna bagi mereka. Sebagai contoh, guru dapat memberikan argumentasi tentang perlunya mereka menjauhi minum-minuman keras dengan membuat contoh akibat orang yang melakukan perbuatan tersebut.
2. Pengetahuan dan Keterampilan Prasyarat
Peserta didik akan lebih terdorong untuk belajar jika materi pelajaran yang akan diterima terkait dengan sejumlah pengetahuan yang telah dimiliki. Paling tidak, peserta didik akan memahami dan menafsirkan materi tersebut berdasarkan kemampuan atau pengetahuan yang ada. Sebagai contoh, peserta didik akan tertarik mempelajari tentang zakat profesi, jika mereka sudah belajar terlebih dahulu tentang makna zakat dalam Islam dan zakat fitrah.
3. Model
Peserta didik akan lebih menguasai pengetahuan atau keterampilan baru jika ia diberi contoh untuk dilihat dan ditiru. Peserta didik akan lebih mempercayai bukti daripada ucapan atau perkataan. Untuk itu, guru hendaknya berupaya memberikan banyak ilustrasi atau contoh riil tentang materi yang disampikan. Siswa akan lebih memahami praktek orang yang berkhutbah Jum’at ketimbang sekedar menghafal tentang cara bagaimana berkhutbah Jum’at.
4. Komunikasi Terbuka
Proses pembelajaran akan berjalan dengan baik jika ada komunikasi yang terbuka antara guru dengan peserta didik. Agar KP berjalan dengan baik, guru perlu melihat kondisi peserta didik, baik dalam hal pengetahuan maupun pengalaman yang dimiliki. Kegiatan pembelajaran perlu dikondisikan sedemikian rupa yang membuat peserta didik belajar dengan nyaman, tanpa tekanan, atau tidak monoton. Untuk itu, strategi belajar yang diterapkan guru tidak boleh hanya satu yang membuat mereka bosan.
5. Keaslian dan Tugas yang Menantang
Peserta didik akan terdorong untuk belajar jika ia diberi materi baru dan berbeda. Kebaruan materi akan mendorongnya untuk belajar. Selain itu, peserta didik perlu diberi tugas baru yang menantang untuk dipecahkan. Hanya saja, tugas tersebut jangan terlalu rendah, sehingga menimbulkan kebosanan, atau terlalu tinggi sehingga membuatnya ragu atau cemas untuk dapat memecahkannya. Dalam pelajaran fiqih, siswa dapat diminta membuat laporan tentang prosesi pernikahan menurut adat Jawa, Sunda, Madura, atau Minang dan mempresentasikannya di kelas.
6. Latihan yang Tepat dan Aktif
KP akan berjalan dengan baik jika materi yang disampikan kepada peserta didik sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Kegiatan pembelajaran hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga membuat peserta didik terlibat secara fisik dan psikis. Karena itu, guru perlu lebih banyak melibatkan mereka untuk memberikan kesempatan mengungkapkan pendapatnya tentang permasalahan-permasalahan tertentu. Sebagai contoh, dalam bidang ekonomi, peserta didik diminta secara berkelompok untuk mencatat kegiatan yang diselenggarakan oleh BAZIS atau Baitul Mal.
7. Penilaian Tugas
Peserta didik akan memperoleh pencapaian belajar yang efektif jika tugas dibagi dalam rentang waktu yang tidak terlalu panjang/lama dengan frekuensi pengulangan yang tinggi. Pemberian tugas terlalu sering akan membuat peserta didik lelah. Sebaliknya, pemberian tugas yang terlalu lama akan membuat mereka tidak merasa dinilai hasil belajarnya. Yang perlu diingat bahwa bentuk penilaian tidak harus dilakukan di kelas dengan mengerjakan tugas secara tertulis, namun penilaian juga dapat dilakukan dengan melihat aktifitas di luar kelas, sehingga peserta didik tidak akan melakukan perbuatan yang menjadikannya dinilai jelek oleh guru karena aktifitasnya di luar kelas.
8. Kondisi dan Konsekuensi yang Menyenangkan
Peserta didik akan terdorong untuk terus belajar jika KP diselenggarakan secara nyaman dan menyenangkan, sehingga siswa terlibat secara fisik dan psikis. Untuk itu, guru perlu menciptakan kondisi KP yang sesuai dengan minat dan kecenderungan peserta didik. Guru perlu memberikan penghargaan bagi peserta didik yang berprestasi. Penghargaan dapat bersifat material, seperti hadiah buku dan pensil, tapi juga non-material misalnya nilai atau applaus.
9. Keragaman Pendekatan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa cara belajar peserta didik cukup beragam, sehingga cara mengelola KP pun harus mempertimbangkan keragaman ini. Karena itu, guru dituntut mengkondisikan KP sesuai dengan keragaman tersebut, sehingga strategi pembelajaran yang ditawarkan pun harus beragam agar dapat menampung cara belajar peserta didik, misalnya ceramah, diskusi, sosiodrama, atau praktek lapangan.
10. Mengembangkan Beragam Kemampuan
KP akan berjalan dengan baik, jika ia dikondisikan untuk mengoptimalkan potensi peserta didik secara keseluruhan. Sebagaimana diuraikan di bagian awal bahwa kecerdasan tidak hanya tunggal, namun majemuk, seperti kecerdasan linguistik, kecerdasan logis-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetis-jasmani, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan natural. Untuk itu, dalam proses pembelajarannya guru perlu mempertimbangkan ragam kecerdasan tersebut.
11. Melibatkan Sebanyak Mungkin Indera
Peserta didik akan menguasai hasil belajar dengan optimal jika dalam belajarnya dimungkinkan menggunakan sebanyak mungkin indera untuk berinteraksi dengan isi pembelajaran. Selain menggunakan metode pembelajaran yang mengasah aspek pendengaran, guru hendaknya juga menggunakan strategi belajar yang mempertajam peserta didik dari aspek pendengaran atau praktek langsung secara fisik agar materi belajar lebih berkesan dalam diri mereka.
12. Keseimbangan Pengaturan Pengalaman Belajar
Peserta didik akan menguasai materi pelajaran jika pengalaman belajar diatur sedemikian rupa sehingga ia mempunyai kesempatan untuk membuat suatu refleksi penghayatan, mengungkapkan dan mengevaluasi apa yang dipelajari. Pengalaman belajar juga hendaknya menyediakan proporsi yang seimbang antara pemberian informasi dan penyajian terapannya. Dalam pembelajaran fiqih, materi taharah, sholat, puasa, zakat, atau haji akan lebih mudah diterima jika disampaikan melalui praktek langsung daripada menghafal secara kognitif.
Memikirkan ulang apa yang sedang dipikirkan atau apa yang sedang dikerjakan merupakan kegiatan penting dalam memantapkan pemahaman. Proses pikir ulang ini akan berjalan dengan baik jika dikondisikan dengan strategi pembelajaran tertentu, misalnya diskusi. Dalam mata pelajaran fiqih, peserta didik diminta mengamati dan membuat laporan tentang prosesi pernikahan, mulai dari meminang sampai pelaksanaan walimatul urs-nya. Dalam hal perekonomian, misalnya, siswa dapat diminta mengamati tempat-tempat usaha seperti CV atau Firma yang ada di sekitar madrasah untuk dikaitkan dengan materi bentuk-bentuk perekonomian dalam Islam.