Kamis, Juli 26, 2007

guru dan kurikulum

Sekali Lagi, Kurikulum dan Guru !
Muqowim[1]

Kompas (24/2/2006) memberitakan 20 guru kreatif mendapatkan penghargaan dari Citygroup Indonesia di Jakarta. Pertimbangan bagi pemenang didasarkan pada kreatifitas dan visi para guru dalam menciptakan pembelajaran yang menyenangkan dan melibatkan siswa secara aktif. Selain itu, kepekaan guru dalam melihat potensi lingkungan sekolah dan mengintegrasikan dengan pembelajaran di kelas juga menjadi pertimbangan.
Kisah sukses para guru di atas memberikan secercah harapan perkembangan dunia pendidikan Indonesia di tengah terpuruknya kondisi SDM tenaga kependidikan yang mencapai 50% lebih tidak professional sebagaimana diungkapkan oleh Nanang Fatah. Hal ini semakin penting dicermati dikaitkan dengan pembatalan Kurikulum 2004 (KBK) sebagaimana disampaikan oleh Ketua BSNP Bambang Suhendro beberapa waktu lalu, bahwa yang menjadi salah satu penghambatnya adalah minimnya SDM guru untuk melaksanakan kurikulum tersebut.
Terkait dengan peran guru dalam Kurikulum 2004 (KBK), ada ketimpangan antara idealitas dengan realitas. Sebagian idealitas sosok guru dalam kurikulum telah diulas oleh Paulus Suparno (Kompas, 27/2/2006). Dalam kurikulum, mulai dari perumusan sampai pelaksanaannya, guru mempunyai peran sentral bahkan menjadi ujung tombak (avant garde). Bahkan, berhasil tidaknya pelaksanaan kurikulum sangat bergantung pada guru, sebab di tangan gurulah kompetensi minimal yang telah ditetapkan harus dijabarkan ke dalam bentuk silabus dan bahan ajar. Dengan demikian, dalam konteks KBK sebenarnya pihak yang paling berhak untuk membuat bahan ajar adalah para guru itu sendiri. Sebab, yang paling mengenal karakter peserta didik dengan segala keunikannya dan yang paling memahami konteks sosial-budaya masyarakat tempat sekolah berada adalah guru itu sendiri. Jika hal ini dilakukan, ekstrimnya buku ajar yang digunakan antara satu sekolah dengan sekolah yang lain berbeda, sebab muatan bahan ajarnya sangat dipengaruhi oleh kebutuhan khas tiap sekolah. Namun, realitasnya banyak sekolah yang lebih bersikap pragmatis dengan cara membeli buku ajar yang dibuat oleh penerbit yang boleh jadi penulisnya sama sekali tidak memahami kekhasan sekolah di tiap wilayah. Berbagai alasan muncul, mulai dari biaya membuat buku mahal sampai guru tidak siap menulis. Ironis memang, buku ajar yang digunakan di luar Jawa, misalnya, tetapi yang membuat orang Jawa. Ibaratnya, menyelesaikan permasalahan Lampung dengan paradigma Jakarta, tentu sangat tidak relevan!
Peran sentral guru yang lain dalam konteks KBK adalah bahwa mereka yang harus menyelenggarakan pembelajaran aktif, mengkondisikan peserta didik mendapatkan pengalaman sebanyak-banyaknya baik dalam ranah kognitif, afektif, maupun psikomotorik, dan mengevaluasi peserta didik secara holistik dengan mempertimbangkan kinerja di kelas maupun di luar kelas. Tugas guru tidak hanya sebatas di ruang kelas ketika mengajar saja, namun juga di luar kelas bahkan luar sekolah. Karena begitu banyaknya perhatian yang harus dicurahkan guru dalam menjabarkan sebuah kurikulum, maka ibaratnya diperlukan sosok guru dengan dua karakter sekaligus, yaitu Superman dan Doraemon. Tipe Superman mengindikasikan bahwa diperlukan kekuatan luar biasa dari guru untuk mendidik anak dengan berbagai keunikannya. Idealnya, tidak ada hal yang terlewatkan guru dari perilaku peserta didik. Seharusnya, guru hanya menghadapi 20 orang siswa saja, namun realitasnya dia harus mengajar di banyak kelas dan lebih dari satu mata pelajaran karena keterbatasan sumber daya manusia. Sementara itu, tipe Doraemon menggambarkan bahwa seorang guru harus mampu memberikan alternatif pemecahan terhadap berbagai masalah yang dihadapi siswa. Dia harus mampu mengidentifikasi masalah, mendiagnosa, dan memberikan solusinya.

Problem Guru
Meminjam istilah Paulo Freire, diperlukan guru dengan kesadaran kritis, bukan naïf apalagi magis untuk dapat melaksanakan KBK. Masalahnya, seperti diungkap Nanang Fatah, sebagian besar guru belum memenuhi standar kompetensi yang diharapkan. Tentu banyak hal yang menyebabkan guru seperti itu, baik karena faktor internal guru itu sendiri maupun eksternal yang terkait dengan realitas sosial, budaya, politik dan ekonomi.
Secara internal, kualitas pahlawan tanpa tanda jasa tersebut perlu dipertanyakan kembali, baik menyangkut komitmen maupun penguasaan keilmuan yang dimiliki. Dalam hal ini komitmen lebih penting, sebab menjadi guru bukan sekedar mengandalkan penguasaan pengetahuan, namun seberapa besar dia mempunyai 'panggilan hati' untuk mengabdikan diri melalu pendidikan. Persoalan internal ini terkait dengan input calon guru yang tidak berniat sungguh-sungguh menjadi tenaga pendidik, namun menjadikan guru sebagai profesi pilihan terakhir setelah tidak diterima kerja di bidang yang lebih menjanjikan masa depan. Akibatnya, ketika mengajar tidak ada semangat, inovasi dan kreatifitas. Hal ini diperparah dengan minimnya tingkat kesejahteraan guru sementara dia harus menghidupi keluarganya. Jangankan untuk membeli buku dan referensi yang menunjang peningkatan profesinya, untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan saja masih jauh dari mencukupi.
Sementara itu, faktor eksternal yang menjadikan guru kurang berdaya antara lain terkait dengan realitas sosial, politik, dan budaya di sekitarnya. Secara sosial, kebanyakan guru berasal dari kelas menengah ke bawah. Sangat jarang ditemukan guru dari kelas atas, sebab guru dianggap bukan profesi yang promising seperti halnya bekerja di bank, perusahaan BUMN, atau dokter. Hal ini tentu berpengaruh terhadap kualitas input calon guru.
Munculnya UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen agaknya mempunyai dampak pada meningkatnya pamor guru dan LPTK di mata mahasiswa dan masyarakat. (Kompas, 22-23/2/2004). Diperkirakan dalam tahun-tahun mendatang terjadi peningkatan pendaftar pada fakultas kependidikan karena adanya perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan guru. Hal ini harus diimbangi dengan semakin diperketatnya seleksi penerimaan calon guru dan mahasiswa LPTK.
Secara politik, political will dari pemerintah untuk memperhatikan sektor pendidikan masih sangat rendah. Pendidikan belum dianggap sebagai pranata yang diperhitungkan dalam membangun bangsa. Sektor ini banyak dibicarakan oleh elit politik hanya ketika mendekati pemilu atau ada kepentingan politik, setelah itu sama sekali tidak disapa, apalagi diperhatikan nasibnya! Pemerintah hanya peduli terhadap masalah di luar pendidikan [dan guru tentu saja]. Padahal, melalui pendidikan dan para guru yang berkualitaslah, SDM berkualitas di berbagai bidang dilahirkan, misalnya ekonomi, hukum, budaya, dan politik. Bagaimana dapat menghasilkan kualitas yang unggul jika SDM yang mencetak tidak unggul! Bagaimana mau mengejar ketertinggalan dengan Malaysia yang pada tahun 1970 dan 1980-an mengekspor mahasiswanya ke Indonesia jika tidak ada perhatian serius untuk meningkatkan sektor ini, terutama dalam hal anggaran yang menurut konstitusi minimal 20% dari APBN dan APBD. Tentu masih segudang 'uneg-uneg' tentang persoalan pendidikan yang ujung-ujungnya adalah tidak adanya komitmen pemerintah untuk memperbaiki aspek ini.
Akhirnya, secara budaya sosok guru lebih dicitrakan sebagai figur yang 'manutan' dan 'tidak neko-neko'. Perlakuan apa pun yang diarahkan padanya akan diterima dengan senang hati sebagai cobaan, tidak boleh mengeluh apalagi mengkritik. Ketika ada guru yang mengeluh apalagi sampai melakukan demonstrasi menuntut hak-haknya, maka hal tersebut dianggap 'menyalahi kode etik guru' dan ora elok.
Kita berharap, pemerintah tidak setengah hati dalam menyiapkan guru di masa depan, karena di tangan merekalah kurikulum yang dinamis akan terumuskan!

Guru Perlu Critical Pedagogy
Istilah critical pedagogy muncul seiring dengan maraknya kajian tentang pendidikan pembebasan, pendidikan untuk kaum tertindas, yang dilontarkan oleh Paulo Freire asal Brasil. Dalam buku Conternarratives (1996), Colin Lankshear, Michael Peters, dan Michele Knobel berpendapat bahwa ada beberapa ciri pedagogi kritis. Pertama, pendidikan pada dasarnya merupakan bentuk kritik sosial dan kultural, bahwa semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh relasi bahasa yang dibentuk secara sosial dan historis. Salah satu tujuan pendidikan adalah rekonstruksi sosial. Lembaga pendidikan merupakan media yang diharapkan mampu memperbaiki dan mengkritisi berbagai persoalan yang muncul di masyarakat yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, berbagai persoalan yang berkembang dalam realitas empirik tersebut dibawa ke ruang kelas untuk dikritisi dan dicarikan jalan keluar melalui proses kodifikasi konteks. Hasil pembahasan ini kemudian ditawarkan dan dilaksanakan sebagai alternatif pemecahan. Proses ini tidak akan berjalan secara maksimal jika tidak ada kesadaran kritis dari praktisi pendidikan terutama pendidik (guru) dan peserta didik.
Kedua, eksistensi seseorang sangat terkait dengan masyarakat yang lebih luas baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, ataupun lembaga pendidikan. Artinya, kesadaran seseorang pada dasarnya merupakan cermin kesadaran kolektif yang dibentuk antara lain melalui media keluarga, masyarakat, dan sekolah. Sebab, ia belajar dari orang di sekitarnya. Dalam konteks pedagogi kritis, masalahnya terletak pada kondisi seseorang ketika hidup dalam konteks masyarakat yang tidak memungkinkan dia mengembangkan potensi secara optimal, bahkan mandeg karena faktor struktural atau kultural. Sebagai contoh, dia hidup dalam struktur politik yang represif yang tidak memungkinkannya leluasa mengeluarkan hak berpendapat untuk mengungkapkan keinginannya. Dia bahkan mungkin tidak menyadari bahwa dia sedang mempunyai permasalahan yang disebabkan oleh persoalan ekonomi atau politik yang ‘dikondisikan’ oleh pihak lain. Untuk itu, proses pendidikan adalah upaya untuk ‘menyadarkan’ seseorang tentang kondisi dia yang sebenarnya. Dalam paradigma pedagogi kritis, dia dibawa dari kesadaran naïf ke kesadaran kritis.
Ketiga, fakta sosial tidak pernah dapat dipisahkan dengan ranah nilai. Ini berarti bahwa berbagai aktifitas yang terjadi dalam realitas-empirik merupakan perwujudan atau cermin nilai dari sang pelaku. Karena itu, menurut paradigma ini, ada hubungan yang erat antara aktifitas dan tindakan dengan nilai, antara konsep dengan obyek dan antara signifier dengan signified. Hubungan tersebut tidak selalu tetap (fixed) dan seringkali dimediasi oleh lingkaran produksi, konsumsi, dan relasi sosial. Untuk itu, pembacaan kritis terhadap sebuah fakta sosial harus selalu dilakukan. Sebagai contoh, terma pembangunan dapat dimaknai secara beragam oleh berbagai pihak hanya karena perbedaan pemahaman dan nilai yang dibangun selama ini. Bagi pemerintah, pembangunan merupakan terma yang digunakan sebagai proses mensejahterakan masyarakat. Karena itu, jika ada pembangunan jalan tol, maka berarti ada upaya mensejahterakan masyarakat. Namun, bagi masyarakat kata pembangunan dapat berarti sebaliknya, misalnya analog dengan penggusuran, relokasi atau ganti rugi. Anggapan ini muncul karena dalam realitasnya seringkali pembangunan dilakukan tidak didasarkan pada kebutuhan riil di masyarakat, namun didasarkan pada kemauan dari penguasa (top-down), bahkan mengorbankan kepentingan pendidikan itu sendiri.
Keempat, bahasa merupakan pusat bagi formasi subyektifitas. Dalam perspektif ini kepentingan, kebutuhan, dan kecenderungan seseorang atau lembaga dimunculkan melalui media bahasa. Di sisi lain, bahasa pada dasarnya merupakan bentuk aksentuasi pemikiran seseorang yang kemudian disepakati bersama oleh masyarakat. Karena itu, sangat banyak dijumpai ragam bahasa yang digunakan masyarakat. Kata yang dimunculkan oleh sebuah komunitas belum tentu dimaknai secara persis sama oleh komunitas lain. Karena itu, seringkali dijumpai di masyarakat ada permasalahan yang muncul diakibatkan oleh perbedaan bahasa dan kultur.
Kelima, munculnya perbedaan status di kalangan anggota masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial disebabkan oleh pemberian previlise secara tidak adil oleh pihak lain, seperti pihak birokrat, politisi, dan pemilik modal, karena kepentingan tertentu. Masalahnya, banyak anggota masyarakat yang menganggap perbedaan itu terjadi begitu saja, alami, dan niscaya. Dalam perspektif kritis, munculnya perbedaan tersebut sangat mungkin disebabkan oleh perlakuan yang tidak adil karena ada banyak kepentingan. Untuk itu, masyarakat perlu disadarkan tentang kondisi ini. Ini tidak berarti bahwa semua anggota masyarakat harus sama, namun ketika cara mendapatkan kekayaan, status sosial, atau jabatan itu dilakukan secara wajar dan prosedural, tentu hal ini akan diterima, sebab bagaimanapun kemampuan antara satu orang dengan yang lain berbeda.
Akhirnya, dalam perspektif kritis munculnya berbagai permasalahan di masyarakat tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi saja, namun perlu mengaitkan dengan aspek lain. Sebagai contoh, persoalan ekonomi tidak cukup hanya dilihat dari perspektif ekonomi, namun perlu dikaitkan dengan politik, budaya, bahkan pemahaman terhadap ajaran agama. Memandang permasalahan dari satu segi saja sama halnya dengan menyederhanakan masalah. Proses pendidikan harus mampu melihat persoalan yang muncul di masyarakat dari banyak perspektif. Sebagai contoh, banyaknya tenaga pendidik [guru] yang “ngobyek” di luar profesi sebagai guru tidak dapat dilihat dari aspek profesionalisme dan etos kerja guru saja, namun perlu dikaitkan dengan masalah kebijakan pemerintah yang belum menghargai profesi guru, atau rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi ini.
Dalam konteks penyiapan guru berkualitas melalui LPTK yang sekarang baru digodok formatnya, para perumus perlu mempertimbangkan enam karakter yang ada dalam pedagogi kritis tersebut agar masuk menjadi kurikulum, sehingga ketika berbicara tentang kompetensi pedagogis sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang tidak terfokus pada masalah teknis mengajar, namun lebih pada paradigma dan filosofi pendidikan secara kritis. Dengan demikian, momentum penyiapan tenaga kependidikan yang qualified melalui LPTK tidak dilewatkan sehingga terbentuk guru yang kreatif, inovatif, dan kritis. Jika hal ini terwujud, maka pemberlakuan sebuah kurikulum, termasuk KBK, tidak akan menjadikan guru bingung dan gamang, sebab dia menyadari bahwa keberhasilan sebuah kurikulum sangat bergantung padanya. Bahkan, dia menyadari bahwa guru pada dasarnya kurikulum itu sendiri.

Tidak ada komentar: