Selasa, Juli 31, 2007

multiple identities

URGENSI KESADARAN MULTIPLE IDENTITIES
BAGI TOKOH MASYARAKAT
Oleh: Muqowim

Pengantar
Globalisasi yang ditandai oleh jaringan tanpa batas antar negara-bangsa telah menjadikan dunia seperti desa global. Setiap orang dapat mengakses informasi tentang kejadian di belahan bumi lain pada waktu singkat dan, bahkan, secara langsung. Era, yang muncul karena dipengaruhi oleh revolusi teknologi komunikasi dan informasi, ini berpengaruh terhadap semua sektor kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, dan agama. Dalam bidang ekonomi, setiap orang dapat melakukan transaksi ekonomi melalui media dunia maya tanpa harus bertemu secara fisik; dalam bidang sosial, interaksi antar orang semakin berkurang karena digantikan oleh media elektronik semacam handphone dengan sms atau internet dengan email; dalam bidang budaya, globalisasi telah menyebabkan terjadinya dialog dan pertukaran budaya semakin kompleks. Melalui desa global, keunikan setiap budaya "dibenturkan" dengan budaya lain yang tidak bisa terelakkan kecuali dengan menutup diri dan mengisolasi dari pihak luar. Dengan demikian, terjadi pertarungan identitas budaya antar bangsa. Hanya bangsa dengan identitas yang kuatlah yang mampu bertahan.
Sementara itu, dalam bidang politik globalisasi telah menyebabkan terjadinya benturan kepentingan antar bangsa. Hal ini antara lain ditandai dengan adanya perhatian setiap bangsa terhadap berbagai peristiwa politik yang ada di negara lain. Respons dari bangsa lain itu sering kali berlebihan misalnya dengan melakukan campur tangan untuk menyelesaikan dengan berbagai alasan. Dalam banyak hal campur tangan ini sering menimbulkan persoalan serius di negara yang bermasalah itu. Karena itu, perlu ada rambu-rambu global yang mengatur hubungan antar bangsa. Hal ini seharusnya dilakukan oleh PBB. Namun, lembaga ini sering kali hanya menjadi alat kepentingan politik dari segelintir negara kuat untuk menekan negara lain yang lemah.
Akhirnya, dalam bidang agama globalisasi menyebabkan persoalan keagamaan semakin kompleks sehingga misi suci agama sulit diwujudkan. Agama kadang hanya menjadi alat kepentingan sekelompok orang untuk bertindak atas nama kebenaran agama sehingga ketika menawarkan alternatif pemecahan sering kali justru menimbulkan banyak persoalan. Hal ini diperumit dengan banyaknya gejala klaim kebenaran dengan mengatasnamakan agama yang sebenarnya hanya berupa tafsir terhadap agama namun menganggap tafsir pihak lain sebagai keliru sehingga harus ditentang. Fenomena ini antara lain terlihat dari kerusuhan dan konflik di beberapa wilayah yang dipicu oleh sentimen keagamaan dan klaim kebenaran.

Multiple Identities dan Tokoh Masyarakat
Adanya pengaruh budaya lain dalam konteks modernitas menyebabkan munculnya respons beragam dari masyarakat, terutama masyarakat beragama. Paling tidak respons tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu eskapis, permisif, dan transformatif. Respons pertama cenderung menganggap budaya yang dimiliki seseorang atau masyarakat sebagai paling murni sehingga mereka tidak mau berdialog dengan budaya lain karena khawatir tercemari. Kelompok ini beranggapan bahwa globalisasi dengan sejumlah persoalan yang dibawa merupakan ancaman yang perlu dicurigai dan, jika perlu, dijauhi. Sementara itu, respons kedua beranggapan bahwa setiap budaya yang berasal dari bangsa lain perlu direspons, bahkan jika perlu ditiru apa adanya. Kelompok ini cenderung menerima semua identitas budaya lain tanpa kritik sehingga ada kecenderungan pandangan ini relatif tidak mampu mempertahankan identitas budayanya sendiri ketika berhadapan dengan identitas budaya asing. Akhirnya, respons ketiga cenderung obyektif dalam menghadapi problem modernitas, sebab globalisasi pada dasarnya merupakan proses alamiah yang harus direspons secara arif dan kritis. Bagi kelompok ini, problem globalisasi pada dasarnya netral, bisa positif dan bisa negatif, bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Jika setiap orang mempunyai identitas budaya yang jelas dan kuat, maka ketika dihadapkan dengan budaya lain akan bersikap menerima sambil mempelajari kemungkinan mengambil aspek positif yang dikandung, sementara bagi orang yang tidak siap, maka cenderung mengikuti budaya lain tanpa kritik.
Berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh globalisasi tersebut perlu disikapi secara tepat agar ditemukan jalan keluar bersama yang membawa pada kemajuan umat manusia. Bagi tokoh masyarakat dan agama, untuk menghadapi era modern perlu keluasan wawasan dengan identitas kuat dan terbuka. Mereka perlu mengembangkan identitas yang berbasis pada spiritualitas agama dan kearifan lokal. Tapi pada saat yang bersamaan mereka harus berpikiran terbuka dan siap berdialog dengan identitas lain untuk saling memberi manfaat tanpa kehilangan jatidirinya. Untuk itu, mereka perlu mengenal tentang makna identitas di tengah problem global.
Pada dasarnya identitas seseorang senantiasa berkembang secara dinamis, tidak statis. Hal ini terjadi seiring dengan bertambahnya pengetahuan dan pengalaman serta tantangan realitas sosial yang dihadapi. Sebagai ilustrasi, ketika dia berada di tingkat sekolah dasar di desa tentu berbeda dengan ketika telah belajar di tingkat sekolah menengah atas di kota. Identitas ini akan berubah lagi ketika seseorang belajar di universitas. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya pengetahuan, pengalaman dan setting sosial yang berbeda dan berubah. Demikian juga, ketika pergaulan seseorang luas, maka identitas yang dimiliki tentu berbeda dibandingkan dengan ketika pergaulan yang dimiliki masih terbatas.
Dalam pandangan Samuel Huntington, paling tidak ada lima faktor yang mempengaruhi identitas seseorang, yaitu askriptif, budaya, teritorial, politik, ekonomi, dan sosial. Faktor askriptif mencakup usia, nenek moyang, gender, kulit (hubungan darah), etnisitas (yang tergambar dari kulit), dan ras; budaya meliputi marga, suku, etnisitas (yang tergambar dari pandangan hidup), bahasa, kebangsaan, agama dan peradaban; teritorial mencakup perumahan (tetangga), desa, kota, provinsi, negara, wilayah geografi, benua, dan dunia; politik terdiri dari faksi, klik, pemimpin, kelompok kepentingan, gerakan, partai, ideologi, dan negara; dan ekonomi meliputi pekerjaan, jabatan, profesi, kelompok kerja, majikan, industri, sektor ekonomi, asosiasi buruh, dan kelas. Sementara itu, faktor sosial terdiri dari teman, klub, tim, sejawat, kelompok pengangguran, dan status.
Seseorang mungkin saja mempunyai banyak kategori, namun tidak berarti bahwa kategori-kategori itu saja yang menjadi sumber identitasnya. Sebagai contoh, dia adalah perempuan muda (askrpitif), dari Jawa dan beragama Islam (etnisitas), tinggal di kota (teritorial), sebagai pemimpin organisasi masa (politik), dan mempunyai banyak relasi (sosial). Dengan ragam kategori tersebut, kita tidak bisa menilai hanya dari satu sisi dan mengabaikan kategori yang lain, misalnya yang dilihat hanya kategori agama dan suku dan mengabaikan kategori perempuan muda dan sebagai pemimpin ormas. Penilaian semacam ini hanya akan menyebabkan salah arah, prasangka dan stereotyping. Terlebih jika pihak yang menilai mempunyai identitas dengan kategori yang jauh berbeda misalnya laki-laki tua (askriptif), Sunda dan beragama Kristen (etnisitas), tinggal di desa (teritorial), sebagai pendukung partai politik pro pemerintah, the ruling party (politik), dan sebagai pengangguran (sosial). Jika dalam berinteraksi kedua orang tersebut tidak saling memahami, maka akan terjadi miskomunikasi dan tidak menutup kemungkinan terjadi benturan dan konflik kepentingan.
Bertolak dari ilustrasi identitas tersebut, sebagai agen perubahan, tokoh agama dan masyarakat harus mempunyai kesadaran identitas. Sebab, persoalan yang ada tidak cukup dilihat dari satu perspektif saja, namun harus melibatkan banyak pendekatan. Penggunaan satu perspektif dan mengabaikan perspektif lain hanya akan menimbulkan banyak permasalahan, sebab ada kecenderungan menganggap pandangannya sebagai yang paling benar. Meminjam pendapat Mohammad 'Abid al-Jabiri, seorang pemikir Islam kontemporer asal Maroko, pandangan yang menggunakan satu perspektif lebih bercorak bayani yang cenderung literal. Perspektif ini mempunyai implikasi pada sikap apologis, dogmatis, polemis, dan menganggap pandangannya yang paling benar. Untuk menghindari hal ini, setiap orang harus mempunyai paradigma yang lain, yaitu burhani dan 'irfani. Paradigma burhani menjadikan realitas (al-waqi') sebagai sumber pengetahuan sehingga perlu semakin banyak belajar dari konteks sekitar baik dari aspek sosial, budaya dan alam. Apa yang terdapat dalam teks (al-nusus), yang menjadi sumber pengetahuan dari paradigma bayani, perlu didialogkan dan dikontekstualisasikan agar lebih bermakna bagi masyarakat sekitar. Sementara itu, paradigma 'irfani berpandangan bahwa sumber pengetahuan adalah intuisi yang lebih mengasah pada aspek rasa. Aspek ini diperlukan tokoh masyarakat agar dalam bertindak dan memecahkan persoalan yang dihadapi lebih arif dan bijak.
Dalam konteks keindonesiaan, perpaduan tiga paradigma itu sangat diperlukan agar tokoh masyarakat melihat permasalahan secara komprehensif, tidak ad hoc dan fragmental. Dalam memecahkan setiap problem yang dihadapi dia seharusnya mendasarkan diri pada tiga hal, yaitu landasan spiritualitas agama, kondisi empirik realitas sekitar dan nurani. Dengan demikian, alternatif pemecahan yang diambil diharapkan tidak menimbulkan banyak persoalan di masyarakat. Sebab, solusi tersebut tidak mengedepankan ambisi pribadi dan sektarian, namun demi kemaslahatan bersama, lintas sektoral.

Penutup
Berdasarkan uraian di atas, peran tokoh masyarakat dan agama sangat diperlukan untuk secara aktif terlibat dalam pemecahan problem realitas. Untuk mewujudkan hal ini mereka perlu mempunyai kesadaran budaya dan sejarah. Kesadaran ini tercermin dari kuatnya identitas terbuka dan keluasan wawasan yang dimiliki sehingga setiap persoalan yang muncul akan dilihat secara menyeluruh dan pemecahan yng dicari lebih berjangka panjang. Hal ini penting dilakukan sebab tantangan dan problem masyarakat semakin lama semakin rumit dan perlu pemecahan segera. Untuk itu, paradigma berpikir antisipatif perlu dimiliki oleh setiap tokoh agama dan masyarakat agar tercipta kondisi masyarakat yang adil, aman dan beradab. Selain itu, pola berpikir integratif dan holistik perlu dimiliki oleh setiap tokoh masyarakat dan agama dalam memecahkan probem modernitas dengan lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal dengan basis spiritualitas agama yang inklusif dan moderat. Hal ini hanya akan terwujud jika setiap orang mampu menggali misi kedamaian dari setiap agama. Selain itu, mereka harus mempunyai kesadaran bahwa setiap orang mempunyai identitas majemuk sehingga sikap mau menang sendiri tanpa mendahulukan dialog bersama hanya akan menyebabkan kekacauan di masyarakat.