Jumat, April 10, 2009

TUGAS MATAKULIAH BIOETIKA

HUBUNGAN SAINS DAN AGAMA

Menurut Ian Barbour, ada empat pola hubungan antara sains dan agama, yaitu pola konflik, inependen, dialog dan integrasi. Sementara itu, pandangan Islam tentang hubungan keduanya lebih bersifat integratif. Hubungan ini dapat diketahui dari tiga level, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Coba Saudara jelaskan tentang integrasi pada level epistemologi menurut al-Jabiri!

29 komentar:

Danang Kusnadi 007 mengatakan...

Integrasi pada level Epistemologi menurut al-jabiri ada tiga, yaitu :
1. Ilmu pengetahuan dapat difahami secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Yang biasa disebut Ilmu Bayani.
2. Ilmu pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, oleh karena itu ilmu pengatahuan ini tidak didapat melalui teks, namun melalui ruhani dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan. Yang biasa disebut Ilmu Irfani.
3. Ilmu pengetahuan yang didasarkan pada ilmu pasti dan social yang kebenarannya menuntut burhan (bukti), baik bukti empiris (indrawi), maupun logis. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Yang biasa disebut Ilmu Burhani.
Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.

IHAN'S Blog mengatakan...

menurut aljabiri,integrasi pada level epistimologi di bagi menjadi 3 yaitu:
1. bayani(tekstual,linguistik)
dalam pandangan burhani, memperoleh ilmu pengetahuan dengan kembali kepada teks, atau berkiblat kepada tek al-qur'an, sunnah, maupun buku-buku ilmu pengetahuan sebagai rujukan. sehingga tolak ulur benar dan tidaknya sebuah penemuan ilmu pengetahuan harus bertolak ukur kepada hal-hal yang dituliskan di dalam teks
2. burhani (akal, pengalman, logika)
pada level burhani seorang peneliti meniadakan tekstual sebagai acuan. segala macam hasil penelitian didasarkan kepada data-data empirik dan murni hasil pemikiran akal.
3. irfani (intuisi)
penemuan sebuah konsep ataupun ilmu pengetahuan itu melalui proses meditasi ataupun sufistik untuk mendapatkan wangsit. dalam level beragama Islam, seseorang yang menggunakan irfani adalah sufi. sehingga untuk mendapatkan sebuah jawaban dengan mendekatkan diri kepada sang KHaliq.
namun burhani, bayani dan irfani tidak dilaksanakan secara terpisah-pisah. melainkan dipadukan atau diintegrasikan agar keseimbangan antara tek, akal dan iman. wwallahua'lam

nita mengatakan...

Menurut Al-Jabiri terdapat tingkatan dalam epistemologi YAKNI :
1.Demonstratif (burhani)
2. Linguistik (bayani)
3. Intuitif (irfani)
secara epistemologi, burhani yaitu bertujuan untuk mengukur benar atau tidaknya sesuai dengan berdasarkan komponen kemampuan alamitah manusia berupa pengalaman dan atau tanpa dasar teks wahyu suci.
Bayani pendekatan dengan cara menganalisa teks.obyaknya adalah gramatika dan sastra, hukum dan teori, teologi dan ilmua Al-Qur'an dan Hadist.
Irfani adalah sbuah pendekatan yang bersumber pada intuisi.

Unknown mengatakan...

epistemologi yang dikelompokan oleh al-jabiri antara lain
1. epistemologi burhani : dalam epistemologi ini menyatakan bahwa setiap apa yang kita temukan adalah didasarkan pada kemampuan manusia yang dapat berupa pengalaman atau akal. jadi unsur teks tidak dipakai atau digunakan, karena hasil lebih didasarkan pada manusianya sendiri.
2. epistemologi bayani : dalam epistemologi ini berlawanan dengan epistemologi burhani. dalam epitemologi bayani lebih menggunakan pendekatan terhadap pemahaman dan analisis teks.jadi semua apa yang kita temukan harus didasarkan kepada teksnya dan lebih meninggalkan pemikiran-pemikiran dari analisis manusia itu sendiri.
3. epistemologi irfani : epistemologi ini lebih mendasarkan kepada intuisi manusia atau menemukan jawaban melalui batiniah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi.
dari ketiga bentuk epistemologi ini semua saling mendukung antara satu dengan yang lainnya, hal ini agar keselarasan antara akal, pengalaman, teks serta intuisi tetap terjaga.

poenya tyuZ mengatakan...

Di dalam bukunya yang berjudul Pengantar Studi Islam, Menurut Khoirudin Nasution mengatakan bahwa terdapat tiga model berpikir, yaitu :
1. model berpikir rasional
yaitu untuk menemukan kebenaran dapat dilakukan dengan menggunakan akal secara logis. Benar atau tidaknya sesuatu diukur dengan rasionalitas akal. Dengan demikian dapat disebut objek kajian epistemologi rasional adalah hal-hal yang bersifat abstrak-logis. Paradigmanya adalah logis, dan metode yang dipakai adalah ukuran rasionalitas yaitu logis atau tidak.
2. Model berpikir empirikal.
berpendirian bahwa sumber pengetahuan adalah pengamatan dan pengalaman inderawi manusia. Maka indera manusia yang menjadi ukuran benar atau tidaknya sesuatu. Obyek kajian epistemologik empirikal, adalah fakta empirik dan mempunyai paradigma positivistik yaitu sesuatu dapat diamati(observable), dapat diukur (measurable), dan dapat dibuktikan ulang (verificable/verifiable). Metode yang dipakai adalah metode ilmiah dengan ukuran empiris yaitu sesuai atau tidaknya dengan fakta.
3. Model berpikir intuitif (irrasional)
Berpandangan bahwa kebenaran dapat digapai lewat pertimbangan-pertimbangan emosional (mukashafah). Objek kajian adalah hal-hal yang abstrak dan mempunyai paradigma mistik atau ghaib. metode yang digunakan latihan secara terus menerus atau mengasah secara berulang-ulang yang menjadikan ukuran adalah kepuasan hati.
Karena itu, perbedaan antara epistemologi rasional dengan irrasional terletak pada paradigma, metode, dan ukuran. Filsafat menggunakan penalaran logis dan ukuran logis. Sementara epistemologi irrasional menggunakan paradigma ghaib, latihan, dan kepuasan hati.
Kalau ketiga model tersebut dipadankan dengan model epistemologi yang populer dalam studi islam dikelompokkan oleh al-Jabiri menjadi :
a. Demonstratif (burhani)
Yaitu untuk mengukur benar atau tidaknya sesuatu adalah dengan berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal.
b. Bayani
Adalah pendekatan dengan cara menganalisa teks. Maka objeknya adalah gramatika dan sastra (nahwu dan balagah), hukum dan teori hukum (fiqh dan ushul fiqh), teologi dan ilmu-ilmu Al-Qur'an.
c. Irfani
Adalah pendekatan yang bersumber pada intuisi (kasf/ilham). Dari irfani timul iluminasi.
Langkah-langkah penelitian irfaniah meliputi :
1). Takhiyah
Pada tahap ini, peneliti mengkosongkan (Tajarrud) perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatian (tawjih)
2). Tahliyah
Pada tahap ini peneliti memperbanyak amal sholeh dan melazimkan hubungan dengan al-Khaliq melalui ritus-ritus tertentu.
3). Tajliyah
Pada tahap ini peneliti menemukan jawaban batiniah terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Teknik-teknik penelitian irfaniah meliputi :
1) Riyadhah
Yaitu rangkaian latihan dan ritus dengan penahapan dan prosedur tertentu.
2) Thariqoh
Diartikan sebagai kehidupan jamaah yang mengikuti aliran tasawuf yang sama.
3) Ijazah
Kehadiran guru (mursyid) sangat penting. Guru membimbing murid dari tahap satu ke tahap lain. Pada tahap tertentu mursyid memberikan wewenang (ijazah) kepada murid.


Sumber : Khoirudin Nasution. 2004. Pengantar Studi Islam. ACAdeMia+TAZZAFA : Yogyakarta.

nurul hida mengatakan...

Epistemology menurut al jabiri ada tiga yaitu
1. (‘ulum al-bayan) merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Ia menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi, yurisprudensi, ilmu hukum (fikih)
2. ‘ulum al-Quran , teologi dialektis (kalam) dan teori sastra nonfilosofis. Sistem ini muncul sebagai kombinasi dari pelbagai aturan dan prosedur untuk menafsirkan sebuah wacana (interpreting of discourse) Sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis, dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak. Kedua, disiplin gnotisisme
3. (‘ulum al-’irfan) yang didasarkan pada wahyu dan “pandangan dalam” sebagai metode epistemologinya, dengan memasukkan sufisme, pemikiran Syi’i, penafsiran esoterik terhadap Al-Qur’an, dan orientasi filsafat illuminasi.
Ketiga, disiplin-disiplin bukti “enferensial” (’ulum al-burhan) yang didasarkan atas pada metode epistemologi melalui observasi empiris dan inferensiasi intelektual. Jika disingkat, metode bayani adalah rasional, metode ‘irfani adalah intuitif, dan metode burhani adalah empirik, dalam epistemologi umumnya

nanda puji setyaningsih mengatakan...

1. Epistemologi bayani,metode khas arab yang didasarkan pada teks(nash), secara langsung atau tidak labgsung. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Selanjutnya untuk memperoleh metode dari teks metode bayani menempuh dua cara yaitu (1) berpegang pada redaksi (lafat) teks; (2) berpegang pada makna teks menggunakan logika penalaran atau rasio sebagai sarana analisa.
2. IEpistemologi irfani, didasarkan pada kasyf, oleh karena itu ilmu pengatahuan ini tidak didapat melalui teks, namun melalui rohani dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.
3. Epistemologi burhani, yang menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika.
Perbandingan ketiga epistemologi ini adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furû` kepada yang asal; irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.

iis murtiana mengatakan...

menurut al-jabiri integrasi pada level epistemologi ada tiaga yaitu burhani,bayni dan irfani.
1. Burhani(secar akal pikiran)
didalam ilmu burhani pengetahuan didapt dari pemikiran akal,logika,bukti yang nyata dan empiris.pengetahuan ini didapt dari pengalamn yang diolah oleh pikiran yang dimilkimenusia yang kwmudan dikembangkan melalui logika
2. bayani(secara kontekstual)
didalam ilmu ini pengetahuan didapat dari teks,buku,alQur'an,sunah-sunah nabi dan sumber-sumber lain yang dijadikan sumber rujukan untuk mem[peroleh pengetahuan
3. irfani(intiusi)
didalm ilmu ini pengetahuan didapat dari ilmu sufistik,iman dan hati nurani seseorang
Ketiga level ini tidak bisa berjalan secare terpisah tapi berjalan secara beriringan dan saling melengkapi.Hal itu dikarenakan setiap level memiliki kekurangan.Wallahua'lam bishawwab

restu_bio mengatakan...

Menurut aljabiri,integrasi pada level epistimologi di bagi menjadi 3 yaitu:
1.bayani atau ‘ulum al-bayan (tekstual) merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab dan menjadi dominan dalam bidang keilmuan pokok (indiginus), seperti filologi, yurisprudensi dan ilmu hukum (fikih). Bayani yaitu memperoleh ilmu pengetahuan dengan kembali kepada teks atau berkiblat kepada teks al-qur'an, sunnah, maupun buku-buku ilmu pengetahuan sebagai rujukan. sehingga tolak ulur benar dan tidaknya sebuah penemuan ilmu pengetahuan harus bertolak ukur kepada hal-hal yang dituliskan di dalam teks tersebut.
2.burhani (akal, pengalman, logika) pada level burhani seorang peneliti meniadakan tekstual sebagai acuan dengan kata lain sistem ini didasarkan pada metode epistemologis yang menggunakan pemikiran analogis dan memproduksi pengetahuan secara epistemologis pula dengan menyandarkan apa yang tidak diketahui dengan yang telah diketahui, apa yang belum tampak dengan apa yang sudah tampak dan segala macam hasil penelitian didasarkan kepada data-data empirik dan murni hasil pemikiran akal.
3.irfani atau ‘ulum al-’irfan (intuisi) penemuan sebuah konsep ataupun ilmu pengetahuan itu melalui proses meditasi ataupun sufistik untuk mendapatkan wangsit. dalam level beragama Islam, seseorang yang menggunakan irfani adalah sufi. sehingga untuk mendapatkan sebuah jawaban dengan mendekatkan diri kepada sang khaliq.

restu_bio mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
meeda mengatakan...

Nama : Siti Khamidah
Nim : 06680006
Prodi : Pendidikan Biologi

Menurut Al-Jabiri, ada tiga metodologi epistemologis yaitu:
1. Bayani
2. Irfani
3. Burhani
Ketiganya memiliki perbedaan satu sama lain, diantaranya:
1. Epistemology Bayani
Pemikiran paham ini menekankan pada teks, nas secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung maksudnya bahwa pengetahuan dapat langsung diaplikasikan tanpa adanya pemikiran, sedangkan secara tidak langsung, perlu adanya penafsiran sebelum diaplikasika. Pengetahuan ini bersumber pada teks dan juga al-quran serta hadist. Hal ini sesuai dengan ajaran islam yang utama yaitu al-quran, as-sunah dan ijma’. Dengan demikian orang yang menganut paham bayani tidak akan secara bebas percaya pada rasio, tapi semua pemikiran harus tetap bersandar pada teks.
2. Epistemology Irfani
Pengetahuan ini tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi pada kasyf,(terungkapnya rahasia-rahasia realitas oleh tuhan) dengan kata lain pengetahuan irfani menitikberatkan pada wahyu Allah, karena itu pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks, akan tetapi pengetahuan ini diperoleh dengan hati nurani. Seseorang yang menganut paham irfani berharap tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya, setelah memperoleh pengetahuan kemudian di konsepsikan atau masuk dalam pemikiran sebelum dikemukakan kepada orang lain.
Secara metodologis pengetahuan irfani diperoleh melalui tiga tahap, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan pengetahuan yang telah diperoleh baik secara lukisan maupun tulisan.
3. Epistemology Burhani
Berbeda dengan epistemology bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga pada pengalaman, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intitusi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat panca indera.

fithriah mengatakan...

nalar epistemologi menurut moh abed al jabiri dibagi menjadi 3 bagian :

1. Epistemology bayani
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks.sehingga dapat dikatakan bahwasannya bayani hanya memahami secara tekstual. sumber pengetahuan bayani adalah teks (nash), yakni al-Qur`an dan hadis. untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, metode bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafat) teks, dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahw dan sharâf. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisa. Epistemology bayan muncul bukan sebagai entitas budaya yang tanpa historis, melainkan ia memiliki akar kesejarahannya yang panjang dalam pelajaran budaya dan tradisi pemikiran arab. Sebagaimana diketahui, bangsa arab sangatlah mengagungkan bahasanya, terlebih lagi setelah bahasa arab diyakini sebagai identitas kultur dan bahsa wahyu tuhan.

2.Epistemology irfani
pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.

3. Epistemology burhani
Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme.

Suryati_P.Bio mengatakan...

Menurut Al Jabiri, penilaian ilmu pengetahuan dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu : Burhani, Bayani dan Irfani.
1.Burhani yaitu menetapkan kebenaran proposisi (qad}iyah) melalui pendekatan deduktif (al-istinta) dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan yang lain yang telah terbukti secara aksiomatik (badihi). Dalam arti universal, al-burhan berarti aktifitas intelektual untuk menetapkan suatu proposisi tertentu.Epistemologi tersebut pada abad-abad pertengahan menempati wilayah pergumulan kebudayaan Arab Islam yang mendampingi epistemologi bayani dan `irfani
Kehadiran epistemologi di atas, bila ditelusuri dalam wilayah kebudayaan Arab Islam dengan pendekatan komparatif, bayani atau`irfani, maka dapat ditarik benang merah bahwa epistemologi bayani menekankan kajian dari teks (nas}s}) ijma' dengan ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan `irfani dibangun di atas semangat intuisi (kashshf) yang banyak menekankan aspek kewalian (al-wilayah) yang inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-h}iss, al tajribah wa muh}akamah 'aqliyah).
Adalah Aristoteles orang yang pertama membangun epistemologi burhani yang populer dengan logika mantiq yang meliputi persoalan alam, manusia dan Tuhan. Aristoteles sendiri menyebut logika itu dengan metode analitik. Analisis ilmu atas prinsip dasarnya baik proporsi h}amliyah (Categorical Proposition) maupun shart}Iyah (Hypothetical Proposition) pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan berupa aturan-aturan untuk menjaga kesalahan berpikir. Wilayah yang menjadi obyeknya meliputi 10 persoalan substansi, yang pertama dan yang sembilan adalah oksiden dengan segala derivasinya; kuantitas (panjang), kualitas, hubungan (id}afah), tempat atau ruang, waktu, kepemilikan, fiil (pasi) infi'al (affectif) atau ilmu pengetahuan. Adapun kecakapan untuk berpikir lurus dalam penalaran dibedakan menjadi dua kegiatan: analitika dan dialektika. Analitika dipakai untuk menyebut cara penalaran dan argumentasi yang berdasarkan pada pernyataan-pernyataan yang benar, akan tetapi burhani adalah aktifitas berpikir secara mantiqi yang identik dengan silogisme atau al-qiyas al-jami` yang tersusun dari beberapa anasir (proposisi). Dengan demikian, burhani (al-qiyas al-'ilmi) menekankan tiga syarat, pertama, mengetahui terma perantara yang 'illah (causa) bagi kesimpulan (ma'rifat al-hadd al-ausat} wa al-natijah); kedua, keserasian hubungan relasional antara terma-terma dan kesimpulan (tartib al-`alaqah bayn al-illah wa al-ma'lul), antara terma perantara dan kesimpulan-kesimpulan sebagai sistematika qiyas; dan ketiga, natijah (kesimpulan) harus muncul secara otomatis dan tidak mungkin muncul kesimpulan yang lain. Qiyas ketiga ini yang inheren dengan epistemologi burhani.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa logika Aristoteles lebih memperlihatkan nilai epistemologi dari pada logika formal. Demikian pula halnya dengan diskursus filsafat kita dewasa ini yang melihat persoalan alam (alam, Tuhan dan manusia) bukan lagi persoalan proposisi metafisika karena epistemologi burhani dikedepankan untuk menghasilkan pengetahuan yang valid dan bangunan pengetahuan yang meyakinkan tentang persoalan duniawi dan alam. Dinamika kehidupan kontemporer dewasa ini bisa memilah-milah masing-masing pendekatan epistemologik: bayani dan `irfani karena masing-masing memiliki tipikal satu sama lain, dan epistemologi burhani bisa menjadi pemoles keserasian hubungan antara kedua epistemologi di atas.
Bila bayani lebih menekankan metodologinya pada otoritas nas}s} dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang terwakili oleh fuqaha', dengan pembidikan wilayah eksoteris, maka `irfani terkesan berseberangan dengan bayani, karena menonjolkan kajian pada garis distingtif antara realitas wujud dengan realitas mutlak yang dapat didekap dengan metodologi kashshf, dhawq, intuisi dalam menangkap apa yang ada di balik meta teks. Alasan mendasarnya, karena epistemologi `irfani lebih menekankan pada direct experience (`al-`ilm al-h}ud}uri) sehingga otoritas akal menjadi tertepis karena lebih bersifat partisipatif. Wilayah cakupannya lebih identik dengan perwalian (al-wilayah).
Kedua epistemologi di atas terkesan berseberangan dalam menangkap wacana masing-masing karena perbedaan episteme. Namun demikian, episteme keduanya masih dibangun di atas nilai al-Qur'an dan h}adith. Meskipun epistemologi Islam di satu pihak membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya, tetapi di lain pihak, dalam arti khusus filsafat Islam juga menyangkut pembicaraan mengenai wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan dalam Islam; wahyu sebagai sumber primer, sedangkan ilham pengetahuan bagi epistemologi `irfani. Poeradi Sastra --sebagaimana dikutip oleh M. Amin-- membagi tingkat epistemologi Islam antara lain: (1) perenungan (contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan di dalam al-Qur'a>n al-Karim; (2) penginderaan (sensation); (3) pencerapan (perception); (4) penyajian (representation); (5) konsep (concept); (6) timbangan (judgement); dan (7) penalaran (reasoning).
Perbedaan epistemologi burhani terletak pada :
1. Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa premis. Otoritas referensinya adalah al-Qur'an, h}aditerhadap, dan pengalaman salaf.
2. Metode yang dibangun sangat berbeda dengan epistemologi bayani dan `irfani
Dengan demikian, maka epistemologi burhani layak digarisbawahi sebagai metodologi yang representatif dalam membidik ilmu pengetahuan dengan bersifat demonstratif (burhani). Maka, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa peletakan dasar upaya burhani dalam akselerasi kebudayaan Arab Islam merupakan upaya penelusuran bentuk hubungan yang serasi antara burhani dan bayani.
2. Bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisa teks. Maka objeknya adalah gramatika dan sastra, hokum dan teori hokum(fiqih dan usul fiqih), teologi dan ilmu – ilmu alquran dan hadist.
Sekilas tentang irfani

3. Irfani adalah pendekatan yang bersumber pada intuisi. Dari irfani muncul illuminasi. Adapun prosedur penelitian irfaniah dapat digambarkan sebagai berikut :
•Takhliyah, pada tahap ini peneliti mengkosongkan perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatian pada tajwih.
• Tahliyah, pada tahap ini peneliti memperbanyak amal sholeh dan melazimkan hubungan dengan al kholiq lewat ritus-ritus tertentu.
• Tajliyah, pada tahap inio peneliti menemukan jawaban batiniah terhadap persoalan- persoalan yang dihadapinya.
referensi: Khoirudin Nasution.2004. Pengantar Studi Islam.

Mutmainah_pbio mengatakan...

Muhammad Abid al-Jabiri adalah salah seorang cendekiawan Muslim yang memiliki perhatian dengan gerakan Nahdhoh. Al-Jabiri dapat ditempatkan dalam deretan pemikir Muslim lain semacam Mohamad Arkoun, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, dll.
Al-Jabiri memperkenalkan kritik nalar Arab. Dalam filsafat ilmu, terma tersebut dapat diartikan sebagai kritik Epistemologi. Menurut al-Jabiri, pemikiran Islam Arab yang berkembang sepanjang sejarah Islam didominasi oleh episteme Bayani, dimana posisi teks al-Qur'an sangat dominan. Kritik al-Jabiri tidak ditujukan kepada al-Qur'an itu sendiri, melainkan kepada penggunaan makna literal al-Qur'an sebagai acuan dalam menyelesaikan segala persoalan, baik dalam wilayah fiqih, teologi, politik, maupun ekonomi. Dalam sejarah, Bayani dilakoni oleh para fuqoha dan teolog, terutama yang bermazhab Syafi'iyah, Malikiyah, Hanbaliyah, dan Asy'ariyah. Dalam batas-batas tertentu, al-Jabiri juga melihat pengaruh episteme Irfani dalam kesadaran umat Islam. Irfani ditandai dengan kepercayaan bahwa kebenaran itu bersifat intuitif. Kecenderungan ini terlihat dalam kesadaran para sufi.
Menurut al-jabiri bahwa gerakan penerjemahan yang diserukan oleh al-Makmun merupakan tonggak sejarah pertemuan antara pemikiran keagamaan Arab dan pemikiran rasional Yunani, pertemuan antara epistemologi bayani Arab dan epistemologi burhani Yunani. Proses penyelarasan dua metode yang berbeda ini akan menjadi mainstream kajian ini dengan merujuk pada pemikiran al-jabiri sebagai eksponen yang hidup di dunia modern kontemporer yang menawarkan pendekatan epistemologi Islam, yaitu epistemologi bayani,, irfani dan burhani. Artikel ini memfokus pada kajian epistemologi burhani. Kajian ini meliputi apa sebenarnya epistemologi burhani dalam kebudayaan Arab Islam, penyelarasan metode, telaah lafal dan makna, logika & nahwu, sillogisme, penerapannya pada epistemologi bayani, dan kontribusi burhani bagi bayani dan irfani

Epistemologi burhani
Dalam pengertian sederhana (elementer), al-burhan secara mantiqi (logika) berarti aktifitas pikir yang dapat menetapkan kebenaran proposisi (qad}iyah) melalui pendekatan deduktif (al-istinta) dengan cara mengaitkan proposisi satu dengan yang lain yang telah terbukti secara aksiomatik (badihi). Dalam arti universal, al-burhan berarti aktifitas intelektual untuk menetapkan suatu proposisi tertentu.
Al-Jabiri mendekatinya melalui sistem epistemologi yang ia bangun dengan metodologi berpikir yang khas, bukan menurut terminologi mantiqi dan juga tidak dalam pengertian umum, dan berbeda dari yang lain. Epistemologi tersebut pada abad-abad pertengahan menempati wilayah pergumulan kebudayaan Arab Islam yang mendampingi epistemologi bayani dan `irfani
Burhani dalam Akselerasi Kebudayaan Islam
Dua epistemologi Islam, bayani dan `irfani, adalah dua pendekatan yang mendahului epistemologi burhani dalam akselerasi kebudayaan Arab Islam. Bila bayani lebih menekankan metodologinya pada otoritas nas}s} dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang terwakili oleh fuqaha', dengan pembidikan wilayah eksoteris, maka `irfani terkesan berseberangan dengan bayani, karena menonjolkan kajian pada garis distingtif antara realitas wujud dengan realitas mutlak yang dapat didekap dengan metodologi kashshf, dhawq, intuisi dalam menangkap apa yang ada di balik meta teks. Alasan mendasarnya, karena epistemologi `irfani lebih menekankan pada direct experience (`al-`ilm al-h}ud}uri) sehingga otoritas akal menjadi tertepis karena lebih bersifat partisipatif. Wilayah cakupannya lebih identik dengan perwalian (al-wilayah).
Kedua epistemologi di atas terkesan berseberangan dalam menangkap wacana masing-masing karena perbedaan episteme. Namun demikian, episteme keduanya masih dibangun di atas nilai al-Qur'an dan h}adith. Meskipun epistemologi Islam di satu pihak membahas masalah-masalah epistemologi pada umumnya, tetapi di lain pihak, dalam arti khusus filsafat Islam juga menyangkut pembicaraan mengenai wahyu dan ilham sebagai sumber pengetahuan dalam Islam; wahyu sebagai sumber primer, sedangkan ilham pengetahuan bagi epistemologi `irfani.
Perbedaan epistemologi burhani terletak pada :
1. Sistem berpikir yang konstruksi epistemologinya dibangun di atas semangat akal dan logika dengan beberapa premis. Otoritas referensinya adalah al-Qur'an, h}aditerhadap, dan pengalaman salaf.
2. Metode yang dibangun sangat berbeda dengan epistemologi bayani dan `irfani
Dengan demikian, maka epistemologi burhani layak digarisbawahi sebagai metodologi yang representatif dalam membidik ilmu pengetahuan dengan bersifat demonstratif (burhani). Maka, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa peletakan dasar upaya burhani dalam akselerasi kebudayaan Arab Islam merupakan upaya penelusuran bentuk hubungan yang serasi antara burhani dan bayani. Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tnpa isi sama dengan kehampaan.
Bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisa teks. Maka objeknya adalah gramatika dan sastra, hokum dan teori hokum(fiqih dan usul fiqih), teologi dan ilmu – ilmu alquran dan hadist.
Irfani adalah pendekatan yang bersumber pada intuisi. Dari irfani muncul illuminasi. Adapun prosedur penelitian irfaniah dapat digambarkan sebagai berikut :
• Takhliyah, pada tahap ini peneliti mengkosongkan perhatiannya dari makhluk dan memusatkan perhatian pada tajwih.
• Tahliyah, pada tahap ini peneliti memperbanyak amal sholeh dan melazimkan hubungan dengan al kholiq lewat ritus-ritus tertentu.
• Tajliyah, pada tahap inio peneliti menemukan jawaban batiniah terhadap persoalan- persoalan yang dihadapinya.

syifa mengatakan...

Integrasi pada level Epistemologi menurut al-jabiri ada tiga, yaitu :
1. Ilmu pengetahuan difahami dengan secara langsung serta tidak langsung. Dengan cara langsung artinya memahami teks sebagai sesuatu pengetahuan yang sudah jadi atau sempurna serta langsung mengaplikasikan sesuatu itu tanpa perlu pemikiran ladi atau penafsiran ulang, Sedangkan secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan yang m asih mentah atau belum sempurna sehingga masi perlu adanya sebuah penafsiran dan penalaran ulang. Walaupun demikian, hal tersebut bukanlah berarti akal / rasio bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi masih harus berdasarkan pada teks atau rujukan tertentu. Dimana yang biasa kita sebut dengan Ilmu Bayani yang diartikan sebagai penjelasanku.
2. Ilmu pengetahuan yang didasarkan pada kasyf, ilmu pengatahuan ini tidak didapat melalui teks, tetapi melalui ruhani atau ruh dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan/allah akan melimpahkan atau merahmatkan pengetahuan seseorang tersebut. Yang kemudian masuk kedalam pikiran, dan dikonsep yang setelahnya dikemukakan kepada orang lain secara logis/benar. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan. Yang biasa kita kenal dengan Ilmu Irfani yang artinya pengetahuanku. irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.
3. Ilmu pengetahuan yang didasarkan pada ilmu pasti dan social yang kebenarannya menuntut burhan (bukti),dalil, baik bukti empiris (indrawi), maupun logis. Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Yang biasa kita kenal dengan ilmu Burhani yang berarti petunjukku/ dalilku/buktiku. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi. Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera. Sehingga dapat diterima oleh masyarakat luas.

Nur Khafidah mengatakan...

Epistemology menurut al-jabiri ada tiga yaitu:

1. Epistemologi Burhani

Pemikiran khas arab yang berdasarkan pada teks. Secara langsung dapat dilakukan dengan memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa pemikiran terlebih dahulu. Sedangkan secara tidak langsung yaitu memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran.

2. Epistemology irfani

Merupakan lanjutan dari teks bayani. Epistemology irfani tidak didasarkan pada teks bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia – rahasia realitas oleh Tuhan. Dengan demikian. Pengetahuan urfani tidak berdasarkan pada teks bayani, melainkan berdasarkan pada hati nurani. Dimana dengan kesucian hati, diharapkan tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadaNYA. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tigatahapan yaitu: Persiapan, penerimaan, dan pengungkapan baik secara llisan maupun tulisan.

3. Epistemology burhani: epistemology ini berbeda dengan yang lain, yaitu tidak berkaitan sama sekali pada pengalaman dan pada teks. Melaikan berdasarkan pada kekuatan rasio, akal yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Epistemology burhani hanya dapat diterima jika semua dalilnya dapat diterima dengan akal. Dengan demikian sumber pengetahuan burhani adalh rasio, bukan teks.

Pawit Riyadi mengatakan...

Integrasi pada Level Epistemologi Menurut al-Jabiri

Pembahasan tentang epistemologi Islam ini secara garis besarnya kita bagi menjadi dua. Yang pertama adalah yang berkaitan dengan epistemologi Islam dalam versi para filosof Muslim. Untuk itu kita perlu melihat secara sepintas sejarah perkembangan filsafat di dunia Islam guna menemukan asal-usul dan orisinalitas berpikir mereka. Ini penting dalam rangka menjejaki dan memilah sejauh mana pengaruh filosof Yunani dan pengaruh al-Qur’an di dalamnya. Hanya dengan cara itulah nantinya kita baru akan bisa menempatkan posisi al-Qur’an--serta keaslian filsafat ilmu yang dianutnya tanpa bias dari pihak manapun--dalam konteks keilmuan secara menyeluruh.

Yang kedua adalah mengkaji secara spesifik pandangan al-Qur’an tentang asal-usul ilmu pengetahuan. Di sini nanti kita akan coba melepaskan sedapat mungkin pengaruh-pengaruh dari pihak manapun termasuk distorsi-distorsi yang mungkin terjadi yang dilakukan oleh para ahli tafsir. Di sini kita akan membiarkan al-Qur’an membincang dirinya sendiri. Kita, sebagai penikmat, memposisikan diri benar-benar sebagai murid yang siap mencerna bahasan-bahasan al-Qur’an tentang epiostemologi. (Malik,2008)

Dalam Islam, terdapat beberapa aliran besar yang berhubungan dengan teori pengetahuan (epistemologi). Sejauh ini ada tiga aliran yang acapkali menjadi objek kajian epistemolkogi Islam, yaitu bayani, irfani, dan burhani.
1. Bayani
Bayani adalah sebuah motodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Teks yang dimaksud hádala Al-Qur’an yang mempunyai otoritas penuh untuk memberikan arah tujuan dan arti kebenaran. Sedangkan rasio menurut metodologi ini hanya berperan-fungsi sebagai pengawal bagi keamanan otoritas teks tersebut. Secara singkat dapat dikatakan bahwa epistemologi bayani mendasarkan otoritas pengetahuan langsung dari teks (nash) yang kemudian diimplementasikan pada wilayah praktris tanpa harus melalui pemikiran. Akal tidak dibiarkan “bebas mengembara”, tetapi akal harus berlandaskan teks (Al-Jabiri, 1991).
2. Irfani
Irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan. Berbeda dengan epistemolkogi bayani yang bersifat eksoteris, maka epistemologi irfani lebih esoteris (batin) teks. Di sini, rasio berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spiritual tersebut. Epistemologi irfani berada pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan.
3. Burhani
Burhani adalah metodologi yang tidak didasarkan atas teks maupun pengalaman, melainkan atas dasar runtutan nalar logika, bahkan dalam tahap tertentu teks dan pengalaman hanya bisa diterima apabila tidak bertentangan dengan aturan logika.

PAWIT RIYADI
06680021
PENDIDIKAN BIOLOGI

Unknown mengatakan...

Epistemologi Islam Al Jabiri

“Epistemologi, atau teori pengetahuan, membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan dengan buah pemikiran yang lainnya. Atau dengan perkataan lain, ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode keilmuan. Karena ilmu merupakan sebahagian dari pengetahuan, yakni pengetahuan yang memiliki sifat-sifat tertentu, maka ilmu dapat juga disebut pengetahuan keilmuan. Untuk tujuan inilah, agar tidak terjadi kekacauan antara pengertian “ilmu” (science) dan “pengetahuan” (knowledge), maka kita mempergunakan istilah “ilmu” untuk “ilmu pengetahuan.” (Jujun Suriasumantri. (Zainal Fikri, 2007)
Tradisi bayani menyandarkan kebenaran pada otoritas teks seperti yang berkembang dalam Usuh Fiqh, Ushul Hadits, dan Tafsir. Nalar burhani berkembang dalam tradisi ilmu pasti dan sosial yang kebenarannya menuntut burhan (bukti), baik bukti empiris (indrawi), maupun logis. Pemikiran kedokteran Ibn Sina atau teori ashabiyyah Ibn Khaldun berkembang dalam tradisi ini. Sementara dalam nalar irfani kebenaran dicapai dengan riyadah (melatih intuisi) hingga Sang Kebenaran (al-Haq, Allah) menyingkapkan “kebenaran” kepada kita. Tradisi irfani berkembang di kalangan sufi.
Kebenaran-kebenaran tersebut di mana saja (Barat atau Timur) diacu sesuai dengan objek yang dihadapi. Masing-masing ada level dan tempatnya. Fiqh yang didominasi nalar bayani pada level tertentu memerlukan nalar burhani karena Fiqh membutuhkannya dalam Falak dan Waris. Sementara Tasawwuf yang irfani juga sangat dekat dengan penjelasan-penjelasan logis falsafi. (Maftuhin,2007)


M. Agus Sahal/Pend. Biologi/VI

IntanLailaHanum mengatakan...

Epistemologi merupakan “teori ilmu pengetahuan” (theory of knowledge.Dalam perspektif Barat, dikenal ada tiga sumber pengatahuan: (1) perspesi indera, yaitu bahwa pengetahuan kita berasal dari apa yang kita lihat, dengar, cium dan cicipi, yang kemudian melahirkan empirisme, suatu aliran pemikiran yang menyakini bahwa pengetahuan kita bersumber pada pengamatan indera yang diperoleh dari data-data empirik. (2) Rasio, keyakinan rasio sebagai sumber pengetahuan yang kemudian melahirkan aliran rasionalisme. (3) intuisi, yaitu pengetahuan langsung yang tidak merupakan hasil dari pemikiran secara sadar atau persepsi indera.Sedangkan menurut Al-Jabiri, integrasi pada level epistemologi,dikenal ada tiga model epistemologi, yaitu: 1.Bayani (analisis teks)
metode diskursif (bathiniyyah)epistemologi bayani merupakan pola pikir yang berkembang dalam fiqh dan kalam dengan penekanan sumber pengetahuan pada teks (nash)
2.Burhani (rasionalisme)
epistemologi burhani merupakan pola pikir yang berkembang dalam falsafah dengan penekanan sumber pengetahuan pada realitas (alam, sosial, ataupun keagamaan).
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum - hukum logika. Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.)
3.Irfani (intuisisme).
epistemologi irfani merupakan pola pikir yang berkembang dalam tasawuf dengan penekanan sumber pengetahuan pada pengalaman langsung (direct experience).

retno mengatakan...

Epistemology islam menurut al jabiri:
1. Bayani
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash). Penerapan pemikiran ini terbagi menjadi dua, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung berarti memahami teks dan langsung menerapkannnya tanpa ada proses berpikir. Sedangkan secara tidak langsung berarti memahami teks dan melalui proses berpikir sebelum diterapkan.
Sumber pengetahuan bayani adalah teks, yaitu Al- Qur’an dan Hadits. Dan untuk mendapatkan pengetahuan dari teks terdapat dua cara, yaitu berpegang pada redaksi teks dengan kaidah bahasa arab dan berpegang pada makna teks dengan logika serta penalaran. Cara berpikir yang berpegang pada makna teks dengan logika ada empat macam, yaitu berpegang pada tujuan pokok, berpegang pada illah teks, berpegang pada tujuan sekunder teks, dan berpegang pada diamnya Syari’.
2. Irfani
Irfani adalah metode berpikir yang didasarkan pada kasyf, terungkapnya rahasia realitas oleh Tuhan. Pengetahuan irfani didapat dengan ruhani yang terdiri dari tiga tahapan, yaitu persiapan, penerimaan, dan pengungkapan.
Persiapan yang dapat dilakukan untuk seseorang agar dapat menggunakan metode irfani adalah taubat, wara’, zuhud, faqir, sabar, tawakkal, dan ridla. Pada tahap penerimaan, seseorang mendapatkan pengetahuan langsung dari tuhan secara illuminatif. Dan pada tahap terakhir, seseorang menginterpretasikan pengetahuan yang didapatkan dan diungkapkan kepada orang lain secara lisan maupun tertulis.
3. Burhani
Burhani adalah metode berpikir yang didasarkan pada rasio, akal, dan logika. Dan sumber pengetahuan burhani adalah rasio yang masuk melalui penginderaan. Penggunaan metode ini didasarkan pada aturan silogisme yang memiliki tiga syarat. Syarat tersebut adalah mengetahui latar belakang penyusunan premis, adanya konsistensi logis antra alasan dan kesimpulan, dan kesimpulan yang diambil bersifat pasti dan benar.

ima mengatakan...

Muhammad al-Jabiri adalah seorang politikus asal Maroko, ia merupakan salah seorang pemikir Islam kontemporer yang kreatif, sangat kritis dan sekaligus provokatif, di kalangan pemikir Arab, yang memiliki pemikiran dan ide yang cemerlang untuk memajukan dunia Arab khususnya.
Ada tiga metodologi epistemologis menurut al-Jabiri, yaitu:
1. Epistemologis bayani.
Epistemologis Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada
teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam sasaran keagamaan metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat).Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud nas sebagai sumber pengetahuan bayani adalah Alquran dan hadis. Dikalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran, al-Sunnah dan Ijma’. Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai
wahyu yang berasal dari Allah Swt, yang penjabarannya dilakukan oleh Nabi Muhamamd saw. Di dalam Alquran surat an-Nisa ayat 59.
2. Epistemologi al-Irfan
Dalam menerjemahkan kata al-Irfan, kita berhadapan dengan dua padanan yang serupa tapi tak sama, yang pertama adalah “Gnose/gnosis” yang berarti pengetahuan intuitif tentang
hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan yang kedua adalah “gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada: gnostiksisme, sebuah aliran kebatinan yang muncul di abad ke-2 M, pengertian kedualah yang dikehendaki oleh al-Jabiri. Sebagai aktivitas kognitif, gnostik berarti sesuatu yang dikatakan oleh para pemeluknya sebagai al-Kasyf dan al-bayan ( intuisi).
Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi
dengan hati nurani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukan kepada orang lain. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan.
3. Epistemologi Burhani.
Berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks
suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika
rasional.
Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu’ kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intitusi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat panca indera, yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq. Tasawwur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedang tasdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran konsep tersebut.

Unknown mengatakan...

menurut saya Burhani adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengukur benar/tidaknya sesuatu berdasarkan pada kemampuan alamiah. cth: pengalaman.
bayani adalah pendekatan dengan cara menganalisis suatu teks. cth: ilmu sastra. irfami adalah pendekatan dengan cara memunculkan intuisi.

reefa_blogspot@yahoo.co.id mengatakan...

TUGAS 1

Komentar Kuliah Bioetika

Tgl 01 April 2009



Didalam kuliah Bioetika pada tanggal 01 April 2009 adalah mempelajari tentang Integrasi.

Integrasi

v Back to golden ages à non dichaous disc, dikotomi ; a. colonial

b. kejumudan

v Barat Vs Islam

Bangsa barat dalam integrasi melawan dengan Islam.

v Integrasi ada 3 yaitu : a. Ontologi

b. Epistemologi

c. Oksiologi

v Ada 3 metodologi epistemologi menurut al Jabiri, yaitu :

1. Epistemologis Bayani, yaitu metode pemikiran khas Arab yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi.
2. Episemologi Irfani, dalam menerjemahkan kata al-Irfan, kita berhadapan dengan dua pandangan yang serupa tapi tak sama, yang pertama adalah “Gnose/gnosis” yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan yang kedua adalah “gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada gnostiksisme.
3. Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio atau realias, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional.

Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu’ kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.

Menurut saya, dengan mempelajari Integrasi, mahasiswa dapat mengintigrasikan ilmu Biologi dengan Etika sesuai dengan metodologi epistemology atau dapat diterapkan dalam metodologi epistemology menurut al jabiri, yaitu Epistemologi Bayani, Epistemologi Irfani dan Epistemologi Burhani.

Nama : Siti Rifa`atul Mahmudah

Prodi : Pend. Biologi

NIM : 06680013



REFLEKSI EPISTEMOLOGI DARI AL-JABIRI

Muhammad Abid al-Jabiri adalah salah seorang cendekiawan Muslim yang memiliki perhatian dengan gerakan Nahdhoh. Al-Jabiri memperkenalkan kritik nalar Arab. Dalam filsafat ilmu, tema tersebut dapat diartikan sebagai kritik Epistemologi. Menurut al-Jabiri, pemikiran Islam Arab yang berkembang sepanjang sejarah Islam didominasi oleh episteme Bayani, dimana posisi teks al-Qur'an sangat dominan. Kritik al-Jabiri tidak ditujukan kepada al-Qur'an itu sendiri, melainkan kepada penggunaan makna literal al-Qur'an sebagai acuan dalam menyelesaikan segala persoalan, baik dalam wilayah fiqih, teologi, politik, maupun ekonomi. Dalam sejarah, Bayani dilakoni oleh para fuqoha dan teolog, terutama yang bermazhab Syafi'iyah, Malikiyah, Hanbaliyah, dan Asy'ariyah. Dalam batas-batas tertentu, al-Jabiri juga melihat pengaruh episteme Irfani dalam kesadaran umat Islam. Irfani ditandai dengan kepercayaan bahwa kebenaran itu bersifat intuitif. Kecenderungan ini terlihat dalam kesadaran para sufi. Sejauh ini meskipun belum ada penelitian yang serius mengukur sejauhmana relevansi dan pengaruh kritik epistemologi al-Jabiri ini di Indonesia , namun sedikit banyak kita dapat melihat adanya sambutan atas pemikiran al-Jabiri. Sebagai sebuah tawaran, kritik Epistemologi al-Jabiri yang dilanjutkan dengan peneguhan episteme Burhani patut untuk diapresiasi secara kritis.

Istilah “tradisi dan modernitas” yang digunakan dalam pemikiran Arab kontemporer merujuk kepada tema idiomatik yang bervarian, terkadang digunakan al- Turâts al-hadatsah. al- Turâts wa al-Tajdid. Al-Ashlah wa al-hadatsah, istilah tersebut berarti tradisi dan modernitas seluas-luas maknanya. Istilah tsurat kini menjadi kata kunci untuk memasuki diskursus pemikiran Arab kontemporer. Secara literaral Turâts berarti warisan atau peninggalan yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan atau diwariskan oleh orang-orang terdahulu. Istilah tersebut merupakan produk asli wacana Arab kontemporer,dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab klasik untuk mewakili istilah tersebut.

Menurut al-Jabiri, turâts tidak hanya sekedar warisan budaya dan peradaban yang terkubur dan berada dalam kerangkeng pemikir masa lalu, turâts baginya tetap masih diperlukan spiritnya pada saat ini, terutama dalam menghadapi kooptasi peradaban lain atas dunia Islam. Dengan demikian, starting point atau langkah awal untuk menghidupkan kembali turâts (ihyâ’ut turâts) dalam konteks masyarakat saat ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai turâts dan kontribusinya dalam setiap pranata kehidupan. Selain itu, umat Islam juga harus memahami adanya korelasi antara turâts dengan tujuan serta orientasi umat Islam saat ini.

Ada tiga metodologi epistemologis untuk membongkar nalar Arab tentang turâts, menurut al-Jabiri, yaitu :

1. Epistemologis Bayani, epistemologis Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam sasaran keagamaan metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat). Dengan demikian sumber pengetahuan bayani adalah teks. Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud nas sebagai sumber pengetahuan bayani adalah Alquran dan hadis.
2. Epistemologi al-Irfan, dalam menerjemahkan kata al-Irfan, berhadapan dengan dua padangan yang serupa tapi tak sama, pertama adalah “Gnose/gnosis” yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan kedua adalah “gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada: gnostiksisme, sebuah aliran kebatinan yang muncul di abad ke-2 M. Pengertian kedualah yang dikehendaki oleh al-Jabiri. Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan hati nurani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukan kepada orang lain. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan.
3. Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intitusi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat panca indera, yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq.



Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu’ kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.

reefa_blogspot@yahoo.co.id mengatakan...

TUGAS 1

Komentar Kuliah Bioetika

Tgl 01 April 2009



Didalam kuliah Bioetika pada tanggal 01 April 2009 adalah mempelajari tentang Integrasi.

Integrasi

v Back to golden ages à non dichaous disc, dikotomi ; a. colonial

b. kejumudan

v Barat Vs Islam

Bangsa barat dalam integrasi melawan dengan Islam.

v Integrasi ada 3 yaitu : a. Ontologi

b. Epistemologi

c. Oksiologi

v Ada 3 metodologi epistemologi menurut al Jabiri, yaitu :

1. Epistemologis Bayani, yaitu metode pemikiran khas Arab yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi.
2. Episemologi Irfani, dalam menerjemahkan kata al-Irfan, kita berhadapan dengan dua pandangan yang serupa tapi tak sama, yang pertama adalah “Gnose/gnosis” yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan yang kedua adalah “gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada gnostiksisme.
3. Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio atau realias, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional.

Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu’ kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.

Menurut saya, dengan mempelajari Integrasi, mahasiswa dapat mengintigrasikan ilmu Biologi dengan Etika sesuai dengan metodologi epistemology atau dapat diterapkan dalam metodologi epistemology menurut al jabiri, yaitu Epistemologi Bayani, Epistemologi Irfani dan Epistemologi Burhani.

Nama : Siti Rifa`atul Mahmudah

Prodi : Pend. Biologi

NIM : 06680013



REFLEKSI EPISTEMOLOGI DARI AL-JABIRI

Muhammad Abid al-Jabiri adalah salah seorang cendekiawan Muslim yang memiliki perhatian dengan gerakan Nahdhoh. Al-Jabiri memperkenalkan kritik nalar Arab. Dalam filsafat ilmu, tema tersebut dapat diartikan sebagai kritik Epistemologi. Menurut al-Jabiri, pemikiran Islam Arab yang berkembang sepanjang sejarah Islam didominasi oleh episteme Bayani, dimana posisi teks al-Qur'an sangat dominan. Kritik al-Jabiri tidak ditujukan kepada al-Qur'an itu sendiri, melainkan kepada penggunaan makna literal al-Qur'an sebagai acuan dalam menyelesaikan segala persoalan, baik dalam wilayah fiqih, teologi, politik, maupun ekonomi. Dalam sejarah, Bayani dilakoni oleh para fuqoha dan teolog, terutama yang bermazhab Syafi'iyah, Malikiyah, Hanbaliyah, dan Asy'ariyah. Dalam batas-batas tertentu, al-Jabiri juga melihat pengaruh episteme Irfani dalam kesadaran umat Islam. Irfani ditandai dengan kepercayaan bahwa kebenaran itu bersifat intuitif. Kecenderungan ini terlihat dalam kesadaran para sufi. Sejauh ini meskipun belum ada penelitian yang serius mengukur sejauhmana relevansi dan pengaruh kritik epistemologi al-Jabiri ini di Indonesia , namun sedikit banyak kita dapat melihat adanya sambutan atas pemikiran al-Jabiri. Sebagai sebuah tawaran, kritik Epistemologi al-Jabiri yang dilanjutkan dengan peneguhan episteme Burhani patut untuk diapresiasi secara kritis.

Istilah “tradisi dan modernitas” yang digunakan dalam pemikiran Arab kontemporer merujuk kepada tema idiomatik yang bervarian, terkadang digunakan al- Turâts al-hadatsah. al- Turâts wa al-Tajdid. Al-Ashlah wa al-hadatsah, istilah tersebut berarti tradisi dan modernitas seluas-luas maknanya. Istilah tsurat kini menjadi kata kunci untuk memasuki diskursus pemikiran Arab kontemporer. Secara literaral Turâts berarti warisan atau peninggalan yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan atau diwariskan oleh orang-orang terdahulu. Istilah tersebut merupakan produk asli wacana Arab kontemporer,dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab klasik untuk mewakili istilah tersebut.

Menurut al-Jabiri, turâts tidak hanya sekedar warisan budaya dan peradaban yang terkubur dan berada dalam kerangkeng pemikir masa lalu, turâts baginya tetap masih diperlukan spiritnya pada saat ini, terutama dalam menghadapi kooptasi peradaban lain atas dunia Islam. Dengan demikian, starting point atau langkah awal untuk menghidupkan kembali turâts (ihyâ’ut turâts) dalam konteks masyarakat saat ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai turâts dan kontribusinya dalam setiap pranata kehidupan. Selain itu, umat Islam juga harus memahami adanya korelasi antara turâts dengan tujuan serta orientasi umat Islam saat ini.

Ada tiga metodologi epistemologis untuk membongkar nalar Arab tentang turâts, menurut al-Jabiri, yaitu :

1. Epistemologis Bayani, epistemologis Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam sasaran keagamaan metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat). Dengan demikian sumber pengetahuan bayani adalah teks. Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud nas sebagai sumber pengetahuan bayani adalah Alquran dan hadis.
2. Epistemologi al-Irfan, dalam menerjemahkan kata al-Irfan, berhadapan dengan dua padangan yang serupa tapi tak sama, pertama adalah “Gnose/gnosis” yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan kedua adalah “gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada: gnostiksisme, sebuah aliran kebatinan yang muncul di abad ke-2 M. Pengertian kedualah yang dikehendaki oleh al-Jabiri. Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan hati nurani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukan kepada orang lain. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan.
3. Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intitusi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat panca indera, yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq.



Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu’ kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.

reefa_blogspot@yahoo.co.id mengatakan...

TUGAS 1

Komentar Kuliah Bioetika

Tgl 01 April 2009



Didalam kuliah Bioetika pada tanggal 01 April 2009 adalah mempelajari tentang Integrasi.

Integrasi

v Back to golden ages à non dichaous disc, dikotomi ; a. colonial

b. kejumudan

v Barat Vs Islam

Bangsa barat dalam integrasi melawan dengan Islam.

v Integrasi ada 3 yaitu : a. Ontologi

b. Epistemologi

c. Oksiologi

v Ada 3 metodologi epistemologi menurut al Jabiri, yaitu :

1. Epistemologis Bayani, yaitu metode pemikiran khas Arab yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi.
2. Episemologi Irfani, dalam menerjemahkan kata al-Irfan, kita berhadapan dengan dua pandangan yang serupa tapi tak sama, yang pertama adalah “Gnose/gnosis” yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan yang kedua adalah “gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada gnostiksisme.
3. Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio atau realias, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional.

Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu’ kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.

Menurut saya, dengan mempelajari Integrasi, mahasiswa dapat mengintigrasikan ilmu Biologi dengan Etika sesuai dengan metodologi epistemology atau dapat diterapkan dalam metodologi epistemology menurut al jabiri, yaitu Epistemologi Bayani, Epistemologi Irfani dan Epistemologi Burhani.

Nama : Siti Rifa`atul Mahmudah

Prodi : Pend. Biologi

NIM : 06680013



REFLEKSI EPISTEMOLOGI DARI AL-JABIRI

Muhammad Abid al-Jabiri adalah salah seorang cendekiawan Muslim yang memiliki perhatian dengan gerakan Nahdhoh. Al-Jabiri memperkenalkan kritik nalar Arab. Dalam filsafat ilmu, tema tersebut dapat diartikan sebagai kritik Epistemologi. Menurut al-Jabiri, pemikiran Islam Arab yang berkembang sepanjang sejarah Islam didominasi oleh episteme Bayani, dimana posisi teks al-Qur'an sangat dominan. Kritik al-Jabiri tidak ditujukan kepada al-Qur'an itu sendiri, melainkan kepada penggunaan makna literal al-Qur'an sebagai acuan dalam menyelesaikan segala persoalan, baik dalam wilayah fiqih, teologi, politik, maupun ekonomi. Dalam sejarah, Bayani dilakoni oleh para fuqoha dan teolog, terutama yang bermazhab Syafi'iyah, Malikiyah, Hanbaliyah, dan Asy'ariyah. Dalam batas-batas tertentu, al-Jabiri juga melihat pengaruh episteme Irfani dalam kesadaran umat Islam. Irfani ditandai dengan kepercayaan bahwa kebenaran itu bersifat intuitif. Kecenderungan ini terlihat dalam kesadaran para sufi. Sejauh ini meskipun belum ada penelitian yang serius mengukur sejauhmana relevansi dan pengaruh kritik epistemologi al-Jabiri ini di Indonesia , namun sedikit banyak kita dapat melihat adanya sambutan atas pemikiran al-Jabiri. Sebagai sebuah tawaran, kritik Epistemologi al-Jabiri yang dilanjutkan dengan peneguhan episteme Burhani patut untuk diapresiasi secara kritis.

Istilah “tradisi dan modernitas” yang digunakan dalam pemikiran Arab kontemporer merujuk kepada tema idiomatik yang bervarian, terkadang digunakan al- Turâts al-hadatsah. al- Turâts wa al-Tajdid. Al-Ashlah wa al-hadatsah, istilah tersebut berarti tradisi dan modernitas seluas-luas maknanya. Istilah tsurat kini menjadi kata kunci untuk memasuki diskursus pemikiran Arab kontemporer. Secara literaral Turâts berarti warisan atau peninggalan yaitu berupa kekayaan ilmiah yang ditinggalkan atau diwariskan oleh orang-orang terdahulu. Istilah tersebut merupakan produk asli wacana Arab kontemporer,dan tidak ada padanan yang tepat dalam literatur bahasa Arab klasik untuk mewakili istilah tersebut.

Menurut al-Jabiri, turâts tidak hanya sekedar warisan budaya dan peradaban yang terkubur dan berada dalam kerangkeng pemikir masa lalu, turâts baginya tetap masih diperlukan spiritnya pada saat ini, terutama dalam menghadapi kooptasi peradaban lain atas dunia Islam. Dengan demikian, starting point atau langkah awal untuk menghidupkan kembali turâts (ihyâ’ut turâts) dalam konteks masyarakat saat ini adalah dengan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nilai turâts dan kontribusinya dalam setiap pranata kehidupan. Selain itu, umat Islam juga harus memahami adanya korelasi antara turâts dengan tujuan serta orientasi umat Islam saat ini.

Ada tiga metodologi epistemologis untuk membongkar nalar Arab tentang turâts, menurut al-Jabiri, yaitu :

1. Epistemologis Bayani, epistemologis Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam sasaran keagamaan metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat). Dengan demikian sumber pengetahuan bayani adalah teks. Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud nas sebagai sumber pengetahuan bayani adalah Alquran dan hadis.
2. Epistemologi al-Irfan, dalam menerjemahkan kata al-Irfan, berhadapan dengan dua padangan yang serupa tapi tak sama, pertama adalah “Gnose/gnosis” yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan kedua adalah “gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada: gnostiksisme, sebuah aliran kebatinan yang muncul di abad ke-2 M. Pengertian kedualah yang dikehendaki oleh al-Jabiri. Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan hati nurani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukan kepada orang lain. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan.
3. Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intitusi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat panca indera, yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq.



Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu’ kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.

eny mengatakan...

Menurut saya intergrasi pada level epistemologi menurut pandangan al jabiri dapat dibedakan menjadi tiga yaitu bayani, irfani, serta burhani. Yang disebut:
1. Bayani adalah segala sesuatu yang penekanannya atau titik berat dari penyelesaian masalahnya menekankan pada teks yang telah ada. Dalam artian di sini adalah kembali pada segala peraturan yang telah ada dalam al-Quran ataupun kitab-kitab suci yang telah ada. Di sini pandangan manusia tetap bisa berkembang namun tetap berpegang pada ketentuan yang ada yaitu teks ataupun peraturan yang telah ada.
2. Irfani tidak sama dengan bayani, disini irfani menekankan pada hati nurani yang dimiliki oleh setiap individu. Jadi pemikiran antara satu dengan yang lainnya akan berbeda sesuai dengan keyakinan orang tersebut. Di sini setiap orang berhubungan langsung dengan sang pencipta atau Tuhan. Sehingga orang yang menganut paham ini beranggapan bahwa Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada dia. Dari apa yang telah dia dapatkan akan dia pikirkan terlebih dahulu sebelum dia mengungkapkan kepada orang lain. Dalam hal ini orang tersebut dapat malakukan persiapan, setelah dia siap dia baru akan menerima ilmu perngetahuan tersebut, dan setelah menerimanya maka dia akan mengungkapkannya kepada orang lain. Pengungkapan yang dilakukan dapat berupa lukisan ataupun tulisan. Penekanan pada paham ini berdasarkan pada wahyu Tuhan yang diberikan pada diri kita masing-masing melalui bisikan hati nurani.
3. Burhani merupakan suatu paham tentang sesuatu hal yang tidak menitik beratkan pada wahyu Tuhan dan teks. Dalam hal ini pandangan yang sesuai dengan akal/rasiolah yang akan menang. Namun masih bisa menerima dalil-dalil selama dalil tersebut sesuai dengan logika. Kebanyakan dari paham ini menitik beratkan pada pengalaman yang telah di alami oleh panca indera.

desi sri lestari mengatakan...

Nama : Desi Sri Lestari
Nim : 06680030


Assalamu’alaikum…
Ringkasan yang saya tangkap pada materi bioetika kemarin ini pak…
Dalam epistemologi Islam terdapat berbagai metode ilmiah, yaitu metode observasi atau eksperimen (tajribi) untuk objek-objek fisik, metode filosofis atau logis (burhani) untuk juga objek-objek fisik, dan metode intuitif (‘irfani) untuk objek-objek nonfisik dengan cara yang lebih langsung.
Sedang al-Jabiri membagi epistemologi Islam berdasarkan kecenderungan dan model berfikir bangsa Arab, yang terdiri dari bayani, ‘irfani, dan burhani. Epistemologi bayani adalah metode pemikiran yang menekankan otoritas teks (nash) secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifkasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidla). Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat) yang melahirkan para ahli fiqih besar. Epistemologi ‘irfani adalah metode yang tidak didasarkan pada teks seperti bayani, akan tetapi didasarkan pada kasyf, ketersingkapan rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan ‘irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan olah ruhani, di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Sasaran bidik metode ‘irfa>ni> adalah aspek esoterik, dan isu sentral metode ini adalah makna z}ahir dan batin, keduanya bukan sebagai konsep yang berlawanan, akan tetapi sebagai pasangan. Metode ini memunculkan para tokoh sufisme terkenal. Kemudian epitemologi burha>ni>. Epistemologi ini berdasarkan pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika dan tidak mendasarkan diri pada teks juga tidak pada pengalaman. Metode ini menampilkan para filsuf yang disegani. Lihat dalam buku antologi, tulisan A. Khudori Sholeh “M. Abid Al-Jabiri: Model Epitemologi Islam”, dalam Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 230-255.

DD_Roesmanto_sing ndhuwe je...!! mengatakan...

Integrasi pada level Epistemologi menurut al-jabiri, yakni:
Metodologi epistemologis untuk membongkar nalar Arab tentang turâts, menurut al-Jabiri,ada 3 yaitu,
Pertama epistemologis bayani, epistemologis Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi. Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran, secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu penafsiran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam sasaran keagamaan metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat).

Dengan demikian sumber pengetahuan bayani adalah teks. Dalam istilah ushul fiqh, yang dimaksud nas sebagai sumber pengetahuan bayani adalah Alquran dan hadis. Dikalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang utama adalah Alquran, al-Sunnah dan Ijma’. Ketentuan ini sesuai dengan agama Islam itu sendiri sebagai wahyu yang berasal dari Allah Swt, yang penjabarannya dilakukan oleh Nabi Muhamamd saw. Di dalam Alquran surat an-Nisa ayat 59.

Kedua Epistemologi al-Irfan, Dalam menerjemahkan kata al-Irfan, kita berhadapan dengan dua padanan yang serupa tapi tak sama, yang pertama adalah “Gnose/gnosis” yang berarti pengetahuan intuitif tentang hakikat spiritual yang diperoleh tanpa proses belajar. Sedangkan yang kedua adalah “gnostik” yang dikhususkan kepada pengetahuan tentang Allah yang dinisbahkan kepada: gnostiksisme, sebuah aliran kebatinan yang muncul di abad ke-2 M. Kelihatannya pengertian kedualah yang dikehendaki oleh al-Jabiri.

Sebagai aktivitas kognitif, gnostik berarti sesuatu yang dikatakan oleh para pemeluknya sebagai al-Kasyf dan al-bayan ( intuisi). Sebagai lapangan kognitif, gnostik adalah sinkretisme dari legenda, kepercayaan dan mitos berbaju agama yang dijadikan legitimasi pembenaran dari apa yang diyakini oleh pemeluknya sebagai pengertian esoteris yang tersembunyi dibalik wujud eksoteris dari teks agama. Adapun dari perspektif epistemologinya, gnostik merupakan konsep dan prosedur yang membangun dunia berpikir gnostik dalam pembentukan turâts, dengan dua porosnya, yang pertama adalah pengalihan bahasa, dengan menggunakan pasangan efistemologis makna eksoteris/esoteris yang sejajar dengan pasangan kata/makna dalam trend akal teoritis. Hanya saja al-Jabiri melihat pasangan ini secara terbalik artinya menjadikan makna sebagai asal dan kata sebagai cabang. Kedua mengabdi dan menggali manfaat secara bersamaan, baik secara terang-terangan maupun secara implisit, dengan menggunakan pasangan epistemologis kewalian/kenabian yang paralel dengan pasangan epistemologis dalam pembentukan turâts Arab.

Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisis teks tetapi dengan hati nurani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepada-Nya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk dalam pikiran sebelum dikemukan kepada orang lain. Secara metodologis pengetahuan ruhani diperoleh melalui tiga tahapan yaitu, persiapan, penerimaan, dan pengungkapan baik secara lukisan maupun tulisan.

Ketiga Epistemologi Burhani, berbeda dengan epistemologi bayani dan irfani, yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani sama sekali tidak mendasarkan diri pada teks, juga tidak pada pengalaman. Burhani menyadarkan diri kepada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Bahkan dalil-dalil agama hanya bisa diterima sepanjang ia sesuai dengan logika rasional. Perbandingan ketiga epistemologi ini, seperti dijelaskan al-Jabiri, bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogis non fisik atau furu’ kepada yang asal, irfani menghasilkan pengetahuan lewat proses penyatuan ruhani kepada Tuhan dengan penyatuan universal, burhani menghasilkan pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini kebenarannya.

Dengan demikian, sumber pengetahuan burhani adalah rasio, bukan teks atau intitusi. Rasio inilah yang dengan dalil-dalil logika, memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi-informasi yang masuk lewat panca indera, yang dikenal dengan istilah tasawwur dan tasdiq. Tasawwur adalah proses pembentukan konsep berdasarkan data-data dari indera, sedang tasdiq adalah proses pembuktian terhadap kebenaran konsep tersebut.

Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, epistemologi burhani menggunakan silogisme. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan qiyas atau al-Qiyas al-Jami’ yang mengacu kepada makna asal. Secara istilah, silogisme adalah suatu bentuk argumen dimana dua proposisi yang disebut premis, dirujukan bersama sedemikian rupa. Sehingga sebuah keputusan pasti menyertai. Namun karena pengetahuan burhani tidak murni bersumber kepada rasio objek-objek eksternal, maka ia harus melalui tahapan-tahapan sebelum dilakukan silogisme yaitu 1. tahap pengertian, 2. tahap pernyataan, 3. tahap penalaran.

Dengan metode terakhir, pengetahuan atau hikmah yang diperoleh tidak hanya yang dihasilkan oleh kekuatan akal tetapi juga lewat pencerahan rohaniah, dan semua itu disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen rasional. Pengetahaun atau hikmah ini tidak hanya memberikan pencerahan kognisi tetapi juga realisasi, mengubah wujud sipenerima pencerahan itu sendiri dan merealisasikan pengetahuan yang diperoleh sehingga terjadi transformasi wujud, semua itu tidak bisa tercapai kecuali dengan mengikuti syariat, sehingga sebuah pemikiran harus menggunakan metode bayani.

ROman mengatakan...

1. Epistemology bayani
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks.sehingga dapat dikatakan bahwasannya bayani hanya memahami secara tekstual. sumber pengetahuan bayani adalah teks (nash), yakni al-Qur`an dan hadis. untuk mendapatkan pengetahuan dari teks, metode bayani menempuh dua jalan. Pertama, berpegang pada redaksi (lafat) teks, dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, seperti nahw dan sharâf. Kedua, berpegang pada makna teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai sarana analisa. Epistemology bayan muncul bukan sebagai entitas budaya yang tanpa historis, melainkan ia memiliki akar kesejarahannya yang panjang dalam pelajaran budaya dan tradisi pemikiran arab. Sebagaimana diketahui, bangsa arab sangatlah mengagungkan bahasanya, terlebih lagi setelah bahasa arab diyakini sebagai identitas kultur dan bahsa wahyu tuhan.

2.Epistemology irfani
pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2) penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.

3. Epistemology burhani
Burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika
Selanjutnya, untuk mendapatkan sebuah pengetahuan, burhani menggunakan aturan silogisme.